METRUM
Jelajah Komunitas

Arafah: Renungan dan Pengakuan Tulus

Oleh: Tatang Muttaqin, S.Sos., M.Ed., Ph.D*

HARI Sabtu, 9 Dzulhijjah 1440 H yang bertepatan dengan 10 Agustus 2019 miladiah telah menjadi hari terpenting bagi sekira 3 juta jamaah haji yang berkumpul di padang Arafah untuk berdiam diri sejak menjelang dzuhur sampai terbenam matahari yang dikenal dengan wukuf. Wukuf yang esensinya berkontemplasi merupakan puncak dari rangkaian ibadah haji sehingga Nabi bersabda “Haji adalah wukuf di Arafah” (HR Tirmidzi). Tanpa wukuf maka hajinya menjadi tidak sah.

This image has an empty alt attribute; its file name is tatang.jpg
Tatang Muttaqin.*

Demikian pentingnya berdiam diri dan berkontemplasi sehingga menjadi episentrum ibadah haji. Untuk itu, segala daya dan upaya disiapkan setiap jamaah haji agar bisa optimal hajinya, wabil khusus wukuf di Arafah. Sejatinya wukuf merupakan ikhtiar untuk mengaca dan mengenal diri sendiri agar mampu mengenal Sang Ilahi sehingga haji yang merupakan jalan menuju puncak (marhalah) dalam rukun Islam, di mana wukuf menjadi klimak aktivitas ibadah haji.

Dengan demikian, untuk memberi dukungan moril serta mengingat perjuangan para jamaah haji berdiam diri di teriknya padang Arafah, umat Islam yang tidak berhaji disunatkan untuk berpuasa Arafah di tempatnya masing-masing. Di sinilah relevansi disyariatkan puasa sunat Arafah sebagaimana disebutkan di dalam hadits riwayat Muslim bahwa ”puasa pada hari Arafah akan menghapus dosa setahun dan sesudahnya”.

Sejak dalam perjalanan dari Mina menuju Arafah, jamaah haji sudah mulai mempersiapkan diri lahir batin dengan lantunan talbiyah dan takbir sebagai wujud kesediaan untuk memenuhi panggilanNya dan sekaligus mengagungkannya. Jika ibadah haji dibaratkan mu’tamar umat sedunia, maka berdiam diri di Arafah merupakan sesi pleno paling penting sehingga semua peserta mu’tamar harus berada di padang Arafah.

Selama berdiam di padang Arafah, semua jamaah haji dituntut untuk berkonsentrasi secara tulus untuk beribadah dan mengingat Allah SWT dari mulai sholat dhuhur dan ashar dengan disatukan (jama’), serta khutbah sebagai sesi berbagi pengetahuan dan upaya saling mengingatkan. Setelah itu, tersedia waktu yang cukup panjang yang diperuntukan untuk berkontemplasi dan berkomunikasi dengan Allah SWT lewat dzikir, membaca Al-Quran serta berdo’a. Wukuf di padang Arafah merupakan waktu yang paling afdhal untuk berdo’a di tempat yang utama.

BACA JUGA:  Sejarah Kitakyushu, dari Kastil Kokura Hingga Jadi Basis Kawasan Industri (Bagian-2)

Berdiam diri dan berkontemplasi di padang Arafah merupakan muktamar terbesar umat Islam yang sekaligus simbol untuk mengingatkan jamaah haji dan juga seluruh umat Islam akan hari dikumpulkannya seluruh manusia lintas zaman dan generasi di padang Mahsyar kelak. Ketika berkontemplasi mengingat padang Mahsyar tersebut, setiap jamaah fokus menyiapkan dirinya untuk menyambut kedatangan hari Arafah dengan beragam amal shaleh dengan sepenuh konsentrasi (khusu’).

Berdiam di dalam tenda di padang Arafah di musim panas akan sangat terasa sangat berat dan melelahkan. Sorotan matahari yang tajam di atas suhu berkisar 42 derajat celcius yang secara riil terasa mencapai 50 derajat celcius membutuhkan stamina yang kuat dan kesabaran yang luar biasa agar tetap fokus beribadah serta menghindari hal-hal yang tak bermanfaat, termasuk mengobrol dan bercanda. Kontemplasi yang penuh konsentrasi dalam medan yang tak mudah menuntut kesabaran sehingga mampu mendekatkan para jamaah haji dengan bayangan dan empati terhadap beratnya perjuangan dan pengabdian Nabi dan para sahabatnya menunaikan haji di zaman yang tentu lebih sulit.

Jika kita selami lebih dalam makna di balik berdiam diri dan berkontemplasi di stadion Arafah ini mengisyaratkan bahwa para jamaah haji berhenti sejenak dari zona fisik menuju zona ruhani sebagai jalan (tariqah) ”ngupoyo sangkan paraning urip sampurnane dumadi”. Arofah berasal dari kata ”arafa” yang artinya mengenal, sejalan dengan kalimat hikmah ”Man arafa nafsah, arafa rabbah” atau barangsiapa yang mengenal dirinya (berkontemplasi) akan mengenal Tuhannya.

