METRUM
Jelajah Komunitas

Menunggu Solusi Hasil Kajian Ancaman Kebangkrutan Industri TPT di Indonesia

KEMENTERIAN Perindustrian dalam bulan April 2023 lalu sedang melakukan inventarisasi terhadap perusahaan atau industri di Indonesia yang terancam gulung tikar akibat lesunya perekonomian global.

“Sejak awal kita sudah identifikasi yang disebut dengan sektor TPT (Tekstil dan Produk Tekstil) di pasar ekspor kita. Jadi terpukulnya itu sudah sejak lama,” kata Menteri Perindustrian (Menperin), Agus Gumiwang, di Tangerang, Senin 10 April 2023.

Menurut Menperin, pihaknya mulai bulan April itu telah mendata pabrik-pabrik tekstil yang terancam gulung tikar maupun tutup akibat dampak dari terpuruknya ekonomi global.

“Kita tentu akan ratas (rapat terbatas), dan itu salah satu upaya untuk menekan impor supaya industrinya juga bisa kembali normal,” katanya. (antaranews.com, Senin, 10/4/2023).

Sepekan sebelumnya, akhir Maret 2023, muncul berita sebanyak 1.163 buruh pabrik PT Tuntex Garment Indonesia terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Gelombang PHK itu sebagai dampak pandemi Covid-19 selama tiga tahun yang membuat lesunya perekonomian global.

Kalau pandemi Covid-19 menjadi penyebab, tentu saja PT Tuntex Garment Indonesia tidak sendirian. Asumsinya banyak perusahaan TPT di Indonesia ini yang juga menghadapi situasi yang sama. Banyak pabrik TPT itu yang berlokasi di Provinsi Jawa Barat, terutama Bandung Raya.

Berita terakhir menyebutkan, gelombang PHK masih terus menerjang industri tekstil. Berdasarkan temuan Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI), terdapat pengurangan sekitar 150.000 karyawan di industri TPT, baik berupa PHK atau dirumahkan, selama kuartal III-2022 sampai kuartal I-2023.

“Jumlah karyawan industri TPT yang di-PHK bisa saja jauh lebih besar lantaran tak melapor,” kata Ketua Umum APSyFI, Redma Gita Wirawasta di Jakarta, Rabu 7 Juni 2023. (Pikiran Rakyat, 8/6/2023)

Benarkah hanya karena Covid-19?

Menjadi pertanyaan, apakah pandemi Covid-19 menjadi satu-satunya penyebab utama kelesuan sehingga mengakibatkan kebangkrutan banyak pabrik TPT di Indonesia?

Reda Gita Wirawasta mengatakan, ketidakpastian yang menyelimuti industri TPT adalah pasar ekspor yang belum pulih. Selain itu, pasar domestik masih dipenuhi barang impor sehingga stok produk tekstil dan alas kaki di gudang masih tinggi.

“Dengan begitu, perusahaan kembali melakukan pengurangan produksi dan terpaksa melakukan rasionalisasi karyawan,” ujarnya.

Menurut Redma, PHK menjadi opsi terakhir perusahaan tekstil maupun alas kaki. Sebisa mungkin, perusahaan cukup melakukan rasionalisasi dengan merumahkan karyawan untuk sementara waktu sehingga bisa direkrut kembali ketika kondisi perusahaan membaik.

“Namun, untuk perusahaan yang benar-benar berada dalam kesulitan dan terpaksa melakukan PHK, maka sebisa mungkin harus memenuhi hak karyawan,” tegasnya.

Redma mengungkapkan, pasar TPT dalam negeri kini masih dibanjiri produk impor baik produk legal maupun ilegal. Padahal pasar domestik semestinya bisa dimaksimalkan oleh produsen TPT nasional ketika ekspor lesu.

Serius berantas penyelundupan

Banjirnya produk TPT ilegal atau penyelundupan menjadi lebih tergambar dan sangat menyedihkan ketika disebutkan angkanya, sehingga Ketua Umum APSyFI mendesak pemerintah harus serius memberantas praktik impor illegal yang marak dan berlangsung terbuka itu.

Berdasarkan hitungan APSyFI, menurut Redma, per tahun ada sekitar 300.000-400.000 ton impor TPT ilegal senilai Rp 35 triliun yang masuk ke Indonesia, baik dalam bentuk pakaian, kain maupun benang.

