Kereta Api dan Impian Perubahan
Harapan untuk mengungkit ekonomi lokal agar lebih berdaya menjadi impian sejak lama. Memperlancar akses yang menjadi kata kunci akselerasi pembangunan itu menjadi bahasan klasik sejak dulu. Jalur kereta api adalah jawabannya.
PEMBUKAAN jalur kereta api jalur Bandung-Ciwidey dan Garut-Cikajang seabad lalu menjadi saksinya. Catatan yang dikoleksi dari sejumlah sumber kali ini memaparkan bahwa sejarah bukan untuk dilupakan tetapi menjadi cermin agar langkah ke depan menjadi lebih baik.
Jalur lintas ke selatan Bandung, menurut buku Sejarah Perkeretaapian Indonesia yang disusun Telaga Bakti Nusantara, Asosiasi Profesi Perkeretaapian Indonesia, dan Asosiasi Perkeretaapian Indonesia terbitan tahun 1997, diawali dengan dibukanya jalur Bandung-Soreang tahun 1921. Kemudian diikuti dengan operasional Soreang-Ciwidey tahun 1924.
Acara pembukaan jalur kereta api Bandung-Soreang diberitakan surat kabar Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch Indie terbitan Senin 14 Februari 1921. Diberitakan, pada Sabtu pagi 12 Februari 1921 jalur kereta api jurusan Bandung-Soreang dibuka dan diresmikan oleh Staatsspoorwegen, Wali Kota Bandung, Residen Priangan dan asistennya.
Pembukaan rute Bandung-Soreang, kata berita itu, dilakukan dari Halte Karees (kini sekitar Jalan Gatot Subroto-TSM Bandung), pada pukul 8.15. Rangkaian kereta api yang diberangkatkan ke Soreang dihiasi bunga yang sangat banyak. Keberangkatan perdana kereta api rute Bandung-Soreang digambarkan sangat meriah dan dihadiri ribuan orang.
Acara pembukaan rute Bandung-Soreang ditutup dengan acara penyambutan ketibaan di Stasiun Soreang, menurut berita itu, diikuti ritual pemotongan kepala kerbau yang kemudian ditanam di halaman stasiun. Acara berlangsung tak sampai 1 jam. Rombongan lalu kembali ke Bandung.
Diberitakan, Stasiun Soreang dibangun sebagai stasiun kelas ekonomi yang diperuntukkan bagi masyarakat umum. Rute Bandung-Soreang resmi dioperasikan melayani masyarakat esok harinya, pada 13 Februari 1921.
Keberangkatan dilakukan dari Stasiun Bandung lalu singgah di Halte Cikudapateuh, dan Halte Cibangkonglor yang sekaligus persimpangan menuju jalur selatan, Halte Cibangkong, Halte Buahbatu, Halte Bojongsoang, dan Stasiun Dayeuhkolot. Dari sana, perjalanan dilanjut ke Halte Kulalet, Halte Pameungpeuk, Halte Cikupa, Stasiun Banjaran, Halte Cangkuang, Halte Citaliktik, dan Stasiun Soreang.
Dayeuhkolot
Pada saat perang kemerdekaan Indonesia tahun 1945-1949, informasi dari Economische Toestand (1947) dan Statistical Pocketbook (1953), kondisi kereta api di Indonesia mengalami banyak kerusakan. Jika dibandingkan dengan tahun 1939 (patokan sebelum pecahnya Perang Dunia II di Eropa) di Hindia Belanda terdapat 1.202 unit lokomotif. Pada 1947, lokomotif yang masih dapat dioperasikan berkurang menjadi 295 unit.
Salah satu lokasi populasi kereta api dan lokomotif terbanyak adalah kawasan Stasiun Kereta Api Dayeuhkolot. Menurut informasi Nationaal Archief dan Tresoar Foto Archief, jembatan kereta api Putri Irene Dayeuhkolot di atas Sungai Citarum yang lokasinya berdampingan dengan Stasiun Dayeuhkolot, diduduki pasukan Belanda sejak Juli 1946. Pasukan Belanda dari Batalion Friesland mengerahkan sejumlah tawanan perang yang terdiri atas sejumlah tentara Jepang untuk memperbaiki kereta api yang rusak di jalur Stasiun Dayeuhkolot serta mengoptimalkan kondisi jembatan kereta api Putri Irene.
Disebutkan, perbaikan kereta api dan lokomotif di kawasan Stasiun Dayeuhkolot berikut jembatan Putri Irene selesai pada 3 Oktober 1946. Peresmiannya dilakukan pasukan Belanda dan disaksikan perwakilan pihak sekutu dari tentara Inggris. Pada saat yang sama di Dayeuhkolot, pasukan Belanda menangkap seorang desertir tentara Inggris, Michael dari Brigade 49 Seksi Sinyal Divisi ke-23 yang menyeberang bergabung dengan pejuang Indonesia.
Garut-Cikajang
Pembukaan jalur kereta api Garut-Cikajang diberitakan surat kabar berbahasa Belanda Bataviaasch Nieuwsblad pada 5 Agustus 1930, yang arsipnya tersimpan di Koninklijke Bibliotheek Belanda. Pembukaannya dilakukan pada 4 Agustus 1930. Suasana pembukaan jalur kereta api Garut-Cikajang diperoleh melalui Kantor Berita Aneta yang mengirimkan koresponden khusus menulis tentang pembukaan jalur tersebut. Berbagai kalangan memperkirakan hal itu membawa manfaat bagi jalur Garut-Cikajang sehingga suasana alam dan kehidupannya terkenal.
Pembangunan jalur kereta api Garut-Cikajang dirancang dengan serius dan teliti untuk berbagai aspek oleh para insinyur Belanda. Jalur kereta api itu juga dirancang dengan menyesuaikan perbedaan ketinggian sejak Garut sampai ke Cikajang dengan selisih ketinggian lebih dari 533 meter di atas permukaan laut. Jalurnya sengaja dibuat lebih panjang melingkar agar rangkaian kereta api dapat kuat melintas pada alam Garut ke Cikajang yang melintasi lereng gunung.
Disebutkan, rangkaian gerbong kereta api di jalur Garut-Cikajang kemudian dengan mudah ditarik lokomotif uap gunung kelas berat. Jenis lokomotif uap yang dimaksud adalah jenis Mallet SS1600 yang pada zaman Jepang pada Perang Dunia II 1942-1945 diganti kodenya menjadi CC50.
Para penumpang di jalur Garut-Cikajang terdiri atas para wisatawan maupun penduduk pribumi. Dalam pembukaan kereta api tersebut, para wisatawan Eropa langsung takjub dengan pemandangan dari Garut ke Cikajang yang dinilai luar biasa indah dan tak terlupakan.
Sepanjang perjalanan, para wisatawan Eropa terpesona keindahan alam lintas Garut ke Cikajang. ”Kami belum pernah melihat sesuatu yang begitu sangat indah, seperti di jalur Garut ke Cikajang ini,” ujar sejumlah wisatawan Eropa yang dikutip oleh koresponden Aneta itu.
Stasiun tertinggi
Pada jalur kereta api Garut ke Cikajang itu, disebutkan pula semua stasiun dan halte dibangun dengan rancangan dan bahan yang sama. Berbagai bangunan stasiun dan halte itu sangat rapi dan berdaya tarik, serta dirancang bermanfaat secara ekonomi pada berbagai jalur yang dilalui.
Di ujung tujuan, Stasiun Cikajang memiliki ketinggian 12.457 meter di atas permukaan dan merupakan yang tertinggi di Hindia Belanda (Indonesia). Di stasiun ini dibuat gudang untuk pengiriman dan penerimaan barang.
Diberitakan pula, kelas kereta api Garut-Cikajang diatur pembagian antara khusus para wisatawan dan masyarakat pribumi. Untuk tiketnya, para wisatawan kelasnya lebih tinggi dengan dikenai tarif 1,30 gulden. Juga ada kelas 2 (tiket putih) 80,42 sen, dan kelas 3 untuk pribumi seharga 80, 42, dan 20 sen untuk kepentingan umum. (Sumber: Kodar Solihat/”PR”, 01/10/2018)***