Secara sederhana mirip dengan konsep sangkan paraning urip sampurnane dumadi. Sangkan paran merupakan pengetahuan tentang dari mana kita berasal dan ke mana tujuan kita serta menyelami hikmah menuju jalan pulang sebagaimana pertanyaan Allah SWT kepada Nabi Ibrahim AS dalam surat At-Takwir ayat 26, ”mau pergi ke mana?” (fa aina tadzhabûn). Nabi Ibrahim saat itu merespon dengan penuh keyakinan, ”sesungguhnya aku pergi menghadap Tuhanku yang memberi petunjuk padaku” (innî dzâhibun ilâ rabbî sayahdîn).

Bapak Tauhid, Nabi Ibrahim AS dengan lugas menunjukkan hasil kontemplasinya bahwa tujuan akhir hidup manusia bukan kekayaan, pangkat, jabatan atau popularitas, namun tujuan hidup sejati adalah keridaan Allah SWT. Di sinilah para jamaah haji diinternalisasi melalui ritual thawaf untuk terus berputar mengelilingi kabah selama tujuh putaran sehingga seluruh orientasi paska haji adalah keridaanNya.

BACA JUGA:  Pj Wali Kota Bandung Ingatkan Jemaah Jaga Kesehatan Jelang Berangkat ke Tanah Suci

Setiap ritual selalu memiliki dimensi yang tidak tunggal untuk ibadah ansich, namun juga menjadi bagian dari ikhtiar untuk memahami dari mana dulu kita berasal, dan akan kemanakah hidup kita ini nantinya. Wukuf di Arafah juga memiliki dimensi verikal kepada Allah SWT yang juga berdimensi horizontal kepada sesama manusia.

Kedua dimensi tersebut mengingatkan agar kita tidak lupa dengan asal usul kita sehingga terus beribadah padaNya dan selalu mengingat besarnya jasa dan pengorbanan orang lain, wabil khusus orang tua yang telah menjadi perantara (wasilah) sehingga kita terlahir ke dunia dan juga menunjukkan jalan menuju ni’mat iman dan Islam serta beragam kebaikan lainnya. Tanpa bantuan mereka kita belum tentu mampu bertahan dan besar bahkan berhasil sehingga mampu mengikuti mu’tamar akbar umat Islam sedunia ini.

Dalam konteks individu, realitas insani menjadi sempurna karena mampu memadukan jasmani dan ruhani. Jasmani saja berarti mayit dan rohani saja berarti mahkluk halus. Bagaikan sangkar dengan dengan burung, jika sangkar sudah rusak maka burung akan terlepas. Pesan itulah yang juga dapat diselami dari hari Arafah, di mana para jamaah haji berjibaku dengan segenap kekuatan jiwa dan raganya untuk mampu melewati beratnya berkontemplasi di padang Arafah dengan sepenuh kekhusu’an.

Berjuta jamaah haji dari beragam umur, srata sosial ekonomi dan latar belakang pendidikan bahkan beragam kewarganegaraan dengan bahasa dan budaya yang bervariasi memerlukan manajemen yang terencana dan apik dan juga mensyaratkan kebesaran hati dan ekstra kesabaran. Ketika semua jamaah berkumpul pada titik yang sama, maka kapasitas tata kelola saja tidak cukup namun juga keinsafan semua jamaah untuk terus menjaga irama kekhusu’an dan kesabaran menjadi keniscayaan.

BACA JUGA:  Sketsa Serba-Serbi Salat Subuh (26): Haji

Tidaklah berlebihan jika di balik manasik haji yang perlu merujuk pada standar fiqih yang mu’tabarah juga dibutuhkan kesadaran etik yang lebih mendasar, yaitu sabar dan kesadaran untuk saling menghormati (mutual respect) serta senantiasa mengutamakan kerja sama (cooperative) sehingga tak terjadi perbuatan sia-sia. Bukan hanya menghindari pertengkaran, bahkan berbantah-bantahan pun harus dihindari karena dapat menurunkan kualitas ibadah haji.

Kesadaran etik tersebut akan mampu menjadi peneduh batin dari panasnya udara di tanah suci sekaligus sulitnya kepastian waktu dalam setiap tahapan pelaksanaan ibadah haji sehingga rela mengantri dengan barisan yang rapi. Jika kepatuhan terhadap etika mendasar dalam menunaikan haji tersebut diinternalisasi dan dipraktekkan dalam keseharian setelah menunaikan haji, baik di dalam keluarga maupun dalam masyarakat, maka harmoni sosial akan terwujud.

Di sinilah para alumni ibadah haji dituntut untuk bukan hanya mempraktekkan kebiasaan selama berhaji namun berkontemplasi untuk menggetuktularkannya dalam masyarakat. Sehingga ketibaan jemaah haji ke tanah air akan membawa kemabruran yang dicirikan adanya perubahan secara individual dan komunal. Perubahan mendasar inilah yang merupakan indikator keberhasilan haji secara umum dan wukup secara khusus sehingga mampu untuk mengantar pulang dengan penuh kebaikan, ngupoyo sangkan paraning urip sampurnane dumadi atau husnul khatimah. Insya-Allah.***

*Penulis, Direktur Aparatur Negara Kementerian PPN/Bappenas.

komentar

Komen yang ditutup, tetapi jejak balik dan ping balik terbuka.