Saung Angklung Udjo, Selamatkan Warisan Udjo Ngalagena
DI balik kemegahan suara angklung yang membahana saat dimainkan secara massal, ternyata terdapat persoalan besar yang terselip. Nama besar Saung Angklung Udjo yang berada di balik kebanggaan itu didera masalah internal. Keturunan Udjo Ngalagena berselisih.
Udjo Ngalagena pada tahun 1980-an/DOK.PR
PADA 16 November 2010, masyarakat Indonesia patut berbangga hati. Sidang ke-5 Inter-Governmental Committee UNESCO di Nairobi, Kenya memasukkan angklung dalam representatif warisan budaya nonbenda (intangible) dari Indonesia.
Nama Saung Angklung Udjo tidak terlepas dari pencapaian tersebut. Lewat sejumlah rangkaian upaya pelestarian sejak puluhan tahun silam, angklung berhasil membuktikan diri. Tidak hanya mendapat tempat di tanah sendiri, tetapi juga di ranah internasional.
Sesuai dengan namanya, Saung Angklung Udjo dirintis oleh seorang pria bernama Udjo Ngalagena (almarhum) bersama istri Uum Sumiati (almarhumah). Mereka merupakan sosok yang mencintai pendidikan anak dan seni tradisional Sunda.
Mereka, yang dikaruniai 10 anak, kemudian merintis upaya pelestarian budaya sejak dekade 1960 lewat sebuah paguyuban di kawasan tempat mereka tinggal, Jalan Padasuka Nomor 118, Kota Bandung.
Gagasan ini juga berkaitan dengan pembangunan pariwisata berbasis komunitas. Mereka menyajikan pertunjukan kesenian yang didominasi oleh elemen utama berupa bambu. Konsep seni pertunjukan dipadukan dengan unsur pendidikan lewat cara yang ringan dan menyenangkan.
Respons publik makin positif atas keberadaan Saung Angklung Udjo. Dalam perkembangannya, organisasi pengelolaan pun bertransformasi.
Terakhir, paguyuban yang dirintis Udjo dan Uum ini berubah bentuk menjadi sebuah perseroan terbatas. Sepeninggal Udjo pada tahun 2001, pengelolaan tetap ada di lingkungan keluarga utama, yaitu 10 anak beserta keturunannya.
Nama Saung Angklung Udjo pun terus melejit. Berbagai pertunjukan digelar di dalam dan luar negeri. Panggung utama di Padasuka juga tak pernah sepi dari pertunjukan saban hari.
Friksi
Belakangan, perusahaan yang dikelola keluarga Udjo itu ternyata didera persoalan. Konflik internal terjadi dan melibatkan sejumlah anggota keluarga.
Persoalan itu menyangkut sejumlah hal, mulai dari hak waris, hak atas perusahaan, pengelolaan keuangan, aset, hingga berbagai aspek yang berkaitan dengan operasional perusahaan.
Friksi itu tersebar di tengah masyarakat umum, terutama di media sosial. Daeng Oktoviandi yang lebih dikenal dengan Daeng Udjo, anak kedelapan pasangan Udjo-Uum, menulis berbagai kekecewaannya di dinding akun Facebook miliknya.
Ia menyatakan kekecewaannya terhadap pengelolaan manajemen perusahaan Saung Angklung Udjo yang kini dipimpin oleh sang adik, Taufik Hidayat Udjo. Daeng mendapat dukungan dari Mutiara Udjo, putri bungsu Udjo-Uum. Perselisihan di Saung Anglung Udjo ini memang mengerucut pada tiga anak paling buncit Udjo Ngalagena.
Dari perseteruan itu, banyak hal yang mengemuka. Mulai dari desakan agar keluarga mundur dari manajemen dan perusahaan dikelola secara profesional, transparansi keuangan, hingga banyak hal yang sebenarnya menjadi masalah internal keluarga. Upaya membawa masalah ini ke pengadilan bahkan menjadi salah satu opsinya.
Taufik Hidayat Udjo, yang saat ini menjabat sebagai Direktur Utama PT Saung Angklung Udjo, mengakui bahwa tiap-tiap anggota keluarga memiliki hak atas waris sekaligus operasional perusahaan. Oleh karena itu, menjadi hal yang wajar jika tuntutan atas hak itu mengemuka.
”Bagaimanapun juga, itu hak beliau. Beliau punya (hak) waris di situ. Jadi, menurut saya, memang harus beliau mengambil hak,” ujar Taufik, anak kesembilan Udjo-Uum itu di Pikiran Rakyat, Rabu 17 Oktober 2018. Pernyataannya menyanggah tuduhan sang kakak, Daeng.
Hanya, di sisi lain, dia menuturkan bahwa hingga kini belum ada titik temu antara sejumlah pihak yang terlibat, baik dari waktu, pola penyelesaian hak, maupun angka yang harus disiapkan.
”Menurut saya, terlalu banyak yang dipermasalahkan dan sulit untuk mengikuti keinginannya. Kita terus terang saja, jadi serbasalah. Mau memberi tuntutan tidak mampu (karena memang) secara finansial tidak punya (uang). Tidak dikasih juga, itu haknya,” katanya.
