Oleh Ahmad Nada*
Sampai sejauh mana pembubuhan warna dapat memainkan perannya dalam upaya peningkatan daya guna komunikasi visual?
ADA kisah menarik sewaktu saya dulu mengikuti Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Cintawangi, Kec. Karangnunggal, Kab. Tasikmalaya medio 1996. Ketika itu, beberapa kelompok mahasiswa yang berasal dari berbagai fakultas di Unpad diberi tugas membuat semacam news letter atau buletin untuk masyarakat setempat. Kita pun membagi tugas sesuai dengan kemampuan masing-masing.

Setelah tahap perancangan dan masuk pada pembubuhan warna, berbagai usulan pun mengemuka. Ada yang ingin buletin didominasi oleh warna A, warna B, warna B+, bahkan warna Z yang relatif modern dan jarang orang yang pakai. Akhirnya, setiap kelompok yang dipimpin oleh seorang Kordes (koordinator desa), memilih sesuai rembugan musyawarah untuk mufakat di kelompok masing-masing.
Pada akhirnya, buletin –yang berbeda-beda dalam pembubuhan warna– hasil kerja kelompok mahasiswa itu diluncurkan dan mendapat perlakuan berbeda di setiap desa. Buletin itu ada yang yang habis diambil warga. Namun di desa yang lain, ada yang diambil 1-2 eksemplar saja, bahkan ada yang tidak menyentuhnya sama sekali.
Usut punya usut…ternyata yang laku keras adalah buletin yang dibubuhi dengan “warna-warna dasar”, seperti Merah (ceuk urang lembur mah: beureum euceuy…lagedod…), biru (bulao), kuning (koneng), dan hijau (hejo). Sedangkan buletin dengan warna-warna cantik, elegan, soft seperti warna hijau tosca, kuning gading, pink, violet, biru yahoo, masyarakat desa jarang yang menyentuhnya. Dapat dikatakan, –secara psikologis–, ternyata “urang lembur” lebih menyukai warna-warna dasar ketimbang warna-warna olahan yang tampil –sebenarnya– elegan dan mahal (yang menurut frame of experience & frame of reference mahasiswa lebih bergaya!).
**
Dahulu orang memilih warna hanya untuk kebutuhan tertentu menurut perasaan saja. Pada masa moderen ini orang sudah mulai berpikir secara ilmiah melalui berbagai proses eksperimen, baik secara fisika, kimiawi, atau seni, bahkan psikologi. Dengan perkataan lain, orang-orang sekarang memilih warna dengan kesadaran.
Pada dasarnya warna adalah suatu mutu cahaya yang dipantulkan dari suatu objek ke mata manusia. Hal ini menyebabkan perbedaan kerucut-kerucut warna pada retina untuk bereaksi, yang memungkinkan timbulnya gejala warna pada objek-objek yang dilihat sehingga mengubah persepsi kasatmata manusia.
Bentuk dan warna merupakan dua unsur dasar dari rangsangan kasatmata. Menurut para ahli, peranan warna yang paling utama ialah kemampuannya untuk mempengaruhi dan merangsang mata manusia sehingga menimbulkan getaran-getaran elektro-magnetik yang dapat membangkitkan emosi pemirsanya.
Tidak jarang terjadi keputusan penggunaan warna dalam komunikasi grafis dilandasi oleh praduga bahwa itu lebih baik daripada hitam-putih.
Keputusan jitu tidaklah sesederhana itu. Banyak faktor harus dipertimbangkan secara saksama sebelum membubuhkan warna-warna dalam iklan. Pengetahuan dan kecakapan seniman dalam penggunaan warna merupakan bantuan berharga dalam merencanakan pencetakan iklan berwarna. Tetapi, perlu disadari bahwa hasil akhir mereka-reka seyogianya merupakan penerapan warna secara ilmiah bagi tujuan komunikasi, seperti:
1. Untuk identifikasi
Dalam praktek sehari-hari tidak jarang terjadi penggunaan warna sebagai lambang atau tanda-tanda yang mengandung makna-makna tertentu yang telah disepakati bersama. Misalnya penggunaan warna-warna merah, kuning, dan hijau dalam sistem lalu lintas di jalan. Penggunaan warna sebagai lambang-lambang kadang-kadang tidak berlaku universal karena terdapat berbagai tradisi kebudayaan. Tradisi Barat, misalnya, memilih warna hitam untuk berkabung; tetapi di Cina justru warna putih yang dipahami sebagai tanda berdukacita.
