METRUM
Jelajah Komunitas

Disabilitas Tak Nampak: Saat Kondisi Hidup Nyata Justru Sulit Terlihat

Oleh Dewi Nada (Emak Uwie)

PERNAHKAH kita bertemu seseorang yang tampak sehat-sehat saja, namun ternyata ia sedang berjuang melawan kondisi yang berat? Itulah yang disebut “disabilitas tak nampak” atau invisible disability. Kondisi ini bisa berupa gangguan fisik, mental, atau neurologis yang tidak terlihat secara kasat mata, tetapi sangat memengaruhi kehidupan sehari-hari.

Di Indonesia, istilah ini masih terdengar asing bagi banyak orang. Padahal, jumlah penyandangnya tidak sedikit. Sayangnya, karena “tidak terlihat”, mereka kerap dianggap baik-baik saja, padahal perjuangannya jauh dari ringan.

Contoh Disabilitas Tak Nampak

Disabilitas tak nampak datang dalam banyak bentuk. Beberapa di antaranya adalah:

  • Gangguan spektrum autisme (ASD), terutama pada individu dengan kemampuan verbal dan kognitif tinggi.
  • Gangguan kesehatan mental: depresi, gangguan cemas, bipolar, hingga skizofrenia.
  • Penyakit kronis: lupus, fibromyalgia, sindrom kelelahan kronis (CFS), multiple sclerosis, hingga penyakit Crohn.
  • Kondisi neurologis: epilepsi, migrain kronis, ADHD.
  • Gangguan sensorik: masalah pendengaran atau penglihatan yang tidak menggunakan alat bantu terlihat.

Karena tidak menggunakan kursi roda, tongkat, atau alat bantu lain, banyak orang di sekeliling mereka tak menyadari adanya kebutuhan khusus. Inilah yang sering memunculkan stigma dan kesalahpahaman.

Tantangan yang Harus Dihadapi

Meski Indonesia sudah memiliki payung hukum melalui UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, realita di lapangan masih jauh dari ideal—terutama untuk disabilitas tak nampak.

  1. Stigma & minimnya pemahaman
    Saat seseorang meminta izin istirahat karena migrain kronis atau serangan cemas, ia bisa dicap malas atau tidak profesional. Bayangkan betapa beratnya harus menjelaskan sesuatu yang orang lain tidak bisa lihat.
  2. Akses yang terbatas
    Banyak fasilitas publik hanya fokus pada disabilitas fisik. Padahal, orang dengan sensitivitas sensorik juga butuh ruang tenang, atau pekerja dengan kondisi kronis butuh fleksibilitas jam kerja.
  3. Sulitnya diagnosis & pengakuan
    Mendapatkan diagnosis yang akurat bisa memakan waktu lama dan biaya besar. Sering kali mereka baru dianggap “sakit sungguhan” setelah melalui proses panjang.
  4. Data yang minim
    Pendataan di Indonesia masih cenderung hanya pada disabilitas fisik. Akibatnya, sulit merancang kebijakan yang benar-benar tepat sasaran untuk penyandang disabilitas tak nampak.
BACA JUGA:  Komnas HAM Minta Presiden Revisi Perpres Komnas Disabilitas
Dewi Nada.*

Menuju Lingkungan yang Lebih Inklusif

Perubahan hanya bisa terjadi jika ada upaya bersama. Beberapa hal yang bisa kita lakukan antara lain:

  • Mengedukasi diri dan orang lain agar stigma berkurang dan empati tumbuh.
  • Mendorong kebijakan inklusif, seperti fleksibilitas kerja, ruang istirahat, atau akses layanan konseling.
  • Membangun komunitas dukungan, supaya para penyandang bisa saling berbagi dan merasa tidak sendirian.
  • Membuka ruang dialog—biarkan mereka yang nyaman untuk berbicara tentang kondisinya, agar lingkungan bisa memahami dan memberi dukungan yang tepat.

Disabilitas tak nampak mengajarkan kita satu hal penting: tidak semua perjuangan terlihat mata. Kadang, orang yang kita anggap “baik-baik saja” justru sedang berjuang paling keras.

Dengan membuka hati, memberi ruang, dan menciptakan lingkungan yang lebih ramah, kita bisa memastikan setiap orang—apapun kondisinya—punya kesempatan yang sama untuk berkontribusi dan hidup bermakna.***

* Penulis, Anggota Komodai (Komunitas Orang Dengan Autoimun) Yayasan TULUS

komentar

Komen yang ditutup, tetapi jejak balik dan ping balik terbuka.