Kurikulum Prototipe Bakal Hapus Penjurusan di SMA
JIKA siswa-siswi SMA biasanya tergolong ke dalam geng anak IPA, IPS atau Bahasa, maka dengan Kurikulum Prototipe, klasifikasi itu akan hilang. Kurikulum baru yang masih dalam tahap uji coba itu, menghapus sistem penjurusan di SMA dan membebaskan murid memilih mata pelajaran yang sesuai minat dan aspirasi karir mereka selepas sekolah.
Dilansir dari VOA, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) berencana meluncurkan secara resmi Kurikulum Prototipe pada awal Februari 2022. Hal itu diungkapkan Kepala Badan Standar, Kurikulum dan Asesmen Pendidikan Anindito Aditomo pada Senin (10/1/2022).
Menurut Nino, sapaan akrab Anindito, kurikulum yang masih dalam tahap uji coba hingga tahun 2024 itu dapat menyempurnakan upaya peningkatan kompetensi dan karakter siswa, seperti target kurikulum sebelumnya. Setelah peluncuran itu, kementerian akan membuka pendaftaran bagi sekolah yang berminat menerapkan Kurikulum Prototipe pada tahun kedua uji coba, yang dimulai pada Juli 2022.
Nino mengatakan, sekolah yang mendaftar wajib sudah mempelajari dan memahami filosofi hingga kerangka kurikulum tersebut.
“Ada survei yang akan bisa memetakan tingkat kesiapan sekolah. Kalau sekolah itu – ekstremnya – sama sekali nggak siap, tapi berminat untuk mentransformasi pembelajarannya, tetap kita bolehkan untuk mengadopsi, tetapi ada modal adopsi yang terbatas. Jadi, tahun pertama pelatihan-pelatihan dulu, tidak langsung mengganti kurikulumnya,” jelasnya.
Hapus Sekat IPA, IPS dan Bahasa
Salah satu perubahan pada kurikulum yang sementara bersifat opsional itu adalah dihapusnya sekat-sekat kelas IPA, IPS dan Bahasa. Tidak seperti Kurikulum 2013, di mana siswa kelas X sudah dikotak-kotakkan ke dalam jurusan-jurusan tersebut, pada Kurikulum Prototipe, siswa kelas X dapat kembali mempelajari semua mata pelajaran, layaknya pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) tahun 2006 dan sebelum-sebelumnya.
Ketika naik ke kelas XI, siswa diberi keleluasaan untuk memilih mata pelajaran yang mereka minati atau sesuai dengan aspirasi karir. Mereka wajib mengambil mata pelajaran dasar, seperti Pendidikan Agama, Pancasila dan Bahasa Indonesia, serta mengambil kombinasi mata pelajaran pilihan dari minimal dua kelompok bidang, di antaraya MIPA, sosial humaniora, bahasa, maupun keterampilan hidup (life skills).
Dalam wawancara dengan VOA, Helsa Patricia, siswi kelas X jurusan IPS di salah satu SMA swasta di Jakarta, menyambut baik perubahan tersebut.
“Aku sendiri jujur lebih ke excited, soalnya selama kita di SMP, kita cuma dikenalin ‘kalau mau jadi dokter itu ambil IPA, kalau mau jadi pengacara itu ambil IPS,’ cuma sebatas itu aja. Sementara menurut aku, kalau misalnya kelas X ini belum disuruh mengambil jurusan, mungkin bakal ada pengenalan lebih lagi terhadap jurusan apa sih yang mau diambil, kalau misalnya naik kelas atau sudah milih jurusan,” jelasnya.
Sementara, Alissa Ramadhita, siswi SMA kelas XII jurusan IPS di Tangerang, Banten, memiliki pendekatan yang lebih pragmatis.
“Menurut aku sih lumayan bagus ya buat orang yang udah nentuin tujuan mereka dari awal, jadi nggak labil lagi buat… apa namanya – kayak nggak terlalu mentingin jurusan juga kan, jadi bisa kayak langsung fokus ke tujuannya. Tapi, kurang (bagus) juga kalau buat anak yang belum ada gambaran jelas tujuannya, kayak masih labil,” ujarnya.
Sekolah Helsa maupun Alissa belum menerapkan Kurikulum Prototipe. Menurut situs Kemendikbudristek, baru 2.500 Sekolah Penggerak dan 901 Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Pusat Keunggulan yang dilibatkan dalam uji coba Kurikulum Prototipe tahun pertama, yang sudah berlangsung sejak pertengahan 2021.
