METRUM
Jelajah Komunitas

Ensiklopedia Muslimah Reformis: Perempuan dan Perbincangan Kemanusiaan

MEMBINCANGKAN perempuan adalah membincangkan kemanusiaan. Barangkali itulah mengapa, pemikir seperti Prof Musdah Mulia, merasa perlu menyusun buku tebal berjudul “Ensiklopedia Muslimah Reformis.” Kata Musdah, meski judulnya mengandung kata muslimah, buku ini tidak hanya berbicara mengenai perempuan.

“Buku ini bicara tentang manusia dan kemanusiaan, bukan hanya tentang perempuan. Memang judulnya Muslimah Reformis, itu hanya sebuah jendela bahwa melalui perempuan kita akan melihat bagaimana persoalan-persoalan ke-Indonesiaan terkait demokrasi, politik, agama, sosial, budaya yang berkelindan satu sama lain, dan pada ujungnya kita bicara tentang manusia dan kemanusiaan,” kata Musdah, seperti dilansir dari VOA.

Prof Musdah Mulia dan Ensiklopedia Muslimah Reformis. (Foto: VOA/Nurhadi Sucahyo)
Prof Musdah Mulia dan Ensiklopedia Muslimah Reformis (Foto: VOA/Nurhadi Sucahyo).*

Buku ini terbagi dalam 17 bab dan 863 halaman, merupakan kompilasi pemikiran Musdah Mulia yang sudah dipublikasikan. Sejumlah acara bedah buku telah digelar untuk mengupasnya. Salah satunya diselenggarakan Senin (12/10) malam, oleh Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), Borneo Institute dan Muslimah Reformis Foundation. Sejumlah aktivis dan akademisi perempuan di Kalimantan Tengah turut berbicara dalam forum ini.

Menurut Musdah, selama ini ada istilah di kalangan muslim yang mengalami penyempitan makna, yaitu muslimah salihah. Penyebutan itu mengundang pemahaman, bahwa dia bersifat pasif, tidak ingin melakukan perubahan, lebih banyak tinggal di rumah, mengurus suami dan rumah tangga dan berujung pada harapan untuk masuk surga.

Harapan terakhir itu, lanjut Musdah tentu tidak keliru. Namun, dia meyakinkan kaum perempuan, bahwa sebelum meraihnya, ada kehidupan yang harus diisi dengan kiprah. Sesuai dengan tujuan Tuhan dalam menciptakan manusia di bumi, yaitu sebagai khalifah, yang bermakna semua harus turut mengelola, semua menjadi pemimpin dan memproduksi hal-hal positif. Untuk itu, lanjut Musdah, buku ini memaparkan berbagai sisi kehidupan dimana perempuan harus aktif berkiprah di dalamnya.

“Sayangnya di dalam kehidupan sehari-hari, dalam kehidupan sosial kita, hal itu terlupakan. Kita bicara agama itu selalu terfokus pada hal-hal yang sifatnya ritual-ritual, dan sifatnya indoktrinasi. Jadi sayang sekali, bahwa keberagaman kita tidak berbanding lurus dengan upaya kita merespon persoalan-persoalan kemanusiaan,” ujarnya.

Tawaran Reformasi Pemikiran

Pendeta Merilyn Yohannis, dosen Sekolah Tinggi Agama Kristen Negeri (STAKN) Palangkaraya. (Foto: VOA/Nurhadi Sucahyo)
Pendeta Merilyn Yohannis, dosen Sekolah Tinggi Agama Kristen Negeri (STAKN) Palangkaraya (Foto: VOA/Nurhadi Sucahyo).*

Reformasi pemikiran tidak hanya terjadi di lingkup agama Islam. Pendeta Merilyn Yohannis, dosen Sekolah Tinggi Agama Kristen Negeri (STAKN) Palangkaraya mengakui, di lingkungan Kristen upaya tersebut juga berlangsung. Pada hampir semua agama tekstual, kehidupan umatnya paling besar dipengaruhi oleh teks kitab suci. Pendekatan terhadap teks, kata Merilyn, mempengaruhi bagaimana teks itu dibaca, dipahami dan kemudian dilakukan

“Ternyata, apa yang dilihat oleh Profesor Musdah, juga terjadi dalam kekristenan hari-hari ini. Kalau di kekristenan, para teolog feminis juga sedang giat-giatnya melakukan reinterpretasi terhadap kitab sucinya, teolog fenismis Kristen, maksudnya. Pendekatan hermeneutika feminis, urgent dipakai, untuk mereinterpretasi teks kitab suci yang selama ini banyak biasnya,” kata Merilyn.

Kekristenan juga meyakini, bahwa nilai-nilai feminis tidak hanya memperjuangkan perempuan tetapi memperjuangkan siapa saja yang mengalami diskriminasi dan penindasan. Termasuk di dalamnya adalah pembelaan terhadap alam dan lingkungan.

Merilyn juga sepakat, bahwa perjuangan harus dimulai dengan perbaikan pendidikan yang memanusiakan manusia. Berlanjut kemudian pada perbaikan dalam sektor-sektor lain, seperti institusi pernikahan, kemandirian ekonomi hingga kemandirian politik. Perempuan, lanjut Merilyn, adalah simbol perjuangan melawan dehumanisasi.

Dr Firlianty, Kepala Pusat Penelitian Gender dan Perlindungan Anak, LPPM Universitas Palangkaraya juga setuju dengan berbagai aspek yang ditulis Musdah Mulia. Perubahan diperlukan di sektor pendidikan, pernikahan, termasuk Keluarga Berencana, politik, hukum dan banyak sektor lain.

Dr Firlianty, Kepala Pusat Penelitian Gender dan Perlindungan Anak, LPPM Universitas Palangkaraya. (Foto: VOA/Nurhadi Sucahyo)
Dr Firlianty, Kepala Pusat Penelitian Gender dan Perlindungan Anak, LPPM Universitas Palangkaraya (Foto: VOA/Nurhadi Sucahyo),*

Buku ini menyadarkan perempuan, bahwa pendapat lama banyak anak banyak rejeki, kini tidak relevan lagi. Kualitas anak, kata Firlianty, menjadi jauh lebih penting. Pandangan ini terkait dengan masalah global, lanjutnya, untuk mengatasi ledakan penduduk, kemiskinan, pengangguran dan keterbatasan sumber daya alam. Karena itulah, pembatasan keturunan tidak dipandang sebagai penolakan takdir Tuhan

“Buku ini menawarkan ruang emansipasi terbuka, untuk ruang berpikir tentang agama yang humanis dan nasionalis. Ensiklopedia Muslimah Reformis merupakan upaya meredefinisi konsep perempuan shalihah, bukan hanya mereka yang taat pada Tuhan dengan seperangkat atribut keagamaan, namun juga perlu aktif bergerak, penuh empati, peduli dan turut andil dalam upaya kemanusiaan,” lanjut Firlianty.

Perbaikan Berbagai Sektor

Berbagai proses itu, tentu membutuhkan perbaikan, termasuk diantaranya peningkatan kualitas perempuan. Dalam bidang politik misalnya, upaya ini membutuhkan upaya lebih. Prof Hamdanah, Wakil Rektor IAIN Palangkaraya, menyebut pengalamannya terlibat dalam sejumlah proses politik. Dalam seleksi mengisi jabatan publik tertentu, banyak peserta perempuan gugur di tahap awal.

“Kita ingin perempuan lebih maju, tetapi kadang terkendala dengan SDM-nya. Oleh karena itu pendidikan politik bagi kaum perempuan, menurut hemat saya, itu sangat penting kita laksanakan supaya perempuan itu muncul, khususnya di Kalimantan Tengah ini,” kata Hamdanah.

Karena itu, sejumlah hal menjadi catatan Hamdanah, yaitu pentingnya kader politik perempuan di masyarakat, peningkatan peran perempuan di semua lini, adanya wadah pelatihan bagi perempuan, dan peningkatan partisipasi perempuan dalam berbagai agenda publik.

Sementara Dr Sanawiah, Ketua Pos Bantuan Hukum Aisyiah, Kalimantan Tengah, mengurai sejumlah kasus yang menjadikan perempuan sebagai korban. Jelas sekali, bahwa posisi perempuan lebih banyak dirugikan, karena hukum yang tidak memihak, misalnya terkait perkawinan.

“Hukum dan sanksi terhadap penghianat perkawinan ini harus diusulkan. Karena selama ini tidak ada sanksi, yang ada hanya mediasi, saling bermaafan, seperti itu dan kemudian diulangi lagi. Nah, maunya kita itu lebih lebih beratlah hukuman atau sanksinya,” ujar Sanawiah.

Dalam persoalan-persoalan hukum, Tri Hidayati dari Fakultas Syariah IAIN Palangkaraya memberi catatan pentingnya perempuan memahami hukum. Tidak bisa pasif, perempuan perlu memiliki inisiatif mencari informasi terkait hukum. Dalam posisi, dimana perempuan menjadi pemimpin, pemahaman hukum ini akan membawa banyak perubahan.

“Dia mampu memfungsikan hukum itu melalui gerakan politik dan ketika dia sudah memangku jabatan sebagai pemimpin, maka dia melakukan upaya perubahan itu dengan kepemimpinannya,” kata Hidayati. (M1-VOA/ns/ab)***

komentar

Komen yang ditutup, tetapi jejak balik dan ping balik terbuka.