2. Untuk menarik perhatian
Ini merupakan kaidah warna yang utama bagi periklanan. Berbagai tes memberikan kesimpulan bahwa jumlah orang yang memperhatikan suatu pesan tercetak meningkat dengan pembubuhan warna. Sebaiknya warna diterapkan pada unsur-unsur yang paling dominan dan patut ditampilkan. Karena penandasan tercapai berkat kontras atau lawanan, maka seyogianya warna-warna ditempatkan secara bijaksana. Warna-warna yang dapat menyajikan derajat kontras adalah: komplementer, pecahan komplementer, analogi, dan monokromatik.
3. Untuk menimbulkan pengaruh psikologis
Warna-warna yang menguasai suatu iklan atau lembaran tercetak lainnya harus sesuai dengan suasana keseluruhan pesan. Pembubuhan warna yang menyelingkan kesejukan dan kehangatan secara silih berganti menyarankan suatu suasana di antara formal dan ceria. Warna merah dapat lebih menandaskan suasana hati dan gagasan mengenai kehidupan, seperti tindakan, gairah, dan gaya. Kuning membubuhkan kehangatan. Hijau sering dihubungkan dengan kesuburan, keteduhan, dan ketakwaan. Ungu melambangkan keagungan dan kemegahan. Putih bagi kemurnian.
4. Untuk mengembangkan asosiasi
Adalah wajar bagi orang awam untuk mempertalikan warna-warna tertentu dengan produk-produk tertentu. Secara beruntung warna merah dihubungkan dengan buah ceri, sementara warna hijau tidak selalu dipertalikan dengan buah segar. Tidak sedikit asosiasi yang bersifat umum sehingga tidak meragukan lagi. Suatu riset, bagaimanapun, dapat dilakukan sebelum pemilihan warna. Pertimbangan pribadi tidak selalu dapat diandalkan. Misalnya, seseorang mungkin menyangka bahwa warna merah jambu lebih disukai daripada warna biru muda untuk produk bedak kosmetik.
5. Untuk membangun ketahanan minat
Ketika memaparkan sesuatu, tidak jarang kita merujuk pada warnanya. Ini disebabkan warna mengandung nilai kenangan yang tinggi; suatu segi yang paling mudah dipateri oleh komunikator kepada benak komunikan. Suatu warna seyogianya menguasai karena akan membantu pemirsa mengingat apa yang pernah dilihatnya. Pemasang iklan, tentu saja, sangat berkepentingan agar pembaca dapat mengingat kembali pesan, dan mengulang warna-warna tertentu dalam kampanye mereka untuk makin memapankan identifikasi produk.
6. Untuk menciptakan suatu suasana yang menyenangkan
Pembubuhan warna mungkin dapat merebut perhatian awal komunikan. Tetapi, apabila keadaan tersebut tidak dikembangkan menjadi minat, maka pembaca yang sibuk tidak akan meluangkan waktunya bagi penyerapan pesan. Pemilihan dan penerapan warna secara serampangan akan mengusir pemirsa segera setelah perhatiannya tergugah. Oleh sebab itu, dilihat dari sudut pandangan komunikator, kesalahan penggunaan warna dalam suatu pesan, jelas merugikan.
Tes-tes psikologis telah mengungkapkan berbagai kecenderungan warna-warna pribadi. Biru merupakan suatu warna yang sangat populer dan sering digemari kaum pria dan berada pada urutan kedua setelah merah bagi kaum wanita. Tes juga menunjukkan bahwa kaum wanita lebih sadar dan lebih peka terhadap warna daripada kaum pria, dan cenderung lebih menyukai warna-warna lunak.
Berbagai kecenderungan warna berhubungan dengan usia, latar belakang pendidikan, dan letak geografis dari mereka yang dites. Warna-warna cerah menarik perhatian anak-anak muda, warna-warna lunak bagi orang-orang yang lebih dewasa dan bagi mereka dengan tingkat pendidikan lebih tinggi.
Tes kecenderungan sedikit-banyak bermanfaat bagi para desainer grafis sejauh ia mengenal kelompok-kelompok khusus yang akan menjadi sasaran pesannya. Tetapi, nilai tes umum masih dapat dipertanyakan mengingat kenyataan bahwa para peneliti juga menemukan bahwa warna-warna yang sering dianggap “favorit” ternyata tidak selalu menarik dalam penggunaan-penggunaan tertentu.
Bagaimanapun, warna-warna (termasuk hitam, abu-abu, dan putih) pada lembar tercetak perlu ditata demikian rupa sesuai dengan asas dasar yang sama dari tata letak, yakni mengandung prinsip-prinsip desain seperti keseimbangan, kontras, proporsi, irama, keselarasan, gerakan, dan kesatuan.***
*Penulis, dosen dan praktisi media.
Komen yang ditutup, tetapi jejak balik dan ping balik terbuka.