Pada semester kedua tahun ajaran 2021/2022 ini, kementerian akan mengukur pemahaman dan penerapan Kurikulum Prototipe oleh sekolah-sekolah tersebut, meneliti masalah apa saja yang muncul, hingga mencari peran terbaik pemerintah, baik pusat maupun daerah dalam penerapan calon kurikulum nasional tersebut.
Perbaikan Kualitas Pembelajaran Hingga Hapus Stigma ‘Anak IPA Lebih Pintar’
Nino mengakui “hasil tidak menggembirakan” berbagai studi kualitas pembelajaran di tanah air, baik yang dilakukan lembaga dalam negeri maupun internasional. Menurutnya, cita-cita mencetak peserta didik yang berkarakter dan berkompetensi kompleks, seperti mampu berkolaborasi lintas disiplin ilmu, masih sulit terealisasi.
Ia menuturkan, kemampuan dasar siswa Indonesia, seperti memahami bacaan sederhana atau menerapkan konsep matematika dasar, masih sangat tertinggal dari kondisi ideal. Untuk itulah Kurikulum Prototipe disusun.
“Kita lebih serius memberi porsi pembelajaran yang mendalam. Kita nggak lagi ingin terjebak dalam keluasan, belajar banyak hal tapi dangkal, jatuhnya hapalan, jatuhnya guru kejar tayang, tapi nggak pernah diskusi, nggak pernah berdebat, nggak pernah menelisik secara logis, secara mendalam, apalagi berkolaborasi. Mungkin sebagian siswa kita yang punya privilese mendapat pengalaman-pengalaman itu, tapi secara umum, sedikit sekali yang mendapatkan,” jelasnya.
Argumen Nino diamini pemerhati pendidikan sekaligus pendiri jasa konsultasi pendidikan Jurusanku.com, Ina Liem. Ia memandang penghapusan jurusan di jenjang pendidikan menengah atas sebagai langkah tepat untuk memperbaiki kualitas hasil belajar di tanah air.
“Arah ke depan itu ekonomi kan harus berbasis inovasi ya, ini yang Indonesia belum. Sedangkan inovasi itu berangkatnya bukan dari ide, tapi memang dari problem. Sedangkan untuk menyelesaikan problem, tidak ada satu masalah yang bisa diselesaikan dengan satu disiplin ilmu, makanya memang perlu multidisiplin. Jadinya perlu anak IPA harus ada wawasan sosial, anak IPS juga nggak bisa nih alergi dengan yang namanya angka. Karena ada yang milih IPS juga dengan alasan yang salah, karena ‘aku nggak mau matematika,’ eh nggak bisa, sosiologi juga syarat statistik, ilmu politik juga syarat statistik, kita bikin keputusan nggak pakai data, pakai apa?,” paparnya.
Penghapusan sekat jurusan, dikatakan Nino, juga merupakan upaya untuk memberikan akses setara kepada seluruh siswa untuk dapat memilih jurusan kuliah yang diminati, yang selama ini dibatasi faktor jurusan di SMA.
“Sistem ini menciptakan kasta tadi, karena IPA itu punya privilese untuk memilih semua jurusan, sehingga dia lebih selektif. Makanya ada stigma ‘yang bisa masuk IPA itu yang pintar-pintar,’ karena slotnya mungkin terbatas. Anak-anak tidak harus langsung punya bayangan yang jelas tentang dia mau kuliah apa. Justru kita ingin mendorong anak-anak mengeksplorasi minatnya dulu sebelum kemudian menentukan pilihan-pilihan mata pelajarannya,” lanjutnya.
Lebih jauh, kementerian berencana menghapus jurusan SMA sebagai prasyarat ketika mengikuti tes masuk perguruan tinggi, sehingga peserta bebas mendaftarkan diri ke jurusan kuliah mana pun, terlepas latar belakang kebidangan mereka di sekolah menengah atas.
Saat ini, sekolah-sekolah di Indonesia diberi tiga pilihan kurikulum, yaitu Kurikulum 2013, Kurikulum Darurat yang merupakan penyederhanaan Kurikulum 2013 demi menanggulangi kerugian belajar (learning loss) selama pandemi COVID-19 dan Kurikulum Prototipe. (M1-VOA/rd/ab)***
Komen yang ditutup, tetapi jejak balik dan ping balik terbuka.