METRUM
Jelajah Komunitas

Angklung Buncis, Ritual Penghormatan Pada Nyai Sri Pohaci

SEBELUM menjadi sebuah alat musik Internasional seperti sekarang ini, kesenian angklung telah mengalami perjalanan sejarah yang amat panjang. Berbagai perubahan telah dilaluinya mulai dari perubahan bentuk, fungsi, sampai pada perubahan nada.

Angklung buncis merupakan salah satu alat musik buhun (kuno) yang biasanya dipakai dalam ritual acara tanam hingga panen padi di Tatar Sunda. Seiring perkembangan zaman, angklung buncis sering juga dimainkan dalam acara penyambutan tamu.

Angklung Buncis adalah alat musik tradisional bernada pentatonis (da, mi, na, ti, la, da) dan merupakan seni pertunjukan yang bersifat hiburan. Kesenian ini bisa ditemui di Desa Baros, Kecamatan Arjasari, Kabupaten Bandung, di Kampung adat Cireundeu, Kel. Leuwigajah, Kec Cimahi Selatan dan di Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat.

Angklung Buncis Cireundeu, Cimahi, Kabupaten Bandung Barat

Meski memiliki nama yang sama, namun setiap daerah memiliki sejarah tersendiri. Seperti angklung buncis dari kecamatan Cigugur, Kuningan, kesenian ini merupakan kreasi sesepuh adat, Pangeran Djatikusumah pada tahun 1969, yang memperoleh inspirasi dari keseharian masyarakat setempat yang telah lama menggunakan perangkat angklung ini. 

Sedangkan eksistensi angklung buncis di Kampung adat Cireundeu, Kel. Leuwigajah, Kec Cimahi Selatan, Kabupaten Bandung Barat, sudah ada sejak 600 tahun lalu dan sangat terkait dengan keberadaan budaya di Cigugur, Kabupaten Kuningan, sebagai wilayah yang dihuni oleh warga Sunda Wiwitan, termasuk juga kesenian angklung buncis yang ada di Cireundeu, kota Cimahi.

Angklung Buncis bagi masyarakat Adat Cigugur, Kuningan dan Cireundeu, Cimahi Selatan dipahami sebagai bagian dari Pikukuh Tilu yang merupakan inti dari ajaran Agama Djawa Sunda. Angklung Buncis oleh masyarakat adat Cigugur dipertunjukan dalam upacara ritual yang disebut seren taun (upacara adat panen padi). Sedangkan pada masyarakat adat Cireundeu penyajian Angklung Buncis dilakukan dalam upacara Tutup Taun (tutup tahun).

Sementara, angklung buncis dari Kabupaten Bandung, dibuat pertama kali oleh Pak Bonce pada tahun 1795 di Kampung Cipurut, Desa Baros, Kec Arjasari. Awalnya diciptakan sebanyak tujuh set Angklung Buncis, lalu kemudian dikombinasikan dengan alat musik pukul dog-dog dan alat tiup terompet.

Instrumen yang digunakan dalam kesenian buncis adalah 2 buah angklung indung, 2 angklung ambrug, angklung panempas, 2 angklung pancer, 1 angklung enclok. Kemudian ada juga 3 buah dog-dog, terdiri dari 1 talingtit, panembal, dan badublag. Dalam perkembangannya kemudian ditambah dengan tarompet, kecrek, dan goong. Angklung buncis berlaras salendro.

Meski berasal dari daerah yang berbeda, semua kesenian angklung buncis erat kaitannya dengan ritual masyarakat Sunda saat mengolah ladang atau sawah. Perenungan masyarakat Sunda zaman dahulu dalam mengolah pertanian (tatanen) terutama di sawah dan huma telah melahirkan penciptaan syair dan lagu sebagai penghormatan dan persembahan terhadap Nyai Sri Pohaci (dewi Sri, dewi Padi), serta upaya nyinglar (tolak bala) agar cocok tanam mereka tidak mengundang malapetaka, baik gangguan hama maupun bencana alam lainnya. 

Sayangnya, mulai tahun 1940-an dapat dianggap sebagai berakhirnya fungsi ritual buncis dalam penghormatan padi, karena sejak itu kesenian angklung buncis berubah menjadi pertunjukan hiburan semata.

Sejalan dengan itu tempat-tempat penyimpanan padi pun (leuit; lumbung) mulai menghilang dari rumah-rumah penduduk, diganti dengan tempat-tempat karung yang lebih praktis, dan mudah dibawa ke mana-mana. Padi pun sekarang banyak yang langsung dijual, tidak disimpan di lumbung. Dengan demikian kesenian buncis yang tadinya digunakan untuk acara-acara ngunjal (membawa padi) sudah tidak diperlukan lagi. (Mak Vey van Driel)***

komentar

Komen yang ditutup, tetapi jejak balik dan ping balik terbuka.