Komunikasi Politik di Persimpangan: Ketika “Ndasmu” dan “Kau Yang Gelap” Jadi Sorotan
KOMUNIKASI politik yang blak-blakan, spontan, dan terkadang dinilai tidak beretika semakin sering dipertunjukkan sebagian pejabat Indonesia dan AS. Apakah ini indikasi kemunduran komunikasi politik? Apa dampaknya?
Dilansir dari VOA, belakangan ini, Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, kembali menjadi sorotan publik karena pernyataannya. Saat berpidato dalam acara puncak HUT Partai Gerindra di Sentul, Bogor, pada Sabtu (15/2/2025), ia melontarkan kata “ndasmu.” Ungkapan dalam bahasa Jawa yang berarti “kepalamu” ini dalam konteks tertentu dapat terdengar kasar atau merendahkan, sering digunakan sebagai bentuk ketidakpercayaan, sindiran, atau ejekan.
Sebagai Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo beberapa kali mengucapkan kata tersebut, termasuk saat menanggapi kritik terhadap program Makan Bergizi Gratis (MBG), salah satu janji kampanyenya.
“Negara kita sangat besar. Kita sudah mulai program ini untuk ratusan orang, tetapi masih ada yang bilang belum banyak. Kalau tidak ada wartawan, saya akan bilang ‘ndasmu’,” ujarnya, disambut gelak tawa peserta.
Ia juga menanggapi kritik terhadap struktur kabinetnya yang dianggap terlalu besar dengan mengatakan, “Ada yang bilang kabinet ini terlalu gemuk… ndasmu.”
Tak hanya Prabowo, pejabat lain pun pernah membuat pernyataan serupa. Ketua Dewan Ekonomi Nasional, Luhut Binsar Pandjaitan, pernah merespons kritik masyarakat tentang situasi ekonomi yang sulit dengan mengatakan, “Kau yang gelap!” sebagai tanggapan terhadap tagar #IndonesiaGelap.
Fenomena ini memunculkan pertanyaan, apakah gaya komunikasi pejabat yang semakin lepas dari norma merupakan strategi politik untuk mendekatkan diri ke publik, atau justru berisiko memperlebar jurang antara pemerintah dan masyarakat?
Pengamat: Kritik Harusnya Ditanggapi dengan Dialog, Bukan Sindiran
Firman Kurniawan, pakar komunikasi digital dari Universitas Indonesia, menilai bahwa penggunaan bahasa yang cenderung kasar oleh pejabat bukan sekadar soal gaya komunikasi, tetapi juga menunjukkan bagaimana pemerintah berinteraksi dengan rakyatnya.
“Dalam teori maupun praktik, pemerintah membutuhkan partisipasi masyarakat. Jika dialog justru ditutup dengan pernyataan yang tidak pantas, masyarakat akan menarik diri, dan ini bisa mengurangi partisipasi publik,” jelasnya.
Ia menegaskan bahwa kritik adalah bentuk keterlibatan masyarakat dalam pemerintahan, bukan ancaman yang harus direspons dengan sindiran atau sikap defensif.
“Kritik adalah wujud kepedulian masyarakat terhadap pemimpinnya. Jika pemimpin tidak nyaman dengan kritik dan malah membalasnya dengan makian, itu menunjukkan sikap resistensi,” lanjut Firman.
Ia juga mengingatkan bahwa normalisasi gaya komunikasi seperti ini dapat merusak kepercayaan publik terhadap institusi negara. Salah satu dampaknya adalah meningkatnya sikap apatis dan keengganan masyarakat untuk berpartisipasi dalam urusan pemerintahan.
“Kita bisa melihat munculnya tagar seperti #KaburAjaDulu, yang mencerminkan rasa frustrasi. Ketika masyarakat merasa aspirasinya tidak diterima, mereka akan mencari alternatif lain,” tambahnya.
Peran Media dalam Memberitakan Pernyataan Pejabat
Di tengah tren komunikasi pejabat yang semakin bebas dan terkadang kasar, media menghadapi dilema: apakah harus menyiarkan pernyataan pejabat secara utuh, atau memberikan konteks agar tidak terjadi kesalahpahaman?
Rossalyn Asmarantika, pengamat jurnalistik dari Universitas Multimedia Nusantara, mengkritisi kecenderungan media yang lebih menyoroti aspek sensasional dalam pemberitaan pejabat.
“Misalnya, ada pejabat yang mengeluarkan pernyataan kontroversial atau tidak pantas, lalu media langsung menyebarkannya tanpa konteks yang jelas. Padahal, seharusnya ada upaya untuk menjelaskan latar belakangnya,” katanya.
Ia memahami bahwa di era digital, persaingan mendapatkan perhatian publik sangat ketat. Media sering kali terjebak dalam pola clickbait demi menarik pembaca.
“Kini, banyak orang mengonsumsi berita secara insidental melalui media sosial. Untuk menarik perhatian di tengah banjir informasi, media cenderung mengangkat hal-hal yang sensasional,” jelasnya.
Namun, Rossalyn menekankan bahwa media tetap memiliki tanggung jawab dalam mengemas berita agar publik dapat memahami konteksnya dengan benar.
Pentingnya Juru Bicara dalam Komunikasi Pemerintah
Dalam kondisi ini, baik pemerintah maupun media memiliki peran besar dalam menjaga kualitas komunikasi publik. Firman menegaskan bahwa pemimpin bisa tetap bersikap tegas dan transparan tanpa harus kehilangan etika dalam berbicara.
“Gaya komunikasi yang tidak formal bukan berarti boleh menggunakan makian atau melecehkan pendapat publik,” ujarnya.
Ia juga menyoroti pentingnya peran juru bicara pemerintah dalam menyampaikan pesan kepada masyarakat dengan lebih baik dan profesional.
“Pemerintah sudah memiliki juru bicara yang bertugas menjelaskan kebijakan kepada masyarakat yang beragam. Gunakanlah mereka untuk membangun partisipasi publik secara positif,” tuturnya.
Di sisi lain, media harus berperan sebagai penyampai informasi yang bertanggung jawab. Jika hanya menampilkan pernyataan kontroversial tanpa konteks yang memadai, media justru berisiko menciptakan kebingungan di masyarakat.
“Media tidak bisa mengontrol bagaimana masyarakat menafsirkan berita. Namun, dengan memberikan konteks yang jelas, media dapat membantu publik memahami pernyataan pejabat dengan lebih baik,” pungkas Rossalyn. (M1-VOA/th/em)***
Komen yang ditutup, tetapi jejak balik dan ping balik terbuka.