MUNGKIN banyak di antara kita yang tak mengenal tarian yang satu ini. Pasalnya, tari ini sempat dilarang ditarikan saat pendudukan Jepang di Indonesia.
Tarian ini begitu unik, karena meniru gerakan belibis langka, Wo dan Unguk. Tarian penuh mistis ini diberi nama Tari Sining. (Wo adalah sejenis belibis atau itik hutan yang ukurannya lebih besar dari itik biasa, bulunya indah, berwarna warni, hitam mengkilat).
Warga Gayo, Aceh Tengah, mengenalnya sebagai tarian sakral dan penuh makna, untuk menghormati raja-raja. Tari Sining terakhir kali dimainkan tahun 1942 di pinggiran Danau Lut Tawar, Aceh Tengah, saat persembahan rumah adat dan penobatan Raja Syiah Utama.
Saat Jepang berkuasa, tarian ini dilarang tampil, mungkin khawatir terhadap pengaruhnya yang konon mistis dan menebarkan magis.
Penarinya adalah pemuka adat dengan keahlian khusus, karena tarian Sining ini harus ditarikan di atas bara lintang (tiang pancang membangun rumah), yang ketinggiannya 8 meter dari tanah.
Tiang tempat menari ini ukuran lebarnya hanya 10 sentimeter sampai 15 sentimeter saja. Di sanalah kemampuan penari diuji dan hanya bisa dilakukan oleh tetua adat, dengan keahlian khusus, tidak semua orang dapat melakukanya.
Namun, tari ini ini juga bisa dimainkan di atas dulang atau sejenis meja panjang terbuat dari kuningan dan tembaga. Dilakukan ketika tradisi Nik ni Reje (penobatan raja) dan munirin reje (memandikan raja). Dulangnya harus berjumlah tujuh dan upacara sakral ini dilakukan dengan ritual khusus.
Setelah tari ini dianggap punah, Pemerintah Aceh Tengah mencoba menelusuri kembali keberadaan tarian ini. Penelitian dilakukan oleh Salman Yoga dan kawan-kawan sejak Maret 2016, dengan menjumpai beberapa saksi yang kala itu masih hidup, salah satunya Arifin Banta Cut, cucu Raja Syiah Utama.
Arifin Banta Cut adalah pengajar di Universitas Gajah Putih. Saat Tari Sining terakhir dimainkan pada 1942 Arifin Banta baru berumur 10 tahun. Dia ikut menyaksikan dan mampu memberikan keterangan lengkap mengenai tari sining ini kepada para peneliti.
Setelah penelitian, Ana Kobath seorang pelatih tari menciptakan kembali alur gerak dan mempraktekkannya di hadapan Arifin Banta. Dan setelah beberapa kali uji coba, hasilnya sempurna. Tari Sining mampu dihidupkan kembali dari kepunahan dan dipentaskan ke publik, saat penobatan Bupati Aceh Tengah, Shabella Abubakar dan wakilnya Firdaus, awal Januari 2018 lalu di pendopo Bupati Aceh Tengah.
Sayangnya, sosok yang menyaksikan kakeknya dinobatkan sebagai raja dengan tarian Sining ini, Arifin Banta Cut telah meninggal dunia pada 31 Juli 2018 lalu dalam usia 86 tahun. Meski Arifin Banta telah tiada namun ia telah mewariskan pengetahuan dan cerita leluhur untuk kita di masa modern ini.
Salman Yoga, mengungkapkan walau tak persis seratus persen seperti tarian aslinya, terutama terkait unsur magis di dalam gerakannya, tapi hasil penelitian berkat bantuan Arifin Banta, Tari Sining kini dapat dinikmati kembali oleh warga.
Tak hanya itu, tari Sining Gayo pada September 2018 lalu resmi diakui sebagai tarian tradisional dari Aceh Tengah. Tarian yang menceritakan tentang pembangunan rumah adat Gayo yang unsur-unsur gerakannya seakan burung yang membangun sarangnya yang mengandung makna dan filosofi sebagai simbol kekuatan bangunan, keteduhan bagi pemilik dan penghuninya serta sebagai tempat berkumpulnya anggota keluarga.(Vey si Sendal Jepit)***
Komen yang ditutup, tetapi jejak balik dan ping balik terbuka.