METRUM
Jelajah Komunitas

Berharap Kebijakan Adil dan Manusiawi

Wacana Reaktivasi Jalur Kereta Api di Jawa Barat

RENCANA mengaktifkan kembali jalur kereta api tak semudah membalikkan telapak tangan. Rencana ini beberapa kali diungkapkan sejak lama dengan bentuk realisasi yang sangat lamban. Sejurus dengan itu, permukiman warga di sekitar jalur kereta api terus menjamur. Masalah pun semakin kompleks.

Jalur kereta api Rancaekek-Tanjungsari adalah contohnya. Pada 2016, rencana reaktivasi jalur itu sempat dilambungkan Gubernur Jabar Ahmad Heryawan. Saat itu, Heryawan bahkan menyebut bahwa secara jangka panjang, reaktivasi jalur itu akan tembus sampai Cirebon.

Tak lama setelah pernyataan Ahmad Heryawan, di lapangan muncul petugas yang melakukan pengukuran dan pematokan lahan jalur kereta di wilayah Kecamatan Jatinangor, Sukasari, dan Tanjungsari. Dishub Jabar mendiskusikan rencana. Audiensi melibatkan banyak instansi dan warga. Sayang, rencana itu terhenti. Tak ada lagi kelanjutannya seiring dengan berjalannya waktu hingga kembali diungkit pada awal kepemimpinan Gubernur Ridwan Kamil.

Bagi warga yang bermukim di lahan jalur kereta, rencana peng­aktifan kembali (reaktivasi) jalur kereta api bukan kabar asing. Sejumlah warga Kecamatan Tanjungsari yang ditemui ”PR” mengaku tidak keberatan jika lahan jalur kereta yang mereka tempati kembali dipakai untuk hal seharusnya. Satu syarat yang mereka berikan adalah relokasi.

”Kami tidak merasa memiliki lahan ini. Silakan saja jika pemerintah akan membangun atau mengaktifkan kembali jalur rel kereta api ini. Kami siap pindah. Yang penting, kami tidak ditelantarkan,” ucap Ketua Forum Sawarga Sunda, Yanto Irianto (54). Ia ditemui di rumahnya di Dusun Pamagersari RT 01 RW 04, ­Desa/Kecamatan Tanjungsari, Kamis (27/9/2018).

Menurut dia, seandainya pemerintah akan memberikan kompensasi, warga pun bersedia. Dengan catatan, pemerintah harus adil. Jika direlokasi, ia sadar bahwa penempatannya tergantung kebijakan pemerintah dan PT KAI. Hanya saja, dalam penempat­annya ia berharap tak jauh dari lokasi sebelumnya. Diperkira­kan ada 600 keluarga yang tinggal di se­kitar jalur kereta api di sekitar Tanjungsari saat ini.

Camat Tanjungsari Ida Farida Sobandi membenarkan kesadaran dan tuntutan warganya. Kepala Desa Sukarapih, ­Kecamatan Suka­sari, Setiawan Saputra, berpendapat serupa. Kuncinya ada pada kebijaksanaan pemerintah dalam upaya relo­kasi warga. Perlakuan yang adil dan manusiawi adalah harapannya.

14.000 Bangunan

Masalah serupa ditemui di jalur kereta Banjar-Pangandaran-Cijulang sepanjang 82 kilometer. Pemerintah Kabupaten Pangandaran menyambut baik rencana itu karena diharapkan akan meng­ungkit ekonomi lokal sebagai daerah pariwisata.

Yang menjadi masalah adalah upaya relokasi warga yang akan menjadi melahirkan konflik horizontal di tengah masyarakat jika tak dilakukan dengan tepat.

”Ada sekitar 14.000 bangunan yang berdiri di sepanjang jalur kereta api mulai dari Banjarsari hingga Cijulang,” ujar Bambang Tursino, petugas pelaksana PT KAI wilayah Pangandaran.

Dari sekitar 14.000 bangunan itu, kata Bambang, dihuni oleh sekitar 7.000 penduduk dan memiliki kontrak. Mereka membayar sewa. Sisanya, sama sekali tak ada ikatan kontrak dengan PT KAI.

Bupati Pangandaran Jeje Wiradinata menyadari permasalahan itu. Hingga saat ini, kata Jeje, belum ada komunikasi dari pihak PT KAI dengan pemerintah daerah untuk membicarakan teknis soal rencana pengaktifan kembali jalur kereta api ke Pangandaran tersebut.

Kepada wartawan Kabar Priangan Agus Kusnadi, Jeje meng­aku sadar betul bahwa rencana itu akan meningkatkan jumlah kunjungan wisata ke Pangandaran dan bisa meningkatkan perekonomian lokal. Itu sebabnya, bentuk komunikasi yang tepat antara PT KAI, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten ­sangatlah penting. Mendengar suara masyarakat dan menyi­kapi­nya dengan ­bijak menjadi kunci keberhasilannya. (Sumber: Adang Jukardi/”PR”, 01/10/2018)***

komentar

Tinggalkan Balasan