Mereka Menjadi Keluarga
Persahabatan Hasan Mustapa-Snouck Hurgronje
UNDANG Ahmad Darsa, filolog senior itu, membuka kenangan dua dekade lalu ketika ia berada di Leiden, Belanda untuk keperluan penelitian naskah. Suatu hari, ia diajak oleh Andries Teeuw, pakar sastra dan budaya Indonesia, untuk mengunjungi makam Christiaan Snouck Hurgronje.
”Kami sempat memperbincangkan soal sepak terjang Snouck di Indonesia, termasuk agama yang dia anut pada akhir hayat. Prof Teeuw bilang, ’Bagi kami, membicarakan Snouck ini seperti dua mata pedang’. Saya lihat, makam Snouck itu rata dan tidak ada tetengger-nya,” ujarnya, Rabu (26/9/2018), sambil menyilangkan kedua tangannya sehingga membentuk tanda salib. ”Apa ya tetengger téh?…Oh iya, batu nisan.”
Ia mengisahkan itu untuk mengomentari makalah berjudul ”Informan Sunda Masa Kolonial: Surat-surat Haji Hasan Mustapa untuk C Snouck Hurgronje” yang dibawakan oleh Jajang A Rohmana. Makalah tersebut ditampilkan dalam Sawala Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa) Jawa Barat bertajuk ”Dinamika Sosial, Politik, dan Hukum di Jawa Barat pada Abad Ke-19”. Kegiatan itu digelar di Aula Pusat Studi Bahasa Jepang (PSBJ), Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran, Jatinangor, Kabupaten Sumedang.
Jajang, pengajar di Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati, Bandung itu, mengungkapkan bahwa Snouck memiliki pengetahuan mendalam tentang Islam Indonesia. Oleh karena itu, tak heran, sebagai penasihat pemerintah Hindia Belanda, ia dianggap berhasil memengaruhi kebijakan Belanda.
”Akan tetapi, saya coba menyinggung aspek yang belum disentuh banyak ahli, yakni keterlibatan teman, sahabat, dan sejumlah informannya. Dalam hal ini, kajian saya berfokus kepada Haji Hasan Mustapa, penghulu besar di Aceh dan Bandung, terutama korespondensinya dengan Snouck,” katanya.
Menurut dia, pengkajian itu dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa Hasan Mustapa dapat dianggap sebagai salah satu sastrawan Sunda pangbadagna yang telah memperoleh anugerah budaya. Sebagai wujud penghargaan, nama Hasan Mustapa telah diabadikan sebagai nama jalan di Kota Bandung, pengganti Jalan Surapati-Cicaheum (Suci).
”Lalu, mengapa Hasan Mustapa tak diajukan sebagai pahlawan? Sepertinya, ini terkait dengan kedudukannya sebagai pejabat kolonial dan kedekatannya dengan Snouck Hurgronje,” tuturnya.
Jajang menuturkan, kajiannya difokuskan kepada 18 pucuk surat Hasan Mustapa yang kini menjadi bagian dari koleksi Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda (Cod. Or. 8952). Semua surat itu ditulis dalam bahasa Arab ketika ia menjadi Hoofd Penghulu Bandung (1895-1917), setelah memasuki masa pensiun, hingga beberapa tahun sebelum meninggal.
”Surat terakhir ditulis pada 9 Agustus 1923. Surat-surat itu saya interpretasi lalu dianalisis menggunakan perspektif teoretis sejarah sosial-intelektual dan sejarah kolonial,” ujarnya.
**
Ahmad Ginanjar Sya’ban, pembicara kedua dalam sawala itu, menuturkan bahwa Snouck Hurgronje tak hanya menjalin korespondensi dengan Hasan Mustapa. Ia terhubung kepada banyak ulama nusantara. ”Ia menyebut beberapa ulama asal Sunda, tetapi secara khusus membedakan antara Sunda Priangan dan Sunda Banten,” katanya dalam makalah berjudul ”Khazanah Literatur Sunda di Timur Tengah”.
Dari Priangan, ia menyebut beberapa nama ulama, di antaranya Muhammad dan Hasan Mustapa. Snouck juga menyinggung pengaruh Raden Muhammad Musa, Hoofd Penghulu Limbangan sekaligus ”pembaharu” sastra Sunda. Muhammad Musa merupakan kawan dekat Karel Frederik Holle, Penasihat Pemerintah Hindia Belanda untuk Urusan Pribumi, pendahulu Snouck. ”Ia juga menyinggung Raden Yusuf Purwakarta yang menjadi guru Syaikh Nawawi Banten,” tuturnya.
Sementara, dari Banten, di antara nama ulama yang disebut Snouck Hurgronje adalah Syaikh Nawawi Banten, kedua adiknya, dan Syaikh Abdul Karim Banten. Selain itu, terdapat satu tokoh lain, yakni Aboe Bakar Djajadiningrat, menak Sunda-Banten (anak Bupati Pandeglang) yang bekerja di Konsul Belanda di Jeddah. ”Djajadiningrat inilah yang menjadi aktor di balik suksesnya Hurgronje masuk ke Mekah lalu bertemu dengan beberapa ulama di Kota Suci itu,” ujarnya.
**
Sebagai bukti historis, surat-surat Hasan Mustapa berbicara tentang banyak hal. Adakalanya, ia memosisikan diri sebagai informan lokal yang diyakini memberikan banyak informasi terhadap pejabat kolonial yang selanjutnya memengaruhi kebijakan kolonial Belanda.
”Hasan Mustapa dan para pejabat pribumi lainnya diminta menyusun karangan lalu dikirim ke Belanda. Tak kurang dari 20 manuskrip yang dikirim atas nama Hasan Mustapa. Beberapa karyanya yang dikirim kepada Snouck, di antaranya dangding, bab adat istiadat Sunda, dan Gurinda Alam Dunya Karang Kembang,” tuturnya.
Selain itu, di dalam surat, terungkap pula bahwa Hasan Mustapa berkawan akrab dengan Snouck Hurgronje. Mereka bertemu di Mekah pada periode 1880-1885. Namun, pertemuan kedua tokoh itu sempat diragukan oleh banyak ahli, sebut saja Ajip Rosidi, Jajang Jahroni, dan Tini Kartini.
”Namun, itu terbantahkan bila membaca surat-surat Hasan Mustapa. Kepastian tentang pertemuan itu diungkapkan Hasan Mustapa dalam surat tanggal 14 Oktober 1913,” ujarnya.
Belakangan, hubungan mereka tak sebatas atasan-bawahan. Snouck menganggap Hasan Mustapa sebagai anggota keluarga. Bahkan, ia dipercaya untuk memperhatikan kondisi keluarga Snouck, baik yang tinggal di Bandung maupun Ciamis.
”Snouck menikah dua kali di Jawa Barat, yakni dengan anak Kalipah Apo dan anak Hoofd Penghulu Ciamis. Dari istri pertama, ia punya 5 anak dan dari istri kedua 1 anak,” ucap Jajang.
Di bagian akhir, Jajang menyatakan bahwa sejarah harus dibaca secara kronologis, bukan anakronis. Surat-surat Hasan Mustapa ditulis dalam ruang sejarah kedekatan, persahabatan, keislaman, dan ikatan kekeluargaan. ”Selain itu, saya berpendapat, kurang tepat menilai dan menghakimi masa lalu dengan ukuran, situasi, peristiwa pada masa sekarang,” tuturnya. (Sumber: Hazmirullah/”PR”, 01/10/2018)***