METRUM
Jelajah Komunitas

Perlu Tekanan Publik yang Kuat agar Jokowi Pertimbangkan UU Cipta Kerja

PERLU tekanan publik yang kuat agar Presiden Joko Widodo mau mempertimbangkan kembali UU Cipta Kerja karena beleid ini lebih mementingkan investasi dibanding hak asasi, prosedur administrasinya, dan sebagainya. Hal tersebut diungkapkan Zainal Mochtar, pengamat hukum dari Universitas Gadjah Mada. 

Dilansir dai VOA, pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja menjadi undang-undang dalam rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat pada Senin (5/10/2020) terus menuai polemik. Beleid tersebut memang sejak awal kontroversial karena dianggap menyenangkan pengusaha dan menyengsarakan rakyat.

Dalam proses perumusan sampai pengesahannya pun berlangsung tergesa-gesa. Masyarakat juga belum mengetahui rancangan final Undang-undang Cipta Kerja yang telah disahkan DPR tersebut.

Zainal Arifin Mochtar. (Foto: courtesy)
Zainal Arifin Mochtar (Foto: courtesy).*

Zainal Arifin Mochtar, pengamat hukum dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, menyerukan penolakan sebagai protes terhadap pengesahan RUU Cipta Kerja yang diyakini merugikan rakyat.

Zainal menjelaskan RUU Cipta Kerja dibuat dengan proses formil yang bermasalah dan substansi materiil yang masih begitu banyak catatan. Cacat formil karena RUU tersebut disusun dengan partisipasi publik yang minim.

Menurut Zainal, perlu tekanan publik yang kuat agar Presiden Joko Widodo mau mempertimbangkan kembali UU Cipta Kerja karena beleid ini lebih mementingkan investasi dibanding hak asasi, prosedur administrasinya, dan sebagainya.

“Saya menawarkan kita semua harus teriakkan (penolakan) bersama atas undang-undang ini. Pembangkangan sipil barangkali atau apa pilihan-pilihannya silakan dipikirkan. Ini adalah cara kita melihat baik-baik apakah undang-undang ini memang pantas untuk dibiarkan begitu saja,” kata Zainal.

Zainal mengatakan kalau tekanan masyarakat kuat, itu merupakan bagian dari partisipasi publik yang selama ini dihilangkan dalam proses penyusunan UU Cipta Kerja. Namun, dia tidak yakin Presiden Joko Widodo mau mengubah sikapnya dengan tidak menandatangani UU Cipta Kerja yang telah disahkan DPR .

Pilihan terakhir adalah uji materi ke Mahkamah Konstitusi. Langkah ini harus dilakukan.

Hal yang sama juga diungkapkan Dekan Fakultas Hukum UGM Sigit Riyanto. Dia menyayangkan proses penyusunan UU Cipta Kerja tidak mengakomodasi pendapat masyarakat luas, termasuk akademisi dan para pemangku kepentingan lainnya. Akibatnya, proses perumusan undang-undang ini bermasalah dan harus dikritik untuk memperbaiki kekurangan-kekurangannya.

Nabiyla Risfa Izzati, Dosen Fakultas Hukum UGM mengatalan ada beberapa poin krusial yang berbahaya dan bisa merugikan kaum pekerja. Salah satunya soal pesangon.

Pemerintah dan DPR sepakat untuk mengubah besaran nilai maksimal pesangon yang didapatkan pekerja menjadi sebesar 25 kali upah yang terdiri atas 19 kali upah bulanan buruh dan 6 kali jaminan kehilangan pekerjaan (JKP). Adapun di dalam UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003, besaran nilai maksimal pesangon yang bisa didapatkan buruh mencapai 32 kali upah.

Para anggota serikat buruh memprotes pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja, di Kawasan Industri Jakarta Timur, di Bekasi, Senin, 5 Oktober 2020. (Foto: Antara via Reuters)
Para anggota serikat buruh memprotes pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja, di Kawasan Industri Jakarta Timur, di Bekasi, Senin, 5 Oktober 2020 (Foto: Antara via Reuters).*

Di dalam UU tersebut dijelaskan, untuk masa kerja delapan tahun atau lebih, besaran pesangon yang didapatkan sebesar sembilan bulan upah. Selain itu, untuk pekerja dengan masa kerja 24 tahun atau lebih, akan mendapatkan uang penghargaan masa kerja sebesar 10 bulan upah. Ditambah lagi, ada klausul yang mengatur bila pekerja mengalami PHK karena efisiensi, dirinya berhak atas uang pesangon dengan nilai dua kali dari yang sudah ditentukan.

Yang menjadi masalah, papar Nabiyla, ketentuan pesangon maksimal membuka kemungkinan pengusaha yang melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) untuk memberikan pesangon jauh di bawah ketentuan yang ada.

“Karena memang ketentuannya mengatur maksimal, berbeda dengan ketentuan di Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 sebelumnya yang mengatur ketentuan pesangon minimal yang harus diberikan oleh pengusaha,” ujar Nabiyla.

Bagaimana nasib buruh setelah UU Cipta Kerja disahkan?

Menurut Kahar S. Cahyono, Kepala Departemen Komunikasi dan Media KSPI, undang-undang tersebut akan menghancurkan tiga pilar utama dalam hubungan industrial, yakni mengenai kepastian pekerjaan, kepastian pendapatan, dan jaminan sosial.

“Apa yang terjadi saat ini sesungguhnya adalah soal kerakusan saja. Sudah ada tax amnesty, sudah ada paket kebijakan ekonomi, sudah ada berbagai kebijakan dan kemudahan yang diberikan oleh negara kepada pengusaha, tapi tetap saja dia mau meminta lebih besar lagi dan lebih besar lagi, terutama bahkan mengurangi ha-hak buruh yang sudah diatur di dalam undang-undang sebelumnya,” tutur Kahar.

Karena itu, lanjut Kahar, KSPI kecewa dan menyesalkan tindakan pemerintah dan DPR yang tergesa-gesa mengesahkan UU Cipta Kerja. Sebagai protes, KSPI menyerukan mogok nasional pada 6-8 Oktober.

Demonstrasi dilakukan buruh dan mahasiswa di sejumlah kota, termasuk Bandung dan Serang. (M1-VOA/fw/ft)***

komentar

Komen yang ditutup, tetapi jejak balik dan ping balik terbuka.