METRUM
Jelajah Komunitas

Langka dan Mengagumkan, Dua Pohon Karet Kebo Berumur Seabad Lebih di Selabintana Sukabumi

SELABINTANA, Kabupaten Sukabumi, musim kemarau, 20-22 Agustus 2023. Udara terasa sangat dingin. Pada malam hari, suhu tercatat belasan derajat Celcius. Bagi penulis dan rombongan yang berasal dari Bandung pun masih merasakan dingin. Apalagi bagi rekan-rekan yang datang dari Jakarta.

Saat itu kami bermalam di Hotel Selabintana, hotel tua yang dibangun pada zaman penjajahan Belanda. Menempati lahan seluas 15 hektare sebagai lokasi destinasi wisata, berada di kaki Gunung Gede-Pangrango, udara sangat dingin boleh jadi juga disumbang oleh keberadaan pohon-pohon besar yang tumbuh di wilayah ini.

Pohon-pohon besar itu umumnya jangkung. Rata-rata tingginya lebih dari sepuluh meter. Bahkan di sini ada dua pohon sangat besar dan sangat tinggi serta sudah sangat tua. Persis berdiri di depan bangunan hotel tempat kami menginap.

Dua pohon “lanjut usia (lansia)” itu tidak tercatat resmi berapa diameternya. Kalau misalnya harus diukur dengan pelukan tangan manusia, jelas perlu beberapa orang dewasa untuk bersama-sama bergadengan tangan dan melingkarinya.

Sekilas melihat sosoknya seperti pohon beringin. Sebab, dari luar tampak batang-cabang atau akar-akar –di luar pohon induknya– yang menjuntai ke tanah. Tapi ternyata dua pohon itu adalah pohon karet kebo.

Cerita saksi mata

Obyek wisata ini mempunyai lebih kurang 100 orang karyawan, di luar 30 tenaga kebersihan yang kebanyakan perempuan atau ibu-ibu yang relatif sudah berumur tua. Seorang di antara karyawan itu bernama Dedi (58 tahun), ayah dari tiga orang anak.

DEDI (58 tahun) sejak 30 tahun lalu menjadi karyawan obyek wisata Selabintana sudah melihat pohon karet kebo jangkung itu. (Foto: Widodo A.).*

Dedi mengatakan sudah bekerja di sini selama 30 tahun. Saat awal bekerja, Dedi menyatakan sudah menyaksikan pohon karet kebo besar dan jangkung itu. “Sulit membedakan mana pohon induknya dan mana anak-anaknya,” ujar Dedi yang mengaku gajinya kurang lebih Rp 50.000,00 per hari kerja itu.

“Di sini pepohonannya beragam. Selain karet kebo, ada cemara, kayu putih, nangka, pinus, damar, dan kayu manis. Selain tanaman hias, pohon-pohon besar itu juga kami rawat,” katanya.

Menurut Dedi, pemilik lahan obyek wisata Selabintana ini turun temurun. Saat ini pemilik dan pengelolanya berstatus cucu dan tinggal di Jakarta. Sejauh yang Dedi tahu tanahnya bukan berstatus hak milik tapi HGU (Hak Guna Usaha).

Sejarah obyek wisata Selabintana

Kawasan wisata Selabintana memang memiliki sejarah cukup panjang, karena dibangun sejak zaman Belanda. Awalnya, obyek wisata yang berjarak tujuh kilometer ke arah utara Kota Sukabumi itu, ditemukan oleh seorang berkebangsaan Belanda. Bernama AAE Lenne (1853-1916).

Pada tahun 1900-an dibangun sebuah hotel yang hingga kini masih menjadi ikon Selabintana. Pada saat itu orang-orang Belanda menjadikan Sukabumi sebagai pusat perkantoran untuk mengurus perkebunan yang tersebar di beberapa tempat.

Tempat peristirahatan yang dikelilingi perkebunan dan pemandangan cantik Gunung Gede Putri Pangrango memikat hati. Karena itu para warga Belanda menjadikannya sebagai tempat favorit untuk mencari udara bersih, sejuk, dan segar.

Karena itu dalam waktu singkat kawasan ini perkembangannya pesat. Lenne sang pendiri kemudian mengubah peristirahatan itu menjadi sebuah hotel dengan nama Hotel Selabintana.

Pada tahun 1924, AAE Lenne menyerahkan Hotel Selabintana kepada anaknya, GE Lenne (1897-1976). Lene kemudian mengangkat Los Bakker, seorang manajer berkebangsaan Belanda untuk mengelola Hotel Selabintana. Saat itu, Bakker berhasil meningkatkan jumlah kunjungan warga Belanda ke Selabintana. (daerahkita.com, 31/5/2019)

Dalam perkembangan selanjutnya, terutama tahun 1940, Hotel Selabintana sering digunakan untuk rapat penting antara pemerintah Belanda dan pemerintah Jepang. Rapat tersebut membahas hubungan ekonomi kedua negara terkait erat dengan berakhirnya Perjanjian Pedagangan Jepang-Amerika Serikat pada 26 Januari 1940.

Berakhirnya perjanjian itu diikuti dengan pengurangan drastis ekspor AS ke Jepang dan kekhawatiran Jepang akan diembargo AS. Jepang membutuhkan negara lain untuk memasok sumber daya alam, terutama minyak, agar industrinya tetap berjalan. Karena itu mereka menghubungi penguasa Hindia Belanda untuk mendapatkan jaminan pasokan dan konsesi ekonomi lebih jauh.

Kembali terkait umur pohon karet kebo yang sudah sangat tua itu, kita memperoleh gambaran bahwa kini dua pohon karet kebo tersebut sudah berusia satu abad lebih. Hal itu dapat kita hitung kalau pohon dimaksud ditanam bersamaan dengan mulai berdirinya Hotel Selabintana pada tahun 1900-an. Adapun tingginya, menurut literatur pertanian, dapat mencapai antara 25-30 meter. Sungguh langka dan mengagumkan. (Widodo A, Wartawan Senior)***

komentar

Komen yang ditutup, tetapi jejak balik dan ping balik terbuka.