METRUM
Jelajah Komunitas

Kapan Idealnya Melakukan Taaruf?

SUATU kali, pernah Ustaz Ery Lubis menyapa sese­orang di kelas Sekolah Pra-nikah. Di benaknya, orang itu sedang mengantar anak.

”Ternyata dia yang ikut. Saya tanya kenapa baru sekarang? Dia jawab terlalu enjoy dengan kerjaan. Banyak akhwat yang fokus karir sampai lupa menikah. Akhirnya lupa usianya sudah sekian,” kata Ustaz Ery.

Menikah, yang secara agama dianjurkan bahkan diwajibkan, menurut Ery memang bergantung pada kesiapan seseorang. Namun, dia menyarankan usia mahasiswa atau selepas lulus kuliah (sekitar 22 tahun) adalah waktu ideal bertaaruf dan menikah.

Ada beberapa keuntungan dengan usia tersebut. Yang utama tentu saja menghindarkan mereka dari celah berzina. Lalu, usia mereka tidak akan terlalu tua ketika memiliki anak. Dengan demikian, peluang anak mendapat perawatan dan pembiayaan yang baik pun lebih besar.

”Terkait dengan karier setelah kuliah, menikah tak akan menghambat. Bahkan, banyak yang sudah menikah ketika berstatus mahasiswa dan akhirnya mereka juga membiayai kuliah istri hanya dengan berdagang,” kata ustaz yang kerap menjadi konsultan taaruf di Masjid Salman ITB itu.

Hanya, tidak setiap mahasiswa siap segera menikah. Kesiapan tersebut tidak terlepas dari kedalaman ilmu agama. Menurut Ery, wawasan ilmu seseorang akan memberikan pemahaman terkait pentingnya segera menikah.

”Namun, itu juga akan bergantung kepada orangtua apakah membolehkan atau tidak. Ketika si anak siap, orangtua melarang, anak harus patuh kepada orangtua. Dalam taaruf kami selalu menanyakan apakah orangtua sudah tahu atau belum,” katanya.

Sekolah pranikah

Salah satu upaya menimba ilmu tersebut, menurut Ery, mahasiswa bisa memanfaatkan sekolah pranikah atau sejenisnya misalnya berupa kajian-kajian pranikah. Banyak hal yang dibahas di dalamnya sehingga bisa menjadi pertimbangan seseorang dalam memutuskan segera tidaknya menikah.

Ketua Program Sekolah Sakinah, Taaruf, dan Sekolah Pra-Nikah Yayasan Salman Institut Teknologi Bandung Kelana Aisyah mengatakan, sekolah pranikah antara lain membahas tentang motivasi menikah, taaruf, mengenal karakter, problematika rumah tangga.

Lalu membahas pula tentang membangun komunikasi harmonis, fikih nikah, seks dan kesehatan, manajemen keuangan, hingga pernikahan dari sudut pandang syariat Islam dan hukum negara.

Kelana yang menjadi salah satu inisiator Sekolah Pra-Nikah ini mengatakan pada awalnya Sekolah Pra-Nikah dibentuk karena dia dan sekitar 8 temannya terkaget-kaget dengan problematika pascapernikahan. ”Adaptasi dengan mertua, ipar, keuangan, sampai seks, sering kami obrolkan,” ujarnya.

Sejak 2007 ide Sekolah Pra-Nikah tercetus, masih belum banyak yang sadar pentingnya edukasi pranikah. Untuk itu, Kelana yang tergabung di bidang dakwah mengajak penghuni asrama putri pada awal Sekolah Pra-Nikah.

”Waktu itu 6-7 kali pertemuan dengan biaya Rp 150.000. Mulai 2010 jadi 9 kali pertemuan. Biayanya Rp 500.000, tetapi itu pada akhirnya kembali untuk peserta karena untuk membayar pembicara dll,” ujarnya.

Semua peserta akan mendapat sertifikat resmi yang berlaku sebagai pengganti program persiapan pernikahan di Kantor Urusan Agama. Syaratnya, semua pertemuan harus diikuti. Jika ada yang terlewat, peserta harus tetap mengikutinya pada angkatan selanjutnya tanpa membayar lagi.

Sekolah Pra-Nikah adalah pembekalan ilmu. Setelah mengikuti sekolah tersebut, tidak sedikit yang mengaju­kan program taaruf. Namun, menurut Kelana, ternyata kebanyakan dari mereka ingin bertaaruf dengan sesama peserta Sekolah Pra-Nikah.(Sumber: Pikiran Rakyat, 1/11/2018)***

komentar

Tinggalkan Balasan