METRUM
Jelajah Komunitas

WPAP (Wedha’s Pop Art Portrait)

SENI merupakan salah satu bagian esensial dari hidup manusia. Dengan adanya seni, manusia dapat merasa­kan keindahan dan dapat dengan bebas mengung­kapkan perasaannya. Oleh karena itu, tepat rasanya mengatakan bahwa seni adalah indera ­keindahan dan kebebasan manusia.

Ada tiga macam jenis seni utama yang diketahui. Ketiga jenis tersebut adalah seni yang bisa dinikmati dengan indra pendengaran, indra penglihatan, serta kedua indra itu secara bersamaan.

Di dalam seni yang bisa dinikmati dengan indra penglihatan, terdapat sebuah aliran seni bernama pop art. Aliran seni yang mulai dikenal di tahun 1950-an ini memiliki dua ciri khas utama. Ciri khas pertama dari pop art adalah biasanya seni ini menjadikan sesuatu yang dikenal banyak orang untuk dijadikan objek utamanya. Contohnya adalah sosok orang terkenal dan juga barang-barang yang dikenal banyak orang.

Ciri khas kedua di dalam pop art adalah biasanya terdapat ­beberapa unsur yang saling bertabrakan. Unsur-unsur tersebut dapat berupa apa saja, mulai dari warna, tipografi, bentuk, hingga objek-objek seninya.

WPAP karya Fajar WPAP Chapter Bandung.*

Pernahkah Anda lihat wajah para pesohor seperti Bung Karno, Barack Obama, Benazir Bhuto, Fidel Caastro, Ach­mad­inejad, Michael Jackson, Mick Jagger tampil dalam ilustrasi lukis fo-to penuh bidang warna? Atau pernahkah anda lihat “foto marak berkotak” dan mozaik para tokoh yang tampil di Majalah Hai di awal dekade ‘90-an? Ya, itu-lah gaya seni ilustrasi baru bernama WPAP (Wedha’s Pop Art Portrait) yang diciptakan oleh Wedha Abdul Rasyid (51 thn), ilustrator pencipta visual karakter Imung Detektif Kecil, Keluarga Cemara, Si Ninol, dan Lupus –serial feno­menal karya Hilman (1987)– di Majalah Remaja Hai dahu­lu.

Nama WPAP atau Wedha Style ini lahir pada 22 juni 2007, setelah seorang dosen DKV menemui Wedha, dan mengatakan bahwa karya semacam ini baru perta-ma kali dia lihat meski dia sudah melanglang jagad. Sejak saat itu, gaya Wedha atau label WPAP semakin meluas dan dikenal sebagai terobosan baru dalam cara lukis wajah manusia.

WPAP adalah karya yang didominasi bidang-bidang datar marak warna dan terdiri atas facet-facet proporsional pada wajah sesuai dengan aslinya namun dengan proses tracing yang ­kreatif, yang tidak tunduk 100 persen pada apa yang dilihat. Sesuatu yang tidak sulit tetapi juga tidak mudah.

Karya-karya awal gaya ini sudah didominasi oleh bidang-bidang geometrik yang dibentuk Wedha dengan goresan bebas (free hand stroke). Seperti dalam karya seni kubisme, Wedha ­men­­­coba memecah, menganalisis, dan menga­tur kembali objek, daripada menampilkan objek itu hanya dari satu sudut pandang. Kadang ­per­mukaan bersilangan dalam sudut acak, ­sehingga menghapus kedalaman lukisan yang jelas. Latar dan objek menembus satu sama lain untuk ­mem-bentuk ruang ambigu dangkal yang menjadi salah satu karakteristik khusus dari ­kubisme.

Wedha yang sejak masa sekolah sangat menyukai pelajaran ilmu ukur ruang (stereometri), mulai mengutik-utik masalah titik, garis dan bidang. Iamenciptakan konsep dan teknik sendiri yang ia namakan Kata Mata dalam komposisi. Pendekatannya menggunakan ilmu pasti.

Seniman jika ­ditanya karya, jawabannya intuitif, bagi Wedha tidak. Alasan dan tujuannya logis. Dia mulai meng-kombinasikan beberapa ilmu, seperti matematika, fisika, ilmu aura dan filosofi Cina. Lalu, mulailah ia membayangkan wajah manusia sebagai kumpulan bidang-bidang datar yang dibentuk oleh garis-garis imajiner.

Waktu terus berjalan. Ada dorongan batin Wedha untuk lebih menguatkan unsur garis, sesuai dengan kelengkapan sebuah komposisi. Intuisi yang mendasarinya masih sama.

