Angklung Bungko dan Tarian Perang dari Cirebon
ANGKLUNG merupakan salah satu alat musik tradisional yang berasal dari Jawa Barat, identik dengan suku Sunda. Nah, di ujung timur Jawa Barat tepatnya di Cirebon terdapat seni musik dan tari Angklung Bungko.
Kesenian ini berasal dari Desa Bungko, Kecamatan Kapetakan, Kabupaten Cirebon. Dahulu angklung ini jadi salah satu alat musik yang dimainkan untuk hiburan, syiar agama Islam sekaligus menjadi salah satu genderang perang dan pemacu semangat melawan penjajah.
Saat ini warga desa Bungko masih memiliki angklung bungko yang telah berusia lebih dari 500 tahun, disimpan dan dirawat dengan baik oleh seorang nelayan sekaligus seniman tari angklung bungko, bernama Adina bin Lamiko (67). Angklung kuno tersebut diberikan secara turun-temurun sebagai pusaka Desa Bungko.
Awal adanya angklung bungko, terdapat dalam naskah Serat Carub Kandha yang ditulis Pangeran Abdul Hamid pada tahun 1813 mencatat bahwa pada abad ke-14 saat Sunan Gunung Jati pertama kali tiba di Cirebon disuruh oleh Tumenggung Cerbon yakni Pangeran Cakrabuana untuk meminta restu dan berkah kepada ulama yang lebih tua di tanah Jawa.
Saat Sunan Gunung Jati bertemu dengan Sunan Ampel, dia langsung mendapat restu. Lalu Sunan Gunung Jati kembali ke Cirebon membantu Pangeran Cakrabuana. Saat itu, di pesantren milik Sunan Ampel terdapat dua murid kebanggannya, yakni Raden Jakataruna seorang veteran Angkatan Laut Majapahit dan Pangeran Surya.
Saat diasingkan, Raden Jakataruna sempat berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Hingga akhirnya tiba di daerah pesisir yang kemudian dinamakan Desa Bungko, Kab Cirebon. Awalnya ia ingin menghentikan penyebaran agama Islam yang telah meruntuhkan Majapahit. Tapi ia justru masuk Islam dan berguru kepada Sunan Gunung Jati.
Akhirnya, Raden Jakataruna mendapat gelar Ki Gede Bungko karena menjadi sesepuh di desa Bungko. Ia juga menjadi Senopati Sarwajala (Panglima Perang Angkatan Laut) Kesultanan Cirebon di era Sunan Gunung Jati sekitar abad ke-15. Di sela istirahat semasa peperangan inilah, bersama pasukannya ia selalu bermain angklung, yang kemudian dikenal dengan Angklung Bungko.
Rekam jejak Ki Gede Bungko berjuang di Cirebon tidak hanya tercatat dalam naskah Serat Carub Kandha saja, tapi para prajurit Ki Gede Bungko, juga merekam perjalanan peperangan Ki Gede Bungko dalam beberapa tarian.
Beberapa tarian yang juga diciptakan dan memiliki makna mendalam selain untuk menyiarkan nilai-nilai Islam, gerakan tarian Angklung Bungko juga melambangkan dan menceritakan tentang peperangan.
Penyajian tarian perang ini hanya dibawakan oleh laki-laki. Tarian angklung bungko memiliki 4 jenis tarian, yakni panji, bantelio, ayam alas dan bebek ngoyor
- Panji menggambarkan sikap berdzikir,
- Benteleye menggambarkan sikap bertindak dalam menghadapi suatu rintangan dalam perjalanan,
- Bebek Ngoyor menggambarkan jerih payah dalam upaya untuk mencapai tujuan
- Ayam Alas yang menggambarkan kelincahan dalam mencari sasaran yang telah dipilih.
Hingga saat ini, kesenian angklung bungko, masih ditampilkan saat merayakan tradisi desa, seperti Ngunjung Buyut Bungko dan Sedekah Bumi. Namun angklung yang digunakan adalah angklung tiruan yang dibuat seperti angklung yang aslinya. Karena kondisi bambu yang sudah lapuk dan diyakini sebagai benda pusaka yang memiliki kaitan dengan sejarah Desa Bungko, menjadi alasan angklung kuno yang berusia ratusan tahun itu sudah tak digunakan lagi. (Mak Vey van Driel)***
Komen yang ditutup, tetapi jejak balik dan ping balik terbuka.