Al-Mashun, Masjid Megah Segi Delapan Bercorak Maroko, Spanyol, Melayu dan Timur Tengah
EMPAT hari medio Desember 2023 ini penulis berkesempatan melawat ke Kota Medan, Provinsi Sumatera Utara. Dari beberapa kali kunjungan ke ibu kota Sumut itu, baru kali ini penulis mendapat penginapan sangat dekat dengan Masjid Al-Mashun. Kesempatan berharga itu penulis manfaatkan untuk tiga kali salat Subuh berjemaah dan salat Jumat di masjid yang megah dan sangat terkenal ini.
Dilihat dari luar maupun dalam, masjid yang mampu menampung 1.000 orang jamaah salat itu memang indah. Jumlah jamaah salat itu menjadi berlipat dan meluber ke halaman bila tengah berlangsung salat Jumat dan juga salat Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha. Namun untuk salat Subuh, seperti umumnya masjid lain di Indonesia, jumlah jamaahnya beberapa saf saja. Tidak sampai sepuluh saf.
Sehari-hari, Masjid Al-Mashun yang sudah berumur lebih dari satu abad ini memiliki sepuluh karyawan penjaga. Salah satunya adalah Kabul (40 tahun), bapak dua anak. Menurut Kabul yang keturunan Sunda itu, para satpam itu merupakan karyawan Satpol PP Pemkot Medan.
Beberapa tahun menjaga masjid yang juga banyak dikunjungi para wisatawan dari luar Medan bahkan luar Sumut itu, Kabul punya cerita menarik terkait tindak kejahatan. “Pekarangan masjid ini lebih dari satu hektare dan dilingkari dengan pagar besi. Kami harus sering kontrol keliling, karena angka kejahatan di Medan akhir-akhir ini meningkat. Pernah suatu kali kami kecolongan. Ada bagian pagar besi yang dicuri,” ujar Kabul.
Lokasi Masjid Al-Mashun memang strategis, berdampingan dengan Taman Sri Deli (Sri Deli Park). Keduanya dipisahkan oleh Jalan Masjid Raya. Tapi lokasi Masjid Al-Mashun dan Taman Sri Deli diapit oleh Jalan Mahkamah dan Jalan Raya Sisingamangaraja. Jalan Masjid Raya punya terusan Jalan Amaliun, keduanya bertemu dengan Jalan Raya Sisingamangaraja. Jadi ketiga jalan itu bertemu atau membentuk sebuah perempatan besar.
Arsitek Belanda
Lokasi Masjid Raya Al-Mashun dan Taman Sri Deli berada di depan area Istana Maimun dan kisah keberadaannya memang tidak lepas dari Kesultanan Deli. Kisah singkatnya begini. Sultan Ma’mum Al Rasyid Perkasa Alam sebagai pemimpin Kesultanan Deli memulai pembangunan Masjid Raya Al-Mashun pada tanggal 21 Agustus 1906 (1 Rajab 1324 H).
Keseluruhan pembangunan selesai pada tanggal 10 September 1909 (25 Sya’ban 1329 H) sekaligus mulai digunakan. Hal itu ditandai dengan pelaksanaan salat Jumat pertama di masjid ini. Keseluruhan pembangunannya menghabiskan dana satu juta gulden (kini lebih kurang Rp 8,67 miliar).
Sultan memang sengaja membangun masjid kerajaan ini dengan megah, karena menurut prinsipnya hal itu lebih utama ketimbang kemegahan istananya sendiri, Istana Maimun. Pendanaan pembangunan masjid ini ditanggung sendiri oleh Sultan. Namun konon Tjong A Fie, tokoh Kota Medan dari etnis Tionghoa yang sezaman dengan Sultan Ma’mun Al Rasyid, turut berkontribusi mendanai pembangunan masjid ini. (Sejarah & Kisah Berdirinya Masjid Raya Al-Mashun, Medan, bamai.uma.ac.id)
Pada awalnya Masjid Raya Al-Mashun dirancang oleh Arsitek Belanda, Theodoor van Erp yang juga merancang Istana Maimun, namun kemudian prosesnya dikerjakan oleh JA Tingdeman. Van Erp ketika itu dipanggil ke Pulau Jawa oleh pemerintah Hindia Belanda untuk bergabung dalam proses restorasi Candi Borobudur, Jawa Tengah.
