Cegah DBD, Kota Bandung Terapkan Inovasi Wolbachia Mulai Oktober
KOTA BANDUNG (METRUM) – Kasus DBD di Kota Bandung menurun. Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan (Dinkes), selama 2022 terdapat 5.205 kasus DBD di Kota Bandung. Jika dibandingkan dari Januari-Juli 2023, kasus DBD turun menjadi 1.281 kasus.
Hal itu disampaikan Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinkes Kota Bandung, dr. Ira Dewi Jani. Ia menyebutkan, trennya dari Januari ke Juli semakin menurun. Bahkan, jika dibandingkan per bulan yang sama di tahun 2022, kasus pun lebih sedikit untuk saat ini.
“Barangkali karena upaya yang dilakukan. Tapi kalau melihat upaya-upaya tersebut, sebetulnya tidak ada yang berbeda signifikan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Mungkin juga karena musim panas, sehingga tidak ada genangan air,” ujar Ira kepada Humas Kota Bandung, Selasa 29 Agustus 2023.
Untuk semakin menekan kasus DBD, rencananya mulai bulan Oktober ini, Pemkot Bandung akan mengimplementasikan inovasi bakteri wolbachia ke dalam telur-telur nyamuk Aedes aegypti. Upaya ini baru akan diujicobakan di Kecamatan Ujungberung terlebih dulu.
“Kita sudah uji coba resistensi juga dengan menangkap nyamuk dan telur di Ujungberung. Tahapannya sudah dijalankan,” ucapnya.
Ujungberung termasuk dalam 10 kecamatan dengan kasus DBD terbanyak di Kota Bandung tahun 2022. Kepala UPT Puskesmas Ujungberung pun telah mendapat pelatihan mengenai inovasi wolbachia di Yogyakarta.
“Dukungan lintas sektor kewilayahannya juga bagus. Apalagi ini pilot project, jadi harus ada dukungan juga dari masyarakat. Maka dari itu, Ujungberung dipilih sebagai pilot project wolbachia,” ungkapnya.
Ira menjelaskan, perantara atau vektor penyakit DBD adalah nyamuk Aedes aegypti. Dalam nyamuk tersebut ada virus dengue yang menyebabkan seseorang terkena demam berdarah.
Mekanisme inovasi ini, telur nyamuk Aedes aegypti akan disuntikkan bakteri wolbachia, kemudian menetas menjadi nyamuk dewasa. Jika nyamuk tersebut menggigit pengidap virus dengue, maka virus yang dihisap nyamuk akan mati dengan bakteri wolbachia. Sehingga nyamuk Aedes aegypti tersebut tidak akan bisa menyebarkan virus dengue lagi ke tubuh manusia.
“Jangan takut kalau bakteri wolbachia akan masuk ke tubuh manusia. Ukuran bakteri tersebut lebih besar daripada moncong nyamuk. Sehingga saat nyamuk menggigit manusia, bakteri wolbachia tidak akan masuk ke dalam tubuh,” katanya.
Ia menambahkan, pada saat implementasi bulan Oktober mendatang, pihaknya akan menitipkan telur nyamuk Aedes aegypti yang sudah disuntikkan wolbachia di dalam ember. Harapannya, nyamuk-nyamuk ini akan menggantikan nyamuk Aedes aegypti yang memiliki virus dengue.
Lalu, nyamuk-nyamuk tersebut bisa kawin dengan nyamuk lokal untuk menghasilkan nyamuk lain yang otomatis sudah memiliki bakteri wolbachia. Sehingga nyamuk Aedes aegypti tidak akan bisa menjadi perantara virus dengue lagi.
“Telur-telur yang sudah disuntikkan wolbachia ini diproduksinya di lab entomologi atau lab serangga. Kota Bandung itu dapatnya dari Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan (BBTKL) Salatiga,” paparnya.
Sebenarnya, lanjut Ira, wolbachia sering ditemui dalam keseharian. Bakteri tersebut ada di dalam tubuh lalat buah, hewan-hewan kecil yang biasanya suka terbang di pisang atau buah-buahan.
“Di skema ini, nyamuk Aedes aegypti akan tetap ada untuk keseimbangan ekologis. Tapi dia sekarang sudah mengandung bakteri wolbachia supaya bisa menghentikan penyebaran virus dengue,” jelas Ira.
Kota pertama yang mengimplementasikan inovasi ini adalah Yogyakarta. Dari penelitian dan implementasi wolbachia di Jogjakarta, kasus DBD bisa turun sampai 70 persen.
Sedangkan, Kota Bandung termasuk daerah endemis DBD dan kasusnya juga cukup tinggi. Maka dari itu, Kementerian Kesehatan mengeluarkan keputusan, jika Kota Bandung merupakan 1 dari 5 kota pilot project untuk implementasi penanggulangan DBD dengan berbasis teknologi wolbachia.
Meski begitu, Ira mengaku, implementasi wolbachia ini bukan berarti menggantikan seluruh upaya pencegahan DBD yang ada. Langkah-langkah sebelumnya akan tetap dijalankan, seperti 3M (menguras, menutup, dan mengubur), fogging sesuai indikasi, dan Gerakan Satu Rumah Satu Juru Jumantik.
“Ini sebagai komplementer karena dengan upaya yang selama ini kita lakukan saja kasus DBD masih belum tuntas hilang. Sedangkan inovasi wolbachia ini sudah terbukti di Yogyakarta,” akunya.
Ia mengungkapkan, tantangan implementasi inovasi ini pada saat awal adalah lokasi penempatan ember telur nyamuk. Sebab di lokasi tersebut pasti akan jadi banyak nyamuk.
Jika masyarakat merasa terganggu, Ira mengatakan, tidak apa-apa untuk membunuh nyamuk yang ada di sekitar dengan ditepuk, pakai raket nyamuk, atau obat serangga. Asalkan telur-telur nyamuk yang di ember jangan dibuang hingga menetas.
“Kita cuma minta tolong titip telur di ember ini saja. Telur-telurnya jangan diganggu dulu sampai menetas semuanya dan jadi nyamuk dewasa,” harapnya.
Ke depannya, akan ada 33.000 ember yang disebar se-Kota Bandung. Namun, untuk penyebarannya harus melihat dari peta udara dan satelit mengenai luas wilayah serta jumlah hunian. Sehingga tidak bisa disamaratakan jumlahnya tiap kecamatan.
Ira menuturkan, inovasi ini juga bertujuan untuk mengurangi paparan kimia yang tidak sesuai indikasi. Sehingga lebih aman bagi lingkungan, masyarakat, juga secara ekonomis lebih murah. Sedangkan jika dibandingkan dengan fogging, lebih membutuhkan biaya untuk bensin dan obatnya.
“Kalau memang ini bisa diterapkan secara merata, harapannya angka kasus bisa turun karena virus dengue sudah tidak ada. Lalu, fogging juga bisa berkurang, sehingga dananya bisa dialihkan ke hal lain yang lebih penting,” imbuh Ira. (M1-din)***
Komen yang ditutup, tetapi jejak balik dan ping balik terbuka.