METRUM
Jelajah Komunitas

Novelet Religi “Sang Tokoh”: Tabayun (8)

Karya Wina Armada Sukardi

DAMPAK viralnya tuduhan kepada Sang Tokoh merambat pula ke mesjid yang terletak di dekat rumahnya.
Mesjid tempat Sang Tokoh pun gaduh. Mereka terkejut dengan informasi yang lalu lalang di jagat media sosial. Tapi mereka cepat bertindak. Ketua baru yang diminta menunggu tiga bulan oleh Sang Tokoh ketika pemilihan DKM, sejak awal menilai semua serangan kepada Sang Tokoh tak berdasar. Cuma fitnah.
Dia pun giat melakukan pembelaan terhadap Sang Tokoh. Dia pulalah yang berinisiatif mengajak warga mesjid mengadakan acara mengecek langsung ke Sang Tokoh.

Pada hari dan jam yang telah ditentukan, Sang Toko duduk di tengah. Berjarak dua meter dari para pengurus dan jemaah mesjid yang duduk mengelilinginya. Semua orang boleh bertanya apapun menyanngkut kompetensi dan integritas Sang Tokoh.

“Jarang-jarang kita mengadili orang sakti,” kata ketua DKM santai. Hadirin tertawa.
Pengujian pun dilaksanakan. Dimulai dari pertanyaan dan permintaan dari para pengurus mesjid.
“Coba ini baca Al Quran, halaman 126,” kata seorang pengurua mesjid. Al quran dalam ukuran besar diletakan di rehal. Dan Sang Tokoh pun membacanya dengan fasih.
Pengurus lain meminta Sang Tokoh membacakan dua surat panjang untuk sholat. Ini juga dilaksanakan dengan baik oleh Sang Tokoh. “Fit and proper” ini dilalui Sang Tokoh dengan sangat mudah. Seperti profesor diberi pelajaran SD. Sedemikian mudahnya bagi Sang Tokoh, dia menganjurkan agar permihtaan membaca Quran, diuji dengan dirinya langsung mendemonstrasikan ada di halaman berapa surat atau ayat yang diminta. Semua yang datang setuju dan senang.
Apalagi Sang Tokoh dapat membuktikan benar ada di halaman berapa permintaan surat atau ayatnya. Padahal Qurannya ditukar-tukar agar tidak menimbulkan swasangka penunjukan itu sudah diatur lebih dulu.
Semua yang hadir kini yakin sudah ada maksud jahat dari yang menyebarkan tayangan buruk terhadap Sang Tokoh. Para warga mesjid disini akhirnya menjadi pendukung berat Sang Tokoh yang fanatik. Pendukung garis keras. Setelah melihat dengan mata kepala sendiri tak ada yang salah dengan Sang Tokoh, mereka menjadi murka kepada pihak yang menuduh Sang Tokoh.

Selama pengujian Sang Tokoh, direkam sebagai bukti. Rekaman itu disebarluas ke media sosial, beberapa dengan narasi yang menuduh kawan SMP- SMA Sang Tokoh justeru yang pembual. Dialah yang sesungguhnya diragukan tidak benar. Cuma pembohong yang mau mendapat simpatik di atas kehancuran orang lain. Sebaliknya yang berkeyakinan teman SMP-SMA yang betul, tidak terima pembelaan “para pendukung” Sang Tokoh. Terjadilah pembelahan di media sosial antara kubu yang anti Sang Tokoh dengan yang pro Sang Tokoh. Celakanya penjelasan masing-masing pihak ada yang memposting berlebihan dan dengan bahasa yang kasar.
Sang Tokoh sendiri tidak ikut memberikan komentar apapun. Menolak diwawancarai.

