METRUM
Jelajah Komunitas

Digitalisasi atau Mati

Oleh: Suwatno*

SECARA teoretis, biasa­nya ada beberapa pertanyaan umum yang harus dijawab saat hendak membangun sebuah bisnis. Pertama, bagaimana model ­bisnisnya? Kedua, apa business level strategy yang akan dipakai? Ketiga, apa saja sumber daya dan kemampuan yang dimiliki dalam menjalankan bisnis? (Hitt, 2011).

Suwatno.*

Untuk itu, ilmu dalam berbisnis sangat penting se­bagai modal utama setiap pe­ngusaha untuk menghadapi setiap perubahan. Hal ini mengingat secara natural tidak ada satupun bisnis di dunia ini yang selamanya berjalan stabil.

Ia terus berubah dan akan mengalami berbagai fase. Se­tidaknya setiap bisnis akan mengalami fase awal (startup), fase pertumbuhan cepat (rapid growth) hingga fase kematang­an (maturity). Namun, setelah mencapai puncak (peak), sebuah bisnis biasanya meng­alami penurunan (decline).

Pertanyaan apakah sebuah bisnis bisa bangkit kembali ataukah berujung kematian, sangat ditentukan oleh ke­mampu­an sang pebisnis dalam melakukan adaptasi dan ­inovasi teknologi. Jika seorang pengusaha tidak menyadari akan urgensi hal tersebut, kemungkinan ia tidak akan siap menghadapi business lifecycle semacam ini.

Tidak siap

Banyak contoh perusahaan yang tidak siap dan tidak mampu menghadapi siklus bisnis. Bahkan kerap kali terjadi pada perusahaan-perusahaan besar seperti Kodak, Nokia, Black­berry, Yahoo, hingga Majalah Time. Saat mereka berada pada fase kematangan, mereka seharusnya mempersiapkan diri untuk menghadapi fase pe­nurunan. Namun, karena mereka tidak mau berubah, keliru dalam melakukan perubah­an, atau tidak tepat dalam membaca perilaku konsumen, sehingga yang terjadi bukan rebirth (lahir kembali), melain­kan death (kematian).

Sebagai contoh, Majalah Time awalnya merupakan salah satu majalah market leader kelas dunia yang telah terbit sejak tahun 1922. Sejak Februari 2018, kepemilikan majalah itu berpindah dari Time Inc ke­pada Meredith Corporation. Salah satu penyebab perpindah­an kepemilikan itu ­karena telatnya Time Inc ­beradaptasi dengan dunia ­digital.

Contoh tersebut seharusnya memberikan kesadaran kepada kita bahwa mempertahankan bisnis tidak lebih mudah dibandingkan dengan memulainya. Bahkan, terkadang mempertahankan jauh lebih sulit daripada memulai. ­Namun, tidak sedikit pula perusahaan yang mampu bangkit (rebirth) dan dapat memper­tahankan posisinya sebagai market leader.

Berbeda nasib dengan Majalah Time, The New York Times jauh lebih sukses dalam menjalankan transformasi di­gital. Pendapatan mereka meningkat hingga 40% dari tahun ke tahun. Kesuksesan tersebut rupanya didukung oleh dua strategi.

Pertama, mereka memakai data pelanggan lama dalam ­data base mereka untuk masuk ke dunia digital. Kedua, mereka juga aktif menciptakan produk-produk baru dalam konteks digital. Kedua langkah tersebut ternyata mampu membuat konsumen berlangganan The New York Times versi digital (Tirto.id, 17/2/2018).

Pemasaran digital

Pemasaran adalah ujung tombak dalam seni berbisnis. Dalam konteks digital, pemasaran sejatinya tidak hanya berupa kegiatan jual beli daring melalui situs web. Ruang lingkup dan dimensi pemasaran digital jauh lebih luas dari sekadar kegiatan jual beli daring di situs web. Ia mencakup berbagai strategi dan proses dalam menciptakan penawaran dan membangun asosiasi antara brand dengan marketnya melalui kekuatan internet.

Tidak sedikit kita temui sebuah brand yang tiba-tiba meroket dengan supercepat, tetapi dalam waktu singkat jatuh dan tidak mampu bangkit kembali. Biasanya hal ini ter­jadi karena mereka bermain di bisnis musiman dan tidak membangun strategi manajemen pemasaran dengan baik. Oleh karena itu, setiap marketer seharusnya mengetahui bagaimana cara menjalankan bisnis daring agar berjalan secara long term.

Damian Ryan dan Calvin Jones (2009) dalam bukunya Understanding Digital Marketing; Marketing strategies for Engaging the Digital Generation menyebutkan hal-hal yang membentuk fondasi dari strategi digital marketing. Pertama, kenali bisnis Anda (know your business). Dalam hal ini, apakah bisnis yang ingin di­bangun sudah siap menerapkan digital marketing? Apakah produk atau jasa yang ditawar­kan cocok dengan promosi ­daring? Apakah sumber daya manusia dan infrastruktur yang tersedia telah siap untuk me­ngakomodasi perubahan dalam metode pemasaran?

Kedua, kenali pesaing Anda (know the competition). Dalam hal ini, setiap pebisnis harus mengetahui siapa pesaing ­utamanya di pasar digital. Apa yang kompetitor kerjakan ­dengan benar dapat adaptasi, sementara yang salah bisa dipelajari faktor-faktornya, dan yang tidak mereka kerjakan ­dapat menjadi peluang.

Ketiga, kenali apa yang ingin anda capai (know what you want to achieve). Dalam hal ini setiap pebisnis perlu me­ngetahui tujuan dan hal-hal apa saja yang ingin dicapai melalui penggunaan digital marketing. Untuk itu, mereka perlu menyusun tujuan dengan jelas, terukur dan dapat di­capai.

Keempat, kenali cara kerja Anda (know how you’re ­doing). Dalam konteks ini, se­orang pebisnis perlu me­ngetahui cara dan taktik yang efektif dalam menggunakan digital marketing. Mereka harus mengetahui apa saja yang terjadi di dunia daring dan membandingkannya ­dengan apa yang sudah mereka miliki dan lakukan.

Kemampuan para pebisnis dalam menjalankan strategi digitalisasi ini akan membuat bisnis mereka bergerak lebih lincah (agile) dalam menghadapi perilaku pasar yang sangat dinamis. Menurut saya kapabilitas ini tidak bersifat ­opsional, melainkan suatu keharusan, bahkan mungkin ­sudah menjadi keniscayaan dalam menjalankan bisnis di era disrupsi.***

* Penulis adalah Guru Besar Komunikasi Organisasi, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis UPI, Ketua Prodi Pendidikan Ekonomi Sekolah Pascasarjana UPI.

komentar

Komen yang ditutup, tetapi jejak balik dan ping balik terbuka.