METRUM
Jelajah Komunitas

Cerita Braga Bandung yang Dulunya Dijuluki “Jalan Culik”

TIDAK seperti sekarang yang selalu ramai, dahulu Jalan Braga hanyalah jalan kecil di depan pemukiman yang sunyi. Karena sepi, jalan tersebut sangat rawan penculikan dan pembegalan. Ada begitu banyak tindak kriminal pada masa itu.

Jalan Braga zaman dulu juga terkenal angker. Banyaknya orang yang dianiaya bahkan sampai meninggal dunia ketika melewati tempat ini menjadikan jalan ini makin sepi. Apalagi sejak agresi militer terjadi, Jalan Braga menjadi tempat patroli lalu lalang tentara kolonial dan banyak pembantaian yang terjadi.

Dikutip dari situs resmi Dinas Bina Marga dan Penataan Ruang (DBMTR) Jabar, Jalan Braga awalnya hanyalah jalan kecil yang sunyi. Kala itu, Braga rawan tindakan kejahatan. Hal ini yang sebab julukan “Jalan Culik” diberikan kepada jalanan ini hingga menjadi ikonik.

“Lantaran lumayan rawan tindak kriminal, jalan ini sempat dijuluki Jalan Culik. Braga adalah jalan angker, karena banyak orang yang dianiaya dan kehilangan nyawa penyamun saat melintasinya,” tulis situs DBMTR Jabar.

Braga menjadi jalan yang rawan ketika Belanda dan penduduk setempat lewat. Braga juga dikenal sebagai Karrenweg, kemudian Pedatiweg (Jalan Pedati). Nama tersebut diadaptasi dari nama salah satu bentuk angkutan umum yang pernah digunakan sekitar tahun 1800-an.

Perubahan nama itu dikarenakan ketenaran Toneelvereeniging Braga (Perkumpulan Tonil Braga), yang didirikan di Pedatiweg pada tanggal 18 Juni 1882 oleh Asisten Residen Priangan, Pieter F. Sijthoff. Ada juga sejarah yang menyatakan, Braga diambil dari nama sebuah minuman khas Rumania yang biasa disajikan di Societeit Concordia yang berada di ujung selatan Bragaweg.

Dikutip dari DBMTR Jabar, pembangunan Jalan Braga masih erat kainnya dengan Jalan Raya Pos atau yang dikenal Jalan Anyer Panarukan. Jalan yang dibangun Gubernur Jendral Hindia Belanda Herman Willem Deandels pada periode 1808-1811.

Sejarah lainnya tentang Jalan Braga ini juga berkaitan dengan peristiwa tanam paksa pada 1831-1870 yang diberlakukan pemerintah Hindia Belanda. Dimana saat itu kondisi keuangan pemerintah sedang merosot setelah terjadi Perang Diponegoro periode 1825-1830. Kopi menjadi komoditas utama saat itu.

Sementara nama Braga sendiri masih tidak jelas hingga sekarang. Kata Braga, menurut sastrawan Sunda MA Salmoen dalam buku “Baruang Kanu Ngora”, berasal dari kata “ngabaraga” yang artinya, berjalan menyusuri sepanjang sungai.

Letak Pedatiweg saat ini Braga memang berdampingan dengan Sungai Cikapundung. Jalan yang menyusuri sungai disebut Braga. Sebagaimana halnya jalan yang menjorok ke laut dinamakan dermaga. Sedangkan sinonim kata jalan adalah marga.

Ngabaraga juga bisa diterjemahkan ke dalam bahasa ‘kirata’ alias dikira-kira tapi nyata menjadi ngabar raga, yang memiki makna bergaya memamerkan tubuh, nampang, atau mejeng.

Braga waktu di bawah penjajahan Belanda maupun setelah Indonesia merdeka menjadi the place to see and to be seen. Braga memang dikenal sejak dulu hingga sekarang sebagai pusat kota yang mempunyai banyak pertokoan dan hiburan untuk bergaya. Tempat berkumpul sambil jalan-jalan dan belanja. (Muhammad Lutfi H/JT)***

komentar

Komen yang ditutup, tetapi jejak balik dan ping balik terbuka.