Dia sementara off dari ceramah apapun.
Dia mengembalikan seluruh kesimpulan kepada publik. Sedangkan kawan SMP-SMA Sang Tokoh bukan hanya tak berhenti menyerang Sang Tokoh, bahkan di lebih agresif lagi. Dia pun memperoleh lebih banyak pendukung.
Di tengah-tengah situasi seperti ini ada sebuah even organizer punya inisiatif untuk mempertemukan dan mengadu langsung keduanya. Motifnya tak lain mengeduk keuntungan. Pertemun dan “pertarungan” bakal disiarkan langsung oleh sebuah podcast.
“Kalau memang membongkar kebohongan dan kemunafikan, saya mendukung acara itu,” kata teman SMP -SMA Sang Tokoh.
“Setuju,” kata Sang Tokoh di tempat lain.
Dalam perundingan untuk acara itu, Sang Tokoh datang sendiri. Sedangkan kawan SMP-SMAnya diwakili oleh beberapa advokat sekaligus. Semula formatnya akan seperti “duel:” saling berhadapan dan saling bertanya dan minta melakukan langsung.
“Formatnya langsung saja saya seperti sebagai terdakwa,” usul Sang Tokoh. “Kan saya yang selama ini dituduh. Biarlan nanti ada Dewan Juri yang terdiri dari tujuh atau sembilan orang yang menguji. Boleh tanya dan meminta apa saja dari ”
“Menilainya bagaimana?” tanya salah seorang dari advokat pihak lawan.
“Sederhana saja: kalau saya tak mampu atau salah menjawab, satu kali saja, saya pada posisi yang kalah,” tegas Sang Tokoh. “Sebagai tambahan, boleh antara para pihak saling bertanya langsung dengan tiga pertanyaan.”
Negosiasi berikutnya soal bagi hasil pendapatan dari penyiaran podcast. Even organizer mengusulkan pembagian 40% : 60%. Jumlah 40% buat even organizer sedangkan 60% dibagi antata Sang Tokoh dan teman SMP-SMA Sang Tokoh, masing-masing mendapat setengah bagian dari 60%. Artinya masinh-masing dapat 30%. Semua dari hasil pemasukan. Sedangkan seluruh biaya penyelenggaran ditanggung even organizer.
“Deal!” kata advokat teman SMP-SMA Sang tokoh.
“Tidak setuju!” sergah Sang Tokoh mengejutkan yang hadir.
“Maunya gimana?” tanya advokat yang tadi.
Sang Tokoh sayup-sayup mendengar sebenarnya teman SMP- SMA mempersoalkan dirinya karena membidik keuntungan komersial, termasuk dari acara semacam ini yang sudah diperhitungkan temannya itu.
“Acara ini kan adu klarifikan. Nah, kalau saya keok, dari 60% itu, yang 55% silakan ambil. Sebaliknha kalau saya tidak terbukti seperti dituduhkan, maka sayalah yang berhak mendapat 55% itu. Begitu,” jawab Sang Tokoh.
“Kok besar sekali bedanya?”
“Begitulah, pemenang dan pecundang perlu dibedakan dengan tegas.”
Pihak teman SMP-SMA berunding di antara mereka. Rupanya mereka sudah mencapai kesepakatan.
“Kami usul, pemenang dapat 40% dan yang kalah 20%. Harga mati!”
“Kalau begitu acara ini gak jadi!” Sang Tokoh langsung menegaskan.
“Kenapa?” tanya wakil even organizer yang ikut perundingan.
“Ini bukan soal pembagian keuntungan. Ini soal pembuktian kebenaran. Sudah selayaknya siapapun yang berbohong atau tidak akurat, cuma memperoleh bagian kecil. Ya 5% itulah. Selebihnya hak yang terbukti benar. Ini prinsip. Bukan pembagian keuntungan!” Sang Tokoh tak mau menyerah.
“Tapi kan perlu ada toleransi dan empati dong.”
“Untuk yang terbukti bersalah, berbohong, sengaja atau tidak sengaja, tak ada toleransi dan tak ada empati,” suara Sang Tokoh tegas.
Para perunding diam. Suasana agak tegang.
“Ini final. Jika tidak sepakat, kita bubar. Acara tida jadi.” Tegas Sang Tokoh. Dia menarik nafas sebentar kemudian meneruskan berbicara, “Kalau gak jadi, saya akan buat acara sendiri!”
Setelah para negosiator dari pihak lain berunding mereka meminta waktu untuk memutuskan sampai besok.
Perundingan berhenti.

Tapi pagi-pagi, esok harinya, Sang Tokoh sudah mendapat kabar: teman SMP-SMAnya setuju!
Sesuai jadwal yang ditentukan acara pun dilaksanakan. Sebagaimana pengadilan pada umumnya, Sang Tokoh duduk di kursi meja yang ada di depannnya. Di depan meja itu duduk tujuh Dewan Juri. Dari tujuh juri itu tiga orang dipilih oelh pihak kawan SMP-SMA Sang Tokoh. Sementara tak ada satupun yang dipilih oleh Sang Tokoh, karena Sang Tokoh sudah menyatakan siapapun anggota Dewan Jurinya dia setuju. Siapapun jurinya Sang Tokoh merasa sama saja. Tak ada perbedaan. Dia siap menghadapi semuanya.
Di sebelah kanan duduk teman SMP-SMA Sang Tokoh. Di samping kiri ada layar besaendan di depan nya ada meja kecil. Di atas meja itu ada beberapa Al Quran dari beberapa penerbitan. Di bangku belakang agak jauh duduk penonton.

