Menyimak Debat Saat Proklamasi Kemerdekaan di Rumah Sejarah Penculikan Soekarno-Hatta
RUMAH persembunyian Soekarno-Hatta itu awalnya merupakan sebuah gubuk terpencil. Lokasinya di tepi Sungai Citarum di Desa Rengasdengklok, Kabupaten Karawang. Suasananya aman di bawah kekuasaan para pejuang muda atau tentara PETA (Pembela Tanah Air). Namun karena gubuk tua itu tidak layak dan sering kebanjiran, kemudian lokasi persembunyian itu dipindahkan.
Persembunyian yang berkonotasi “penculikan” itu dilakukan oleh para pejuang muda. Mereka kemudian memindahkan Soekarno-Hatta ke rumah milik seorang penduduk lokal milik petani sekaligus saudagar Tionghoa, Djiauw Kie Siong.
Semula Soekarno-Hatta tinggal di Jakarta dalam suasana Jepang mengalami kekalahan dalam Perang Pasifik. Sejumlah pemuda antara lain Sukarni, Wikana, Aidit, dan Chaerul Saleh dari perkumpulan “Menteng 31” menculik Soekarno-Hatta. Mereka membawanya ke Rengasdengklok, sekitar 23 kilometer utara Kota Karawang.
Peristiwa bersejarah itu terjadi pada 16 Agustus 1945 pukul 03.00. Para pemuda “Menteng 31” itu mendesak Soekarno-Hatta agar mempercepat proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Teks Proklamasi Kemerdekaan disusun di Rengasdengklok. Bendera Merah Putih pun dikibarkan di rumah yang kemudian memunculkan sebutan sebagai rumah bersejarah atau Peristiwa Rengkasdengklok itu. (Wikipedia.org)
Singkat cerita, pada 16 Agustus 1945 tengah malam rombongan Soekarno, Hatta, Fatmawati, dan Guntur dan para pemuda penjemput tiba kembali di Jakarta. Keesokan harinya, tanggal 17 Agustus 1945, teks proklamasi kemerdekaan dibacakan oleh Presiden Soekarno di rumah beliau Jalan Pegangsaan Timur No. 56. Teks proklamasi itu diketik oleh Sayuti Melik menggunakan mesin ketik yang “dipinjam” (sebetulnya diambil) dari Kantor Perwakilan Kriegsmarine, Mayor (Laut) Dr. Hermann Kandeler.
Rumah sejarah yang dibangun pada 1920 di atas lahan lebih kurang 1.100 meter persegi itu sekarang ditinggali Pak Yanto dan istrinya, Bu Yanto. Pasangan berusia 75 tahun itu adalah cucu Djiauw Kie Siong (lahir 1880 dan meninggal dunia 1964). Mereka merawat rumah itu dengan biaya sendiri tanpa bantuan pemerintah. Memang ada kontak amal yang disediakan bagi para pengunjung. Namun hasilnya tidak menentu karena para tamu memasukkan sumbangannya secara sukarela.
Rincian kisah penculikan
Dalam buku berjudul “Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia” karya Cindy Adam, Presiden pertama Republik Indonesia (RI), Soekarno, menceritakan kisah penculikannya dan Muhammad Hatta oleh para pemuda.
Dini hari, 16 Agustus 1945, Soekarno mengaku masih terbangun pada pukul 03.00 WIB. Beliau menyatakan malam itu tidak bisa tidur dan masih duduk di kamar-makan seorang diri, makan sahur. Sementara keadaan dalam rumah sunyi dan sepi, semua orang tidur.
“Tiba-tiba, terdengarlah sayup suara mendesir dari balik semak-semak dan serombongan pemuda berpakaian seragam masuk dengan diam-diam. Sukarni pakai pistol dan sebilah pisau panjang,” tutur Soekarno (Joko Sadewo, Ketika Sukarno Ditodong Pisau, Pedang dan Pistol, republika.co.id, Ahad, 10/8/2014)).
Dengan lagak petualang dia mencabut pisaunya dan membelebab, “Berpakaianlah Bung, sudah tiba saatnya,” papar Soekarno menirukan kata-kata Sukarni.
Dengan ekspresi marah dan mata menyala-nyala, Soekarno pun membalas: “Ya, sudah tiba saatnya untuk dibunuh! Jika aku yang memimpin pemberontakanmu ini dan gagal, aku kehilangan kepala, engkau pun juga, begitupun yang lain-lain. Anak buah mati ada gantinya, tapi pemimpin? Kalau aku mati, coba siapa pikirmu yang akan memimpin rakyat, bila datang waktunya yang tepat?”
Dalam dialog ini, Soekarno menyatakan diri sebagai pemimpin rakyat dan bertanya kepada para pemuda itu, siapa yang akan menjadi pemimpin kalau dirinya mati.
Pemuda lainnya pun menjawab pertanyaan Bung Karno sambil menantang dengan mengayunkan pedangnya. “Oleh karena itu, kami akan melarikan Bung ke luar kota di tengah malam buta ini. Sudah kami putuskan untuk membawa Bung ke tempat yang aman,” papar Soekarno menirukan kata-kata pemuda itu.
Sambil menghembuskan nafas, “Aaaakhhh”, Soekarno menjelaskan kepada para pemuda itu: “Tindakanmu salah, salah sama sekali. Tidakkah engkau dapat mengerti bahwa permainanmu ini akan menemui kegagalan? Aku tahu bagaimana kecintaanmu terhadap tanah air. Kuhargai semanngatmu yang berkobar-kobar itu. Tapi hanya itu yang kau miliki. Engkau harus bijaksana dan bekerja dengan kepala dingin”.
Soekarno mengaku saat itu naik darah karena para pemuda itu tidak mau mendengarkan pertimbangan yang sehat. Darah Soekarno pun menggelegak sewaktu berbicara. Soekarno juga mengaku tidak takut karena yakin dan tahu para pemuda itu tidak akan menyakiti dirinya.
Menurut Soekarno, anak-anak muda itu menganggap tindakannya sebagai perbuatan patriotik yang besar. Kejadian itu sungguh-sungguh terjadi, sebuah drama yang nyata.
Para pemuda itu lalu berseru dengan tidak sabar: “Sekarang ini saatnya, Sekarang! Sekarang! Selagi Jepang sudah patah semangat. Sekarang mereka dalam keadaan putus asa. Sekaranglah saatnya kita angkat senjata,” ungkap Soekarno menirukan seruan para pemuda.
Setelah Soekarno bersiap-siap untuk berpakaian dan pergi dari rumah bersama-sama istrinya Fatmawati, dan putra sulungnya Guntur Soekarnoputra, seorang pemuda tiba-tiba berseru: “Jepang akan menembak orang preman kalau kelihatan naik mobil di waktu malam. Pakailah ini (seragam PETA)”.
Soekarno bertanya: Bagaimana Ibu Fatmawati?” Pemuda itu menjawab: “Tidak apa-apa, anggota PETA biasa berjalan dengan keluarganya.” Soekarno pun memakai seragam PETA itu untuk menutupi piyamanya.
Dua buah kendaraan berdiri di pinggir jalan. Dalam kendaraan di depan telah duduk tawanan lain, Muhammad Hatta, yang menurut Soekarno, sedang membayangkan perasaan jemu. Sedangkan dalam kendaraan kedua lebih banyak tentara dan kaleng-kaleng makanan, cukup untuk beberapa hari. (Widodo Asmowiyoto, Wartawan Senior)***
Komen yang ditutup, tetapi jejak balik dan ping balik terbuka.