Persoalan yang dimaksud tidak sekadar memenuhi hak, tetapi juga tetap menjaga operasional perusahaan sekaligus hajat hidup orang-orang yang terlibat di dalamnya.
Saat ini, tercatat sedikitnya 130 karyawan yang bekerja di lingkup internal. Namun, secara keseluruhan, jumlah orang yang terlibat dalam operasional mencapai 1.000 orang.
Dia juga sepakat bahwa persoalan harus segera diselesaikan agar tidak menjadi makin rumit di kemudian hari.
”Bagaimanapun, ini menjadi bom waktu. Penyelesaiannya memang harus bisa, siapa yang memegang hak ini mendapatkan haknya. Kesulitan kita untuk beberes ini, perlu waktu dan perlu biaya,” tuturnya.
Hal senada dikemukakan Daeng Udjo. Upaya di luar jalur pengadilan dinilai lebih masuk akal untuk ditempuh saat ini.
”Kalau ke pengadilan, bukan saya takut kalah, ini semua kalah, baik dari segi materi, ataupun dari segi kerukunan keluarga, ataupun dari segi image orang terhadap saung, image orang terhadap keluarga Udjo, semua kalah, hancur semua. Betapa mengerikannya,” katanya.
Dia pun sepakat bahwa semua upaya yang akan dicoba pada dasarnya bertujuan untuk menyelamatkan Saung Angklung Udjo dan tidak berurusan dengan hukum di kemudian hari.
”Sekarang, saya posisinya enggak tahu harus bagaimana menyelamatkan saung, menyelamatkan semua. Bukan hanya saya pribadi sebetulnya karena dengan menyelamatkan ini secara hukumnya, secara agreement-nya, perjanjiannya kemudian dituliskan dan menjadi aman, tidak ada bentrokan antarkeluarga. Itu keuntungannya untuk siapa? Untuk semua,” ujarnya.
Upaya mediasi
Permasalahan ini membuat kaget Ida Hernida, Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jawa Barat. Pemerintah selama ini menjadi mitra Saung Angklung Udjo dalam upaya pelestarian angklung dan kesenian daerah.
Ia menyarankan agar masalah ini dapat diatasi secepatnya karena menjadi salah satu etalase seni bambu di Jawa Barat.
Ia juga menyatakan bahwa pemerintah bersedia memediasi para pihak yang tengah berkonflik sembari mengusulkan agar pihak Saung Angklung Udjo untuk dikelola lebih profesional.
Pakar hukum Universitas Padjadjaran Indra Perwira berpendapat serupa. Ia pernah diminta untuk memberikan opini hukum terkait dengan persoalan yang membelit Saung Angklung Udjo.
Pendapat hukum itu dilakukan dalam upaya mempertahankan Saung Angklung Udjo sebagai kekayaan budaya Jabar.
Indra juga menyarankan agar pengelolaan Saung Angklung Udjo diserahkan kepada profesional. Cara ini bisa menjadi solusi alternatif agar Saung Angklung Udjo—sebagai sebuah perusahaan—terpisah dengan keluarga. Harapannya, bisnis ini dapat berjalan optimal.
Nasib Saung Angklung Udjo ke depan sangat bergantung pada itikad semua pihak yang terlibat. Semoga saja, kerikil ini tidak lantas menghambat jalan panjang yang sudah dibangun.
Profil Udjo Ngalagena
Nama: Udjo Ngalagena
Panggilan: Mang Udjo
Kelahiran: Bandung, 5 Maret 1927
Agama: Islam Isteri: Uum Sumiati (alm):Holisoh
Pendidikan: SGA. Bandung (1950)
Karier:
- guru SD. Bandung 1941-5 I
- guru SGB Cicalengka 1951-52)
- guru SGBN Bandung (1952-59)
- mendirikan Saung Angklung Udjo (1966)
- tenaga ahli Kanwil Depdikbud Jabar (l967-78)
- guru SPGN II Bandung (1978-81); staf seksi tenaga teknis, Bidang Kesenian
Kanwil Depdikbud Jabar (1981-85)
Penghargaan:
- Saung Angklung Udjo terpilih sebagai Laboratorium Pendidikan dan Kesenian Daerah ( Saung Angklung Udjo ditunjuk sebagai salah satu objek wisata (1971)
- Beasiswa dari Gubenniur DKI Jakarta untuk mengadakan studi banding ke Thailand (1971)
- Ditugaskan oleh Menlu RI untuk memimpin rombongan muhibah tenaga ahli angklung ke Solomon (1983); Adikarya dari Menparpostel (1993)
- Berbagai sebutan bisa dilekatkan ke pada Mang Udjo. Dia seorang seniman, pendidik, bahkan aktivis angklung.
- Saung Angklung Udjo yang didirikannya pada 1966, melalui pasang-surut zaman tetapi bertahan hingga kini. Di komunitas serba-bambu itu, Mang Udjo bukan saja berpentas, membuat angklung, menerima tamu, tetapi juga tak henti mencetak seniman handal.
- Namanya mulai di kenal pada 1955 ketika dia harus menggantikan gurunya, Daeng Soetigna, mengajar para bocah untuk bermain angklung dalam rangka Konferensi Asia-Afrika di Bandung.(Sumber: Pikiran Rakyat, 22/10/2018)***