Bersepeda Smart Susur Jalur Kabupaten Bandung
SELAMA dua bulan lebih saya tidak melakukan aktivitas bersepeda karena lebih banyak berdiam diri di rumah dengan tetap beraktivitas produktif mengikuti anjuran pemerintah untuk melakukan pembatasan sosial guna mencegah tertular atau memutus rantai penyebaran covid-19.
Pada saat masa pembatasan sosial berskala besar, saya berupaya menahan diri untuk tidak bersepeda meskipun sering tergoda mengingat banyak teman pesepeda yang tetap melakukan aktivitas gowes di tengah suasana mencekam saat itu.

Pun saat pelonggaran PSBB, sampai terjadi fenomena euforia bersepeda di masyarakat, saya masih tetap bertahan. Seminggu setelah masa PSBB berakhir, baru saya memberanikan diri untuk bersepeda menuju daerah Bojong Tanjung, Katapang, Kabupaten Bandung, sekaligus melihat rumah yang biasanya hanya satu minggu sekali disinggahi. Rumah ini, selama PSBB tidak pernah dikunjungi dan aktivitas pertama yang dilakukan sesampainya di sana adalah beres-beres rumah yang kondisinya tak karuan terutama di halaman depan.
Perjalanan bersepeda dari Sukagalih, Sukajadi, Kota Bandung menuju Katapang kurang lebih menempuh jalan sepanjang 24 kilometer. Sebelum wabah covid-19, saya rutin melakukan rute perjalanan ini setiap akhir pekan seminggu sekali. Rute yang dilalui biasanya memakai jalur kota, yaitu Sukagalih – Terusan Pasteur – Pasirkaliki – Pajajaran – Teluk Buyung – Haji Mesri – Kebon Kawung – Gardu Jati – Astana Anyar – Pasir Koja – Otista – Peta – Mekar Wangi – Leuwi Panjang – Cibaduyut.
Setelah itu, sambung rute kabupaten melalui Terusan Cibaduyut – Sayuran – Bojong Sayang – Jembatan Citarum Ranca Manyar – Katapang Andir – Suka mukti – Cibolerang – Bojong Tanjung.
Sejak terjadinya wabah corona, saya berupaya patuh terhadap anjuran-anjuran protokol kesehatan, termasuk di dalamnya protokol kesehatan dalam bersepeda. Banyak pakar kesehatan menyarankan untuk menerapkan konsep bersepeda SMART, Sendirian, Masker, Arm Glove, Rute sepi, dan Timing bukan jam sibuk.

Dua point terakhir agak sulit diterapkan. Kini, rute sepi sulit dicari. Terkadang arah lokasi yang dituju tidak bisa melalui rute-rute sepi dan mau tidak mau harus melalui jalan raya yang ramai. Mencari waktu yang bukan “jam sibuk” juga sangat sulit. Sekarang pukul 5 atau 6 pagi kondisi lalu lintas sudah ramai.
Hingga kini, saya menerapkan konsep bersepeda tersebut karena pandemi belum berakhir. Apalagi saya memang sudah berkomitmen bahwa saya bersepeda bukan lagi untuk hobi dan olah raga, tapi untuk moda transportasi ke mana saja.
Ngaprak Pelosok Desa
Saat ini, bersepeda sendirian adalah pilihan bijak bagi saya sebagai upaya menghindari penyebaran virus corona. Selebihnya saya memasrahkan diri kepada Yang Maha Kuasa. Oleh karena itu, ketika euforia bersepeda banyak yang mengayuh sepeda menuju pusat kota dan trek-trek sepeda, saya lebih memilih gowes sendirian menuju pedesaan, meskipun di perjalanan tetap harus berjibaku dengan keramaian dan kepadatan lalu lintas.
Dua minggu usai saya melakukan gowes pertama setelah masa PSBB, saya melakukan perjalanan kembali ke Katapang. Pada Minggu (19/7/2020) pagi yang cerah, saya bersepeda menyusuri Katapang – Soreang – Banjaran – Pemeungpeuk – Rancamanyar – Katapang. Estimasi jarak sekitar 25 kilometer. Dominan yang dilalui adalah jalan raya yang ramai.
Sepekan kemudian, pada Minggu (26/7/2020), saya mengayuh sepeda kembali menuju Katapang dan mampir di rumah teman di sebuah komplek perumahan di Rancamanyar untuk silaturahim dengan para alumni mahasiswa pesepeda yang tergabung dalam Bike to Campus Bandung.
Tiga hari kemudian, pada Rabu 26 Juli 2020, saya kembali melakukan perjalanan bersepeda dari Sukagalih Kota Bandung menuju Ciparay Kabupaten Bandung, kurang lebih berjarak 40 kilometer melalui Terusan Pasteur – Pasirkaliki – Pajajaran – Teluk Buyung – Haji Mesri – Kebon Kawung – Gardu Jati – Astana Anyar – Pasir Koja – Otista – Peta – Muhamad Toha – Dayeuh Kolot – Bale Endah – Laswi – Alun-alun Ciparay.
Tujuan perjalanan bersepeda tersebut untuk bertemu teman pesepeda dari Karawang yang tengah berkunjung ke daerah Ciparay. Tak berlama-lama di sana, usai istirahat, ngobrol, dan makan saya bergegas pulang kembali bersepeda menuju Kota Bandung.
Selama melakukan perjalanan, masker tidak pernah saya lepas kecuali ketika sedang berhenti untuk beristirahat. Jika istirahat di pinggir jalan yang ramai, saya tidak berlama-lama, hanya sekedar mengatur nafas. Tetapi jika di jalan yang sepi, saya istirahat cukup lama untuk minum dan meregangkan otot-otot. Setiap istirahat saya selalu membersihkan tangan dengan hand sanitizer terutama saat akan makan dan minum.
Meski tidak lama, sering berhenti untuk istirahat adalah strategi saya agar tidak kelelahan. Irama bersepeda pun seperti biasanya saya selalu santai dan sesekali agak cepat. Selain itu, saya juga mengalah dengan kendaraan bermotor, terutama kendaraan-kendaraan besar yang melintas cepat.
Itulah perjalanan bersepeda awal yang saya lakukan usai masa pembatasan sosial berakhir. Memang tidak ada yang luar biasa atau istimewa, tapi setidaknya telah melemaskan kembali otot-otot yang kaku setelah sekian lama berdiam diri.
Bersepeda memang baik, tapi bersepeda smart lebih baik. Tetap sehat dan semangat, bersepedalah dengan bijak, santun, dan tertib. Salam boseh dan go green. (Cucu Hambali, Bersepeda Itu Baik)***
Komen yang ditutup, tetapi jejak balik dan ping balik terbuka.