Sebagian bahan bangunan diimpor, antara lain marmer untuk dekorasi diimpor dari Italia, Jerman dan kaca patri dari China dan lampu gantung langsung dari Prancis.
JA Tingdeman merancang masjid ini dengan denah simetris segi delapan dalam corak bangunan campuran Maroko (Afrika), Spanyol (Eropa), Melayu, dan Timur Tengah. Denah persegi delapan itu menghasilkan ruang bagian dalam yang unik tidak seperti masjid-masjid kebanyakan.
Di ke empat penjuru masjid masing-masing diberi beranda dengan atap tinggi berkubah warna hitam, melengkapi kubah utama di atap bangunan utama masjid. Masing-masing beranda dilengkapi dengan pintu utama dan tangga hubung antara pelataran dengan lantai utama masjid yang ditinggikan, kecuali bangunan beranda di sisi mihrab.
Dipadu kesenian Islam
Bangunan masjid yang dari kejauhan tampak menjulang tinggi itu terbagi menjadi ruang utama, tempat wudhu, gerbang masuk dan menara. Ruang utama, tempat salat, berbentuk segi delapan tidak sama sisi.
Pada sisi berhadapan lebih kecil, terdapat “beranda” serambi kecil yang menempel dan menjorok keluar. Jendela-jendela yang mengelilingi pintu beranda terbuat dari kayu dengan kaca-kaca patri yang sangat berharga, sisa peninggalan art nouveau periode 1980-1914, yang dipadu dengan kesenian Islam.
Seluruh ornamentasi di dalam masjid baik di dinding, plafon, tiang-tiang, dan permukaan lengkungan kaya dengan hiasan bunga dan tumbuh-tumbuhan. Di depan masing-masing beranda terdapat tangga. Kemudian, segi delapan tadi, pada bagian luarnya tampil dengan empat gang pada keempat sisinya, yang mengelilingi ruang salat utama.
Gang-gang itu punya deretan jendela-jendela tak berdaun yang berbentuk lengkungan-lengkungan yang berdiri di atas balok. Baik beranda dan jendela-jendala lengkung itu mengingatkan desain bangunan kerajaan-kerajaan Islam di Spanyol pada Abad Pertengahan.
Sedangkan kubah masjid mengikuti model Turki, dengan bentuk yang patah-patah bersegi delapan. Kubah utama dikitari empat kubah lain di atas masing-masing beranda, dengan ukuran yang lebih kecil. Bentuk kubahnya mengingatkan kita pada Masjid Raya Banda Aceh.
Di bagian dalam masjid, terdapat delapan pilar utama berdiameter 0,60 meter yang menjulang tinggi untuk menyangga kubah utama pada bagian tengah. Adapun mihrab terbuat dari marmer dengan atap kubah runcing.
Gerbang masjid ini berbentuk bujur sangkar beratap. Di gerbang itu selalu terdapat para petugas jaga yang berasal dari Satol PP Pemkot Medan tersebut. Mereka bersikap ramah dan siap membantu para pengunjung bila ingin mengabadikan dirinya dengan telepon pintar. Umumnya para pengunjung baru memang ingin berfoto dengan latar belakang bangunan Masjid Raya Al-Mashun.
Sementara itu, menara yang lokasinya agak jauh dari bangunan utama masjid, berhias paduan antara arsitektur Mesir, Iran, dan Arab. Jembatan penyeberangan di atas Jalan Raya Sisingamangaraja yang lokasi pembangunannya berdekatan dengan pintu gerbang masjid, arsitekturnya tampak menyesuaian diri. Semuanya tampak indah dan memberi kesan yang tidak mudah terlupakan oleh khalayak jamaah atau pengunjung. (Widodo A, Wartawan Senior)***
Komen yang ditutup, tetapi jejak balik dan ping balik terbuka.