Waktu Sang Tokoh datang dia sempat menyodorkan tangan untuk bersalaman ke temannya SMP-SMAnya. Mereka memang bersalaman, tapi wajah temannya itu melengos ke arah lain.
Pembawa acara segera membuka acara. “Hadirin acara segera dimulai. Perlu diketahui acara ini diisaksikan oleh 23 juta penonton.” Berarti banyak uang masuk.
Sebagian hadirin bertepuk tangan.
Juri pertama meminta Sang Tokoh mengambil sebuah Al Quran dan membaca sebuah surat yang harus dicarinya di Al Quran itu.
Begitu Sang Tokoh mengambil Al Quran, dia memperlihatkan ke Dewan Juri. Masing -masing juri mengambil
Quran dari penerbitan yang sama dengan yang diambil Sang Tokoh.
Di depan Dewan juri memang juga disiapkan beberapa Qulran dari berbagai penerbitan. “Ada di halaman 69,” kata Sang Tokoh sebelum membuka Al Qurannya. Dan benar. Sang Tokoh membacanya dengan baik.
Permintaan kedua dari anggota juri pertama masih tetap memintan Sang Tokoh membaca setengah juz dar juz yang panjang. Dewan Juri menyebut nama juznya.
Sebelum membaca, Sang Tokoh mengintrupsi lebih dahulu.”Bolehkah sebelum saya membacanya, saya meminta sesuatu.” kata Sang Tokoh kepada juri.
“Silakan!” jawab Dewan Juri yang bersangkutan
“Bolehkan mata saya ditutup!” pinta Sang Tokoh. Suasasana agak gempar. Ini arena embuktian Sang Tokoh benar atau tidak benar, dia bisa baca Al Quran atau tidak. Eh, dia malah minta ditutup matanya. Rupanya Sang Tokoh sudah menyediakan dan membawa tutup matanya. Dia minta salah satu dari yang hadir menjadi relawan menutup matanya.
Tak ada pertanyaan yang tidak dapat dijawab dengan baik, termasuk ketika dia diajak berbicara bahasa Arab, Sang Tokoh mampu melayaninya dengan baik.
“Coba Saudara jelaskan siapa Umar bin Kathab!” permintaan juri kelima. Sang Tokoh menjelaskan dengan lancar, diiringi sedikit becanda.

Selama proses ini Sang Tokoh seakan mendapat bimbingan dari Zat Yang Maha Tinggi. Tak heran seluruh jawabannya luar biasa.
Sampai Dewan Juri keenam dan ketujuh merasa sudah tidak perlu melakukan pertanyaan atau permintaan lagi. Mereka menilai dari jawabannya, jelas tuduhan dan tudingan kepada Sang Tokoh tidak benar.
“Kami menyatakan terduga memiliki kapasistas dan integritas jauh lebih dari cukup. Benar yang bersangkutan bukan sekedar mempunyai pengetahuan yang munpuni, tapi juga di atas rata-rata.”

Temen SMP-SMA Sang Tokoh yang semula ingin melakukan tanya jawab, juga menyerah. Dia telah menyaksikan dengan mata kepala sendiri kehebatan Sang Tokoh. Dia kini percaya Samg Tokoh tidak berbohong. Sang Tokoh memang luas biasa. Tidak munafik.
“Punya kemampuan yang hebat,” kata temen Sang Tokoh.
“Tanpa malu saya menyatakan saya telah mendapat informasi yang salah. Begitu juga saya telah menyebarkan dugaan yang salah. Saya terlalu berani menyebarkan. Saya mengaku gegabah.”
Dia melanjutkan,”Dengan ini saya mencabut semua tudingan saya. Saya juga mohon maaf atas kesalahan saya,” ungkapnya.
Dia menghampiri Sang Tokoh. Keduanya berpelukan.***

(Bersambung)

komentar

Komen yang ditutup, tetapi jejak balik dan ping balik terbuka.