Membangun Publik Intelek a la Intelektual Publik “Zaman Now”
SAAT ini, saya masih kesulitan untuk menemukan blog dalam kategori Blog Pakar dalam Bahasa Indonesia. Masalahnya, banyak pakar yang enggan menulis di blog tentang bidangnya masing-masing. Pun bila memiliki blog, para pakar kerap bercerita tentang aktivitas kesehariannya, atau bahkan menulis isu-isu di luar kepakarannya.
Beberapa yang saya tahu, mereka mengaku bosan bila harus menulis tentang kepakarannya di blog. Mereka merasa jenuh dengan berbagai percakapan di kampus yang melulu berbicara tentang kajian akademis di bidangnya. “Masa ngeblog