Luar Biasa! Tommy Chen Selesaikan Ultra-Maraton Lingkar Arktik dengan Tidur Hanya 1-3 Jam Sehari
TAIWAN, ROC (METRUM) – Pelari ultra-maraton asal Taiwan, Tommy Chen (陳彥博), kembali mencetak prestasi luar biasa dengan menyelesaikan tantangan berat sejauh 617 kilometer dalam ajang 6633 Arctic Ultra, menjadikannya atlet Asia pertama yang sukses menuntaskan lomba ekstrem ini sejak pertama kali digelar. Dalam sebuah seminar usai kepulangannya ke Taiwan pada Rabu (9/4/2025), Chen mengungkapkan, “Tubuh saya benar-benar berada di batas tertinggi kemampuan manusia.”
Butuh waktu 7 hari 23 jam 19 menit bagi Chen untuk menaklukkan medan ekstrem Lingkar Arktik. Pencapaian ini menempatkannya dalam sejarah sebagai atlet Asia pertama yang mampu menyelesaikan lomba dalam 18 tahun penyelenggaraannya. Selama lomba, ia harus bertahan dalam suhu hingga minus 30 derajat Celsius, menembus angin kencang dan salju tebal, serta bertahan dengan hanya tidur 1-3 jam per hari. Meski kelelahan fisik dan mental, serta banyak peserta lainnya mundur karena hipotermia, tekad kuat Chen membuatnya tetap bertahan hingga garis finis.
Jalur yang ia tempuh penuh bahaya, dengan suhu malam hari mencapai -42°C, angin kencang, hingga badai salju yang membuat setiap langkah menjadi ujian tersendiri. Bahkan, peserta diwajibkan menjalani pemeriksaan medis berkala untuk memastikan keselamatan.
“Medan kali ini jauh lebih berat dibanding pengalaman saya sebelumnya. Sejak hari pertama, saya sudah merasa takut. Bayangkan harus beradaptasi dari suhu -9°C ke -30°C hanya dalam waktu 12 jam—itu menyiksa,” ungkapnya.
Chen juga mengaku sebagai peserta yang paling sensitif terhadap dingin. Ia harus mengenakan 3-4 lapis pakaian agar tetap hangat, berbeda dengan peserta lain yang cukup dengan dua lapis. Salah satu momen tersulit terjadi pada malam keempat, saat ia harus menempuh 120 km tanpa henti. Ketika menyentuh lapisan es, seluruh perlengkapannya membeku, dan ia hanya sempat berhenti selama 3 menit untuk makan. Dalam waktu singkat, suhu tubuhnya menurun drastis, menyebabkan jari-jari tangan dan kaki terasa membeku. Ia pun harus terus berlari untuk memulihkan kehangatan tubuhnya.
Sol sepatu Chen juga membeku, menghilangkan fungsi bantalan, sehingga setiap langkah terasa menyakitkan. Ia harus berhenti setiap 3 km karena nyeri di punggung. “Saya terus menggertakkan gigi untuk maju. Banyak peserta mundur karena kehilangan panas tubuh atau terganggu secara mental. Saya sendiri hampir menyerah. Fisik saya masih sanggup, tapi mental saya benar-benar diuji,” ujarnya.
Dalam keheningan malam, ia sempat meluapkan emosi dan kemudian mulai menata diri kembali. “Saya hanya perlu terus melangkah. Saya tidak ingin semua persiapan dan pengorbanan sia-sia. Di saat-saat terberat itu, saya merasa bangga bisa bertahan. Menemukan alasan untuk terus maju di tengah penderitaan adalah kunci.”
Dengan membawa beban ransel 25 kg dan persediaan logistik terbatas, Chen kehilangan 8 kg berat badan selama lomba. Ia juga menyampaikan rasa syukur atas dukungan dari banyak pihak yang memberinya kekuatan selama perjalanan berat tersebut.
“Sebagai negara kepulauan, Taiwan masih punya banyak hal untuk dipelajari dalam dunia petualangan, baik dari sisi konsep, teknik, maupun budaya. Tapi saya percaya, kita tetap bisa bersaing meski dengan keterbatasan,” tambahnya.
Setelah kembali dan beristirahat sejenak, Chen akan melanjutkan aktivitas sosialnya melalui program Run for Dream, sebuah tur seminar inspiratif yang sudah ia jalani selama 12 tahun, menjangkau lebih dari 312 sekolah di seluruh Taiwan. Ia menargetkan dapat berbagi semangat dan cerita di hingga 500 sekolah di masa mendatang. (M1-RTI)***
Komen yang ditutup, tetapi jejak balik dan ping balik terbuka.