METRUM
Jelajah Komunitas

Jalur Bandung-Ciwidey: Risiko Menghadang Permukiman Padat

Reaktivasi Jalur Kereta Api di Jawa Barat

RENCANA Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan PT Kereta Api Indonesia mengaktifkan kembali empat jalur kereta yang lama mati, ­disambut baik oleh pemerintah daerah yang terlewati jalur-jalur itu. Tidak terkecuali Pemkab Bandung yang terlewati jalur kereta Bandung-Ciwidey. Kendala hebat yang akan ditemui adalah keberadaan rumah dan ­bangunan di pinggiran rel.

Pantauan ”PR” di lapangan, kondisi itu terjadi di hampir semua jalur. Sebagai sampel diambil di Desa Sukajadi, Kecamat­an Sore­ang, Kabupaten Bandung.

Di wilayah itu, deretan rumah warga berdiri di sepanjang perlintasan rel. Tak hanya bangunan nonpermanen, tetapi bangunan beton pun kokoh berdiri. Warga membeton jalur rel untuk akses jalan. Besi jembatan juga sudah berkarat tanpa rel dan bantalan.

Seorang sesepuh warga Desa Sukajadi, Amid (73), mengatakan bahwa kondisi itu terjadi sejak jalur itu berhenti beroperasi pada 1972, tepat setelah kecelakaan rangkaian kereta api pengangkut kayu. Jalur ditutup secara resmi pada 1982.

”Begitu kereta sudah tak lagi melewati jalur itu, langsung banyak orang yang membangun rumah di pinggiran rel. Tidak ada larang­an dari pemerintah, sehingga warga leluasa mendirikan bangunan di atas rel kereta api ini,” tutur Amid.

Tak hanya warga sekitar, kata Amid, warga dari sejumlah wilayah pun ramai-ramai berdatangan dan mendirikan rumah di lokasi tersebut. ”Saya sendiri sebelumnya tinggal di Desa Cileutik karena lokasinya ketika itu jauh dari jalan raya, maka saya pindah ke sini pada 1987,” ucapnya. Hanya dalam kurun waktu lima tahun, perumahan warga berjejer sampai ke Ciwidey.

Amid sendiri mengaku tidak kaget dengan rencana reaktivasi jalur kereta tersebut. Ia sudah mendengar beberapa kali wacana serupa sejak lama. Ia mengaku ikhlas jika harus merelakan rumahnya tergusur kembali. ”Ya, mau bagaimana lagi, dari awal saya tahu ini tanah milik PT KAI, jadi kalau mau digunakan lagi saya tidak bisa menolak,” ujarnya.

Hal itu dibenarkan Yaya (72), warga lainnya yang ­semula tinggal di Desa Sadu, Soreang. Ia mengaku ala­s­an pindah adalah melihat lokasi yang lebih strategis untuk mengadu nasib. Soalnya rumah sebelumnya berada di lokasi yang jauh dari jalan utama dan jalan desanya ketika itu dalam kondisi rusak berat.

Stasiun usang

Permukiman padat penduduk juga ditemui di wilayah Kecamatan Dayeuhkolot dan sekitarnya. Sri Sulastri (54), warga Desa Citeureup, Kecamatan Dayeuhkolot, mengaku ia dan orangtuanya pindah ke lahan pinggiran rel kereta api sejak berusia 8 tahun. Keluarganya tak membangun sendiri rumah itu, tapi membelinya dari rekan sang ayah.

”Kalau rel ini akan diaktifkan kembali, kami pasrah dan berharap ada penggantian saja,” ujar Sri yang kerap ber­main de­ngan teman-temannya di rel kereta itu sewaktu kecil.

Di daerah ini, tantangan besar menanti PT KAI jika akan mela­ku­kan reaktivasi jalur. Soalnya besi-besi di rel tersebut sudah tampak bengkok ke luar jalur. Bebe­rapa menjulur ke atas.

Tantangan lain yang akan ditemui di jalur KA Bandung-Ciwidey adalah kondisi Stasiun di Dayeuhkolot, Banjaran, Soreang, dan ­Ciwidey serta halte-halte di antara stasiun-stasiun tersebut. Selain sudah tak terawat, banyak pula bangunan rumah, kios serta gudang-gudang milik warga yang berdiri di bekas stasiun tersebut. Di Banjaran, jalur rel bahkan sudah berubah menjadi jalanan bertembok dan

beraspal. Begitu pula bangunan stasiun yang dipagari bangunan milik warga serta sebagian ruangannya ­dijadikan kantor Organda Banjaran.

”Di Stasiun Banjaran masih ada tiga bangunan utama yaitu ­kantor, gudang penyimpanan, dan garasi. Tapi semua sudah beralih fungsi,” kata Anwar (70), mantan pegawai PT KAI di stasiun itu. ­(Sumber: Handri Handriansyah/”PR”, 01/10/2018)***

komentar

Tinggalkan Balasan