Tapi kemudian, Dia merasa tampilan gari-garis itu tidak menyatu dengan warna. Bagi Wedha, partikel-partikel geometris tidak harus tampil kaku, tetapi memiliki keluwesan dalam merespon bidang. Selain itu, partikel geometris tidak mengandung unsur kurva (garis lengkung), lantaran sebuah kurva dianggap rangkaian garis-garis pendek yang berbentuk lurus. Dan kalau ­­­dihubungkan dengan pewarnaan, terasa tampilan garis itu berlebihan. Warna-warna yang memang sudah berbeda, bila disandingkan otomatis akan membentuk garis imajiner.

Pewarnaannya sudah meninggalkan pakem warna kulit manusia. Wedha membuang jauh ­konsep realisme. Membuang teknik gradasi menjadi petak-petak warna, karena bagi dia, esensi warna bukan pada citra pan-carannya (merah, kuning, biru), tetapi pada sifatnya: warna depan-warna belakang dan warna gelap-warna terang. Oleh karena itu, periode awal karyanya, ia beri nama Foto Marak Berkotak (FMB) yang kemudian menjadi Wedha’s Pop Art Portrait. Nama FMB diberikan sekadar membedakan jenis ini dengan jenis-jenis lain yang secara simultan masih ­dikerjaan Wedha sebagai ilustrator.

Sejatinya, ketika mata Wedha mulai bermasalah karena usia, dia justru berinovasi dengan menciptakan karya pop art baru, yang menurutnya bukan mozaik atau kubisme, walaupun kubistis.

WPAP by Olyade tamin

“Karena usia, mata saya pun bermasalah, tapi saya masih ingin terus berkarya. Maka saya ­mencoba style baru dengan tracing bermartabat. Sistem tracing yang tidak tunduk penuh pada apa yang dilihat. Khas lain dari WPAP adalah tidak ada garis lengkung atau bidang yang terbentuk oleh garis lengkung,” ungkap Wedha, menerangkan awal penciptaan gaya ini ketika ditemui di Bandung beberapa waktu lalu.

WPAP mengangkat figur-figur yang sudah sangat dikenal atau popular dan menghadirkannya kembali dengan impresi yang berbeda. Impresi inilah yang sering ia sebut sebagai menu rasa. Menu rasa yang berbeda ini mencuat kuat karena adanya dua faktor penting dalam WPAP, yaitu faceting bentuk dan permainan warna. Artinya kekuatan menu rasa baru yang berbeda itu tergantung pada kekuatan 2 faktor tersebut dan bila salah satu faktor tersebut lemah maka menu rasa baru berbeda menjadi tidak tergali optimal.

Sebagai contoh, pelemahan di pemilihan warna, walau hasilnya nyaman dipandang, tapi penggunaan warna skin tone akan mendekatkan karya ini pada foto aslinya, sehingga tidak menimbulkan menu rasa baru. Suatu gaya dalam seni rupa itu tidak boleh dan tidak akan mati, berhenti pada gaya tertentu.

Dalam sebuah diskusi di Taman Ismail Marzuki tahun 1981, pelukis dan penari Bagong Kussudiardja mengatakan bahwa seorang seniman bisa dianggap besar apabila karyanya menghasilkan “isme”.

Yang dimaksud “isme” adalah pemahaman yang diberangkatkan dari ­keyakinan wacana dan pemikiran. Sebuah “isme” biasanya akan melahirkan pengikut. Dan pengikut akan memunculkan sebuah aliran. Sedangkan sebuah aliran, pada waktunya akan melahirkan sejumlah keyakinan wacana dan pemikiran baru. Keyakinan wacana dan pemikiran baru ini akan menghasilkan subisme, yang di kemudian hari mungkin akan jadi isme baru.

Hanya saja, ketika kita bicara tentang pop art selalu muncul nama itu-itu saja, sebut saja Andy Warhol atau Roy Lichtenstein. Kapan ada orang Indonesia yang muncul ke permukaan? Kita berharap WPAP bisa mendunia dengan mengusung nama Indonesia. WPAP bisa memperkaya khazanah dunia seni rupa dan bisa dinikmati oleh semua orang.

Dengan mempelajari dan memahami gaya ini, akan terbuka peluang yang luas bagi setiap orang untuk bisa menemukan lagi ­terobosan-terobosan baru dalam seni ilustrasi potret khususnya, dan dunia senirupa pada umumnya. Semoga kegelisahan Wedha terjawab. (M1)***

komentar

Komen yang ditutup, tetapi jejak balik dan ping balik terbuka.