METRUM
Jelajah Komunitas

Menulis Itu Ibarat Buang Air Besar…

DEMIKIAN rumus yang dilontarkan oleh mas Wim Tohari Danialdi, ketika berdiskusi dalam Writing Technique Sharing Gana Islamika sepekan lalu. Mas Aldi, begitu beliau akrab disapa, merupakan manajer operasional Gana Islamika, sebuah situs web ensiklopedia Islam. Rumusan tersebut dia dapatkan dari Musa Kazhim, pendiri sekaligus pemimpin redaksi Gana Islamika.

Yudha P. Sunandar

Musa Kazhim sendiri merupakan peneliti gerakan politik di Timur Tengah. Beliau juga penulis dan editor di Mizan Grup Publishing. Konon, beliau pernah menjadi wartawan di Timur Tengah untuk kantor berita sebuah negara di Eropa. Sayang, saya lupa percakapan dengan beliau, dan tidak berhasil menemukan jejak digitalnya mengenai hal ini.

Mas Aldi, sebagai sosok yang satu “atap” dengan pak Musa, tentu sama-sama bukan orang sembarangan. Lulusan Magister Hubungan Internasional Universitas Parahyangan ini merupakan salah satu pentolan intelektual publik di Bandung yang banyak menganalisis kondisi dunia dari kacamata latar pendidikan paska sarjananya tersebut. Kiprah dan gagasan intelektual mas Aldi bisa kita telusuri dalam berbagai tulisannya di berbagai koran nasional di tanah air.

“Kalau makannya bagus, buang air juga enak,” kisah mas Aldi, mengutip pendapat pak Musa. “Pun juga dengan menulis. Kalau bacaannya bagus dan bermutu, nulisnya pun lancar,” demikian pesan mas Aldi kepada para calon penulis Gana Islamika sore itu. Saat itu, kami tengah membahas cara membangun cerita sejarah Islam di dunia.

Gana Islamika sendiri bukan sekedar situs web ensiklopedia Islam. Kekhasan kontennya tampak dari penggalian sumber referensi yang sangat ketat. Cobalah tengok setiap tulisan di situs berusia setahun ini. Catatan kaki tersebar di hampir seluruh paragraf pada masing-masing postingannya. “Penulis yang mencantumkan sumber Wikipedia, langsung kami tolak,” ungkap dosen di beberapa perguruan tinggi swasta di Bandung ini.

Ciri khas lainnya tampak dari komitmen para punggawa Gana Islamika untuk menyajikan wawasan Islam dari berbagai literatur tanpa memandang organisasi keagamaan, mazhab, aliran, bahkan sekte keagamaan. Khazanah tentang Syiah, Ahmadiyah, termasuk juga Sunni ada dalam situs web ini. Mereka mendorong para penganut aliran-aliran tersebut untuk menuliskan diri mereka sendiri sebanyak-banyaknya.

“Syaratnya satu: referensinya terpercaya dan tidak menuding kelompok lain yang berbeda paham,” tandas Aldi.

Dengan ciri khas semacam ini, tentunya para penulis Gana Islamika harus menjaga asupan “gizi” pemikirannya agar selalu baik. Bila tidak, tulisan-tulisannya hanya akan menjadi sampah, bahkan penyakit. Seperti halnya makanan buruk nan bergizi rendah kemudian masuk ke sistem pencernaan kita. “Buang air besar juga jadi susah, dan pasti menyiksa kita,” jelas Aldi, memberikan analogi.

“Apalagi kalau tidak makan sama sekali?” tanya Aldi, kepada para peserta. “Keluarannya cuman kentut doang,” lanjutnya, disambut anggukan kepala para peserta.

Prinsip tersebut membuat Gana Islamika berlimpah dengan tulisan-tulisan berkualitas jurnal. Banyak tokoh intelektual Islam modern di beberapa kota di Indonesia mengkontribusikan guratan pemikirannya dalam website ini. Sampai saat ini, Gana Islamika sudah berhasil mempersembahkan lebih dari seribu tulisan bertemakan Islam untuk umat muslim di Indonesia. Banyak? Bagi mereka, jumlah ini masih terlalu kecil, bahkan sangat kecil. Pasalnya, “kuncen” Gana Islamika menargetkan 30 ribu tulisan dalam satu dasawarsa pertama ini.

Bagi mas Aldi dan kawan-kawan, jumlah tersebut merupakan pertaruhan besar bagi peradaban Islam nusantara. Pada masa yang akan datang, menurut ayah dua anak ini, akan banyak orang yang bingung dengan kemelut perbedaan pendapat dalam Islam di Indonesia. Dalam hal ini, mas Aldi berharap Gana Islamika bisa menjadi penawar bagi “kegalauan intelektual” masyarakat Islam pada masa-masa kritis tersebut.

Pengetahuan yang jujur, menurut mas aldi, merupakan mata air peradaban. Kita bisa menemui pengetahuan semacam ini dalam museum, perpustakaan, dan teater. Bila sebagian besar masyarakat sudah memenuhi ketiga tempat tersebut, maka revolusi bisa terjadi. “Bagaimana pun, revolusi itu berangkat dari kesadaran,” pesannya. “Bila negeri penuh senjata, itu namanya anarki yang hanya menyisakan kehancuran sebuah negeri,” tegasnya.

Baginya, salah satu revolusi sejati yang pernah terjadi di zaman modern adalah revolusi Iran. Kala itu, tandanya sederhana: banyak orang menjual buku, seramai para pedagang emperan menjajakan VCD bajakan di Indonesia. Hasilnya, papar mas Aldi, ketika waktunya tiba, revolusi Iran telah mengantarkan Negeri Para Mullah itu kepada peradaban baru yang lebih baik. Bukan sebaliknya.

Menulis? Sederhana saja pesannya: jagalah asupan gizi pikiran kita. Setelah itu, rasakan nikmatnya buang air besar. Juga, rasakan jernihnya berkotemplasi setelah semua kotoran di pikiran kita dibuang ke tempat yang seharusnya. Lalu, bersiaplah untuk mulai merajut peradaban yang lebih baik. (Yudha P. Sunandar)***

komentar

Komen yang ditutup, tetapi jejak balik dan ping balik terbuka.