Nobar dan Diskusi Film “The Indigenous” di Kampung Cireundeu: Mengenal Hak-hak Masyarakat Adat
KEGIATAN Nobar dan Diskusi Film “The Indigenous” diselenggarakan di Bale Kampung Adat Cireundeu pada Sabtu, 19 September 2023. Kegiatan ini dikelola Balad Kawit Seja, WatchDoc, Kampung Adat Cireundeu dan Youth Interfaith Peacemaker Community (YIPC). Acara dimulai pukul 13.00 WIB.
“Keberagaman itu bukan menjadi ancaman, melainkan peluang. Banyak kearifan lokal yang hadir di dalamnya. Dia mempunyai nilai sendiri. Tiap komunitas lokal punya,” ungkap Tanu Rahadi selaku pemandu kegiatan.
Cakra Arganata, penghayat budidaya, menjelaskan bahwa ada ciri khas masyarakat adat yang membedakan dirinya dengan masyarakat lain. “Saya seorang penghayat kepercayaan yang menggali kembali yang ada di tanah asal saya,” ujar Cakra.
Ada tiga poin utama dari ajaran Mei Kartawinata. Pertama, Sangkan Paraning Dumadi tentang darimana asal kita serta setelah meninggal kita akan kemana. Kedua, Manunggaling kawula Gusti. Tuhan itu tidak jauh dari umatnya. Kembali lagi bahwa tuhan itu ternyata, sifatnya ada dalam diri manusia. Ketiga, Memayu Hayuning bawana. Saya hidup dan apa yang bisa saya perbuat dalam kehidupan saya, berbicara dengan sesama yang hidup.
“Hirup cicing, hirup éling. Itu makhluk Tuhan. Ada hidupnya, ada Tuhannya di situ,” jelas Cakra, Sekjen Gemapakti Pusat.
H. Asep Ridwan, S.Ag. M.Hum, dari Biro Hukum Gerakan Nasional Penegak Hak Asasi Manusia mengatakan bahwa ada tiga isu utama tentang HAM Masyarakat Adat. Pertama, persoalan agraris mencakup hak wilayah adat yang belum selesai di Indonesia. Kedua, pengakuan dari negara seutuhnya. Masyarakat adat dengan agama lokal masih kesulitan dalam hal regulasi administrasi seperti KTP dan surat nikah. Hak-hak terkait masyarakat adat belum terakomodasi sepenuhnya. Ketiga, perlindungan pembela HAM masyarakat adat.
“Masyarakat adat memiliki wilayah dan hukum adat. Ada menjadi hukum untuk diterapkan di wilayah adatnya,” kata Asep.
Andreas Doweng Bolo kemudian menjelaskan semua kebudayaan ingin tampil secara alamiah. Budaya datang dari manusia. Basis budaya itu ada pada manusia. Meskipun kemudian ada berbagai macan budaya. “Ruang budaya itu ruang rasa,” ucap Andreas, Ketua Pusat Studi Pancasila UNPAR.
Rama Zatriya Galih Panuntun sebagai perwakilan anak muda menjelaskan pentingnya memperluas circle pertemanan. Pertemuan dalam satu kegiatan, bertukar kontak, bisa membangun komunikasi intens. Berbincang mengenai konsep penghayat langsung dari penghayat bisa dilalui sambil tiduran, seminar panel bisa saja membosankan.
“Itu bisa lebih konkret untuk merobohkan tembok identitas kita,” tutur Rama dari Youth Interfaith Peacemaker Community.
Pemutaran film dilanjutkan setelah diskusi. Film “The Indigenous” yang disutradarai oleh Muhamad Sridipo dan Rizky Pratama Putra. Film tersebut menggambarkan perjalanan penelitian yang dilakukan oleh Samsul Maarif dari CRCS (Center for Religious & Cross-Cultural Studies) Universitas Gadjah Mada di masyarakat adat Daya Luhur di Cilacap, Jawa Tengah dan Dayak Iban di Kapuas Hulu, Kalimantan Barat.
Di awal film dijelaskan, dunia akademik melakukan kesalahan dengan melabeli masyarakat adat dengan kepercayaan mereka sebagai sinkretik atau sesat. Ternyata masyarakat adat menunjukkan resiliensinya dari praktik kehidupan keseharian dan kepercayaan mereka. (Respati Trah/Balad Kawit Seja)***
Komen yang ditutup, tetapi jejak balik dan ping balik terbuka.