Komnas HAM Temukan 23 Kasus Rumah Ibadah Sepanjang 3 Tahun Terakhir
Komnas HAM menerima 23 laporan tentang pelanggaran kebebasan beragama khususnya soal rumah ibadah sepanjang 2017-2019.
JAKARTA – Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik mengatakan kasus pelanggaran terhadap kebebasan beragama mengalami peningkatan dalam beberapa tahun terakhir. Komnas HAM mencatat ada 23 laporan tentang kasus rumah ibadah di berbagai daerah sepanjang 2017-2019. Taufan memperkirakan jumlah kasus di lapangan lebih banyak dibandingkan dengan laporan yang diterima lembaganya.
“Jumlahnya lebih dari itu, tapi tentu saja ada banyak kasus-kasus yang tidak diadukan ke Komnas HAM. Atau kasus-kasus itu diselesaikan di tingkat lokal oleh elemen-elemen pemerintah lokal dan organisasi lokal,” jelas Ahmad Taufan Damanik dalam konferensi pers secara daring pada Jumat (6/11/2020), seperti dilansir dari VOA.
Kasus rumah ibadah antara lain terjadi di Nusa Tenggara Timur, Jawa Timur, Jawa Barat, Maluku Tenggara dan Sulawesi Utara. Kasus tersebut berupa penyegelan rumah ibadah, persoalan izin mendirikan bangunan (IMB), hingga pembakaran dan penyerangan rumah ibadah.
Menurut Taufan, kasus-kasus tersebut berkaitan dengan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM) Nomor 9 dan 8 tahun 2006, yang salah satunya mengatur tentang pendirian rumah ibadat. Menurutnya, kasus-kasus tersebut akan memicu konflik yang lebih luas di masyarakat jika tidak ditangani dengan baik oleh pemerintah.
“Jadi berbagai variasi peristiwa pelanggaran atas hak kebebasan beragama itu cukup mengkhawatirkan bagi masyarakat Indonesia yang beragam. Yang letak geografisnya juga terdiri dari belasan ribu pulau,” tambah Peneliti Komnas HAM Agus Suntoro.
Agus menambahkan umat beragama kesulitan memenuhi persyaratan dalam mendirikan rumah ibadah, Terutama soal daftar nama pengguna rumah ibadah paling sedikit 90 orang dan dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 orang. Selain itu, umat beragama kadangkala juga terhambat dalam mendapatkan IMB (Izin Mendirikan Bangunan) meskipun telah memenuhi syarat.
“Mungkin bagi agama mayoritas di wilayah tertentu tidak jadi masalah. Tapi ketika di tempat lain kadang selalu menjadi masalah. Dan celakanya kadang-kadang peran pemerintah untuk memfasilitasi masih menjadi masalah,” jelas Agus Suntoro.
Agus Suntoro menambahkan PBM dua menteri ini telah membatasi hak beragama seseorang. Karena itu, Komnas HAM mengusulkan agar peraturan tentang pendirian rumah ibadah tersebut diatur dalam Undang-undang, bukan peraturan menteri.
Sementara Ketua Umum Yayasan Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) Siti Musdah Mulia, mengatakan persoalan rumah ibadah tidak semuanya berkaitan dengan PBM pendirian rumah ibadat. Ia menemukan pelanggaran hak beragama ini juga berhimpitan dengan unsur politik di daerah tertentu.
“Pengalaman saya di ICRP, ini mengerikan di masyarakat. Karena persoalan ini menjadi bargaining position di dalam proses pemilihan kepala daerah. Kalau ini dibiarkan akan lebih berbahaya dari money laundry,” jelas Siti Musdah Mulia.
Musdah Mulia mempertanyakan sikap pemerintah yang tidak merevisi PBM pendirian rumah ibadat meskipun telah menyadari ada persoalan dalam rumah ibadah. Ia berharap Kementerian Agama menjadi motor dalam revisi aturan tersebut untuk menyudahi persoalan rumah ibadah. Selain itu, ia juga meminta aparat penegak hukum untuk menindak tegas orang yang melakukan tindakan melanggar hukum dalam kasus-kasus ini.
Kemenag: PBM 2006 merupakan usulan umat beragama
Kasubbid Pengembangan Dialog dan Wawasan Multikultural PKUB Paulus Tasik Galle mengatakan peraturan rumah ibadah tersebut berasal dari usulan organisasi-organisasi keagamaan. Antara lain MUI, PGI, Walubi, PHDI dan KWI. Kata dia, draf yang disusun pemerintah kala itu juga hampir 90 persen diubah organisasi keagamaan saat penyusunan PBM pendirian rumah ibadat tersebut.
“Jadi PBM 2006, mungkin-mungkin satu-satunya regulasi tentang agama, produk diskusi para majelis agama sendiri. Karena itu, ketika kita berpikir untuk mendalami kembali, ya harus kita serahkan kembali ke majelis agama,” jelas Paulus Tasik Galle.
Paulus menambahkan negara tidak mau merumuskan persoalan agama dalam Undang-undang sebagai bentuk penghormatan terhadap agama. Menurutnya, persoalan tersebut sudah cukup diatur dalam Pancasila yakni Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sementara terkait persyaratan pengguna rumah ibadah dan dukungan masyarakat, ia mengatakan hal tersebut berdasar kearifan lokal di sejumlah daerah. Menurutnya, jumlah tersebut juga telah disepakati para organisasi keagamaan yang terlibat dalam penyusunan PBM rumah ibadah. (M1-VOA/sm/ab)***
Komen yang ditutup, tetapi jejak balik dan ping balik terbuka.