Cemas tak Bisa Bersaing, Remaja Rentan Alami Gangguan Jiwa
ANAK usia remaja rentan mengalami depresi hingga berujung pada gangguan kejiwaan. Psikiater Universitas Padjadjaran (Unpad), Teddy Hidayat, menjelaskan rentannya remaja mengalami depresi ini diakibatkan oleh berbagai faktor.
“Remaja rentan untuk mengalami perubahan perilaku. Kita lihat akibatnya ada gangguan jiwa, depresi, gangguan jiwa berat, ada HIV, narkotik, kekerasan, dan radikalisme. Semua awalnya dari sana,” ujar Teddy Hidayat, seperti dikutip dari Kantor Berita Antara.
Para remaja yang mengalami gangguan kejiwaan terutama telah sampai pada titik terberat, cenderung menjadi “gelandangan psikotik” atau dibuang keluar dari lingkungannya.
Beberapa hal yang membuat remaja bisa terserang gangguan kejiwaan, kata dia, diakibatkan oleh faktor lingkungan, konsumsi obat-obatan terlarang, kekerasan yang pernah dialami, hingga kecemasan tidak bisa bersaing.
Ia tidak menyebut secara rinci jumlah remaja yang mengalami gangguan kejiwaan. Setiap harinya, ujar dia, orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) memerlukan perawatan intensif atau rawat inap, namun di sisi lain fasilitas layanan kesehatan jiwa yang ada jumlahnya terbatas.
Hal ini membuat sebagian besar ODGJ tidak terdeteksi, tidak diobati, menjadi kronik, hingga mengalami kecacatan, menjadi korban kekerasan, pemasungan, dan menggelandang.
“Saya kira kita harus punya program, kepedulian dari pemerintah, legal aspeknya, seperti pergub, perwal agar ada anggarannya nanti disiapkan. Kemudian disusun program yang berbasis komunitas, itu bisa dilakukan asal tinggal niatnya,” ucapnya.
Menurut Teddy Hidayat, penanggulangan gelandangan psikotik sampai saat ini masih mendapat banyak kendala. Namun yang terpenting adalah pemahaman aparatur pemerintah dan masyarakat tentang gelandangan psikotik terbatas.
Selain itu, tambahnya, belum ada koordinasi dan pedoman yang disepakati sehingga belum ada pola penatalaksanaan yang jelas, termasuk pasca rehabilitasi.
Ia mengatakan belum ada data tentang jumlah gelandangan psikotik yang ada dan berapa banyak yang telah dijangkau.
“Penanganan yang komprehensif dengan medis dengan obat-obatan, kemudian dengan konseling dengan psikoterapi, perubahan lingkungan jadi holistik menyeluruh jadi secara biopsikososial,” katanya.***