“Sekitar 1.400 kontainer per bulan masuk lewat pelabuhan-pelabuhan utama di Jawa dan sebagian lewat Sumatra,” ungkap Redma. (Damiana Cut Emeria, CNBCIndoneia.com, 17/4/2023)

Dari data tersebut, ungkap Redma, sekitar 210.000 ton impor yang masuk Indonesia berasal dari China, sisanya dari Korea, Taiwan, India, Vietnam, Bangladesh, dan Thailand. “Kita bisa lihat secara jelas data dari Trade Map, yang catatan ekspor TPT China ke Indonesia lebih besar dibanding catatan impor kita cari China,” cetus Redma.

Perbedaan data itu, lanjut Redma, disebabkan oleh praktik impor borongan, under invoice, pelarian HS (Harmonized System-metode pengklasifikasian produk) dan rembesan gudang berikat.

“Praktik ini secara leluasa dan terbuka dilakukan oleh perusahaan jasa under nama bekerja sama dengan oknum bea cukai di lapangan, sehingga dengan mudah lewat jalur hijau, bahkan tanpa perlu persetujuan impor”.

Redma menilai, Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 25/2022 terkait Persetujuan Impor TPT masih banyak kebocoran. “Kami mendapat laporan masih banyaknya perusahaan yang melakukan pelanggaran dan diberikan izin impor berlebih baik oleh Kemenperin untuk API-P (angka pengenal impor-produsen) maupun oleh Kemendag untuk API-U (angka pengenal impor-umum).

“Izin impor yang diberikan tidak transparan, para pelanggar tidak pernah ditindak, malah izin impornya terus nambah. Membanjirnya impor ilegal ini menekan utilisasi industri TPT ke titik cukup rendah (sekitar 50 persen) hingga menelan korban,” tutur Redma sambil mencontohkan PT Tuntex Garment Indonesia yang bangkrut dan mem-PHK 1.163 karyawannya.

PHK dan rumahkan 1,8 juta orang

Data korban pemutusan hubungan kerja yang lebih mengejutkan juga datang dari Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) pada 2020 lalu atau tahun awal pandemi Covid-19. Sekretaris Jenderal API, Rizal Tanzil, mengatakan pihaknya medio 2020 telah mendata bahwa angka karyawan yang di-PHK dan dirumahkan mencapai 1,8 juta orang. Angka itu lebih besar dari data Kemenperin 1,5 juta orang.

“Itu pilihan sulit sebenarnya bagi kami, pilihan terakhir. Tadinya kami tidak punya pilihan lain karena cashflow terlalu berat, data kita 1,8 juta tenaga kerja kita kurangi hingga pekan kemarin dan angka ini akan terus naik karena banyak industri yang tidak mampu bertahan,” ujar Rizal Tanzil dalam dialog via zoom bersama Closing Bell, CNBC Indonesia, Jumat (8/5/2020). (Hidayat Arif Subakti, CNBCIndonesia.com, 8/5/2020)

Menurut Rizal Tanzil, beratnya tekanan cashflow saat ini membuat sejumlah perusahaan harus mem-PHK atau merumahkan karyawan, sampai ada yang gulung tikar. “Angka pastinya belum diperoleh tapi terakhir sudah sekitar 30 persen yang gulung tikar,” katanya.

Jika angka PHK yang dipunyai API jauh lebih besar dibanding data APSyFI harap maklum, karena bidang garapan anggota API lebih luas dibanding APSyFI. Selain itu, tahun pertama berlangsungnya pandemi Covid-19 sungguh mencekam sehinga ekonomi global mengalami kemunduran besar.

Karena itu wajar jika Kemenperin telah, sedang, dan terus mendata dan mengkaji kondisi sebenanya industri TPT di Indonesia yang terpaksa mem-PHK atau minimal merumahkan banyak karyawannya. Pendataan dan pengkajian itu tentu saja diharapkan menjadi bahan pertimbangan untuk melahirkan solusi yang terbaik.

Selain memberantas praktik impor ilegal atau penyelundupan tersebut, Pengurus API pernah mengusulkan agar pemerintah segera memberi tiga stimulus kebijakan. Yakni, pertama, memberikan keringanan pembayaran listrik dengan penghapusan rekening listrik minimum. Jadi pengusaha ingin membayar listrik sesuai yang dipakai.

Kedua, terkait BPJS Ketengakerjaan, saat ini banyak tenaga kerja yang dirumahkan namun industri masih harus membayarkan iuran BPJS ketenagakerjaan.

Ketiga, terkait relaksasi pembayaran bunga bank atau utang bank pengusaha industri TPT kepada perbankan.

Menurut Rizal, tiga poin tersebut saat ini merupakan obat yang diperlukan untuk meringankan napas industri tekstil. Dengan adanya keringanan itu para pengusaha akan mampu membayarkan hak para pekerja dengan lebih mudah. (Widodo A, Wartawan Senior)***

komentar

Komen yang ditutup, tetapi jejak balik dan ping balik terbuka.