METRUM
Jelajah Komunitas

Mahasiswa yang Sudah Tidak “Maha” Lagi

Oleh Muhammad Fadli Sinatrya*

JIKA kita mendengar kata mahasiswa, ada sebuah kata “Maha”, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Maha biasa dipergunakan untuk penyebutan seperti yang Maha Kuasa, Maha Adil. Tentu terdengar seperti sebuah kata yang agung.

Namun di negara kita tercinta, kata maha juga diberikan kepada manusia seperti mahasiswa. Dahulu setelah hampir 12 tahun kita menempuh pendidikan mulai dari sekolah dasar, sekolah menengah pertama, sekolah menengah akhir kita diberikan sebuah status “siswa” lalu jika kita melanjutkan ke perguruan tinggi, terbentuklah status kita menjadi “mahasiswa” yang orang anggap sebagai manusia yang terpandang, mempunyai daya pikir yang kritis, dan berilmu.

Hal ini dilandasi juga karena mahasiswa merupakan salah satu elemen terpenting dalam setiap perjalanan bangsa kita. Hal ini dapat kita lihat bagaimana peran mahasiswa yang selalu menjadi aktor perubahan dalam setiap momen krusial dan bersejarah di Indonesia. Dari munculnya kebangkitan Nasional, hingga tragedi 98 mahasiswa menjadi kunci dalam perannya tersebut. Jika melihat dari keterlibatan mahasiswa di atas tentu kita tidak keberatan dengan adanya kata “maha” pada mahasiswa.

Berdasarkan karakteristik alamiahnya, mahasiswa memiliki keunggulan tersendiri dibandingkan elemen masyarakat lainnya. Mahasiswa merupakan sesosok figur “Murni” yang maksudnya memiliki idealisme yang tinggi dalam berjuang, tidak neko-neko dalam melakukan perjuangan. Mahasiwa pada saat dahulu tidak akan segan menyuarakan sesuatu yang dianggap tidak benar apapun yang mereka anggap menyimpang dan salah dari sebuah kondisi ideal, mahasiswa akan lantang bersuara.

Mahasiswa juga memiliki keingintahuan dan sikap kritis yang tinggi terhadap situasi di lingkungannya, mereka yang paling peka terhadap apa yang terjadi di sekitar lingkungannya dan dengan intelektualitas dan integritasnya yang tinggi, mahasiswa mampu memperjuangkan kondisi sosial yang dilihatnya agar menjadi ideal dan dinamis, mahasiswa sebagai agen perubahan dapat dilihat saat kejadian reformasi tahun 1998.

Pada masa itu gerakan mahasiswa berada di puncaknya karena berhasil menumbangkan kepemimpinan Presiden Soeharto setelah puluhan tahun menjabat. Presiden Soeharto yang sudah menjabat selama 32 tahun membuat jengah masyarakat Indonesia. Kemudian pada bulan Mei 1998, ia berhasil dilengserkan karena dinilai kepemimpinannya selama ini banyak menggunakan praktik KKN (Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme).

Mahasiswa Indonesia mendatangi Gedung MPR/DPR, Mei 1998, menuntut reformasi dan pengunduran diri Presiden Soeharto (Sumber: Kompas.com/Foto Eddy Hasby).*

Gerakan reformasi ini mendapatkan momentumnya saat terjadi krisis moneter pada tahun 1997. Krisis membuat harga kebutuhan pokok melambung tinggi dan daya beli masyarakat menurun. Kondisi perekonomian terguncang hebat. Rakyat kian sengsara. Sementara para elit pemerintahan hidup kaya. Gerakan reformasi digerakkan mahasiswa dan gerakan ini disambut oleh masyarakat. Apalagi masyarakat juga sudah lelah dengan pemerintahan Soeharto yang hanya menguntungkan golongannya sendiri.

Akhirnya, semua elemen mahasiswa di seluruh Indonesia melakukan protes. Mereka menyerbu gedung parlemen yakni Gedung Nusantara dan gedung-gedung DPRD di daerah dan menduduki gedung-gedung tersebut. Mahasiswa tidak akan pergi dari gedung-gedung tersebut bila tuntutan tidak dikabulkan. Akhirnya, dengan desakan yang kian kuat, Presiden Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia. Peristiwa ini menjadi contoh nyata mahasiswa sebagai agen perubahan. Mahasiswa berperan dalam mengubah perubahan dalam tatanan sosial dan pemerintahan.

Namun saat ini zaman sudah berubah, kondisi lingkungan sudah berubah, mahasiswa yang dahulu mempunyai integritas, intelektual, daya pikir yang tinggi kini kian terkikis sedikit demi sedikit. Sekarang semakin mudah seseorang menduduki kursi perkuliahan, kampus-kampus kini berterbaran di mana-mana khususnya daerah kota besar, tentu ini tidak buruk, ini sebuah kemajuan harus kita apresiasi.

Akses belajar saat ini menjadi mudah tidak sesulit dahulu yang harus pergi ke perpustakaan setiap saat. Sarjana kini sudah dianggap biasa dan kini syarat untuk kita bisa bekerja di perusahaan juga banyak yang menetapkan minimal seorang sarjana, tentunya hal ini yang membuat kita mau tidak mau seolah dipaksa menjadi sarjana.

Esensi dan mindset mahasiswa yang akan memperjuangkan hak-hak masyarakat kini semakin terkikis, tentunya kita berharap jangan sampai hilang. Namun, saat ini mahasiswa memiliki mindset dan misi individual yang berbeda. Mengejar cumlaude, lulus cepat, lulus tepat waktu, memiliki relasi pertemanan yang luas, kemampuan hard skill dan soft skill yang baik untuk terpakai di perusahaan nanti. Mimpi mimpi itulah yang terdengar dan digaungkan oleh mahasiswa saat ini.

Sudah sedikit atau jarang mahasiswa yang menyampaikan aspirasinya untuk rakyat kecil, terkena gertak oleh politikus kini kita menjadi menciut, kegarangan mahasiswa kini seolah hilang entah kemana. Maka oleh karena itu keagungan kata “Maha” sebaiknya dihilangkan saja karena sudah tidak relevan lagi untuk digunakan.***

*Penulis, Mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi, Universitas Informatika dan Bisnis Indonesia (UNIBI)

komentar

Komen yang ditutup, tetapi jejak balik dan ping balik terbuka.

%d blogger menyukai ini: