METRUM
Jelajah Komunitas

Komisioner Komnas HAM: Kebijakan Pemerintah Soal Corona Diskriminatif

KOMNAS HAM menilai kebijakan pemerintah dalam penanganan virus corona saat Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) diskriminatif.

Komisioner Komnas HAM Choirul Anam menyesalkan tren positif penanganan pemerintah terhadap virus corona yang mulai menurun. Hal itu terlihat dari mobilitas warga yang menurun pada April 2020 karena penerapan PSBB di sejumlah daerah, tetapi naik kembali pada awal Mei 2020.

Salah satu contohnya yaitu penumpukan penumpang di Bandara Soekarno-Hatta pada 15 Mei 2020.

Anam juga menyoroti kebijakan pemerintah yang tidak konsisten dalam penanganan corona. Semisal dari semula melarang mudik dan melarang segala bentuk alat transportasi, kemudian dilonggarkan untuk beberapa jenis transportasi. Anam menilai kebijakan ini diskriminatif karena hanya mengakomodir kelompok sosial tertentu.

Komisioner Komnas HAM Choirul Anam. (Foto: Courtesy)
Komisioner Komnas HAM Choirul Anam (Foto: Courtesy).*

“Yang awalnya ketat soal transportasi misalnya. Banyak orang harus naik truk dan kontrainer yang itu tidak manusiawi. Di sisi lain orang diperbolehkan naik pesawat. Itu diskriminatif orang karena status sosialnya. Dan itu memprihatinkan,” jelas Choirul Anam dalam konferensi pers online, Jumat (23/5/2020).

Anam menambahkan kebijakan yang tidak konsisten ini juga berakibat pada kritik sebagian besar masyarakat melalui #IndonesiaTerserah. Menurutnya, ini juga menjadi kontraproduktif terhadap gerakan masyarakat dalam menghadapi corona.

Tidak hanya itu, Anam juga mempertanyakan wacana pelonggaran PSBB yang dilontarkan sejumlah pejabat negara. Antara lain Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Panjaitan, Ketua Gugus Tugas Doni Monardo dan kajian awal dari Kemenko Perekonomian yang berisi pelonggaran PSBB.

Komnas juga mempertanyakan pernyataan Presiden Jokowi yang mewacanakan untuk berdamai dengan Covid-19. Padahal, jumlah kasus dan korban meninggal karena semakin meningkat dalam beberapa waktu terakhir.

Karena itu, kata Anam, lembaganya sedang mempelajari apakah kebijakan pemerintah sedang mengarah kepada pembiaran atau kekebalan kelompok (herd immunity) yang rentan menimbulkan korban dalam jumlah lebih besar.

“Komnas HAM memperingatkan saja, bahwa pelanggaran HAM itu terjadi tidak hanya aktif melakukan pelanggaran. Tapi juga karena pasif melakukan pembiaran sehingga pelanggaran itu terjadi,” tambah Anam.

Keadaan Darurat Bencana Nasional Masih Berlaku

Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Doni Monardo mengatakan status keadaan darurat masih berlaku hingga 29 Mei 2020. Di samping itu, Presiden Joko Widodo juga belum mengakhiri Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 Tentang Penetapan Status Bencana Nonalam Covid-19 sebagai Bencana Nasional yang dibuat pada 13 April lalu.

Infografis Komnas HAM
Infografis Komnas HAM.*

“Secara otomatis, status keadaan darurat bencana menyesuaikan dengan Keputusan Presiden 12 Tahun 2020. Selama keppres tersebut belum diakhiri, maka status kebencanaan masih berlaku,” ujar Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Doni Monardo melalui pesan digital pada pada Jumat (22/5).

Doni menambahkan status keadaan darurat bergantung pada sejumlah indikator. Antara lain penyebaran corona, korban jiwa, dan kerugian harta benda, meluasnya cakupan wilayah, serta implikasi pada aspek sosial-ekonomi. Semua indikator tersebut masih terus meningkat setiap harinya.

“Selama pandemi global belum berakhir dan vaksin serta obatnya belum ditemukan, maka masih diperlukan penetapan status bencana nasional untuk Covid-19,” tambah Doni.

Ia mengatakan masih berlakunya status bencana nasional ini membuktikan negara masih melindungi warga dari bahaya penularan virus Covid-19. (M1-VOA/sm/ft)***

komentar

Komen yang ditutup, tetapi jejak balik dan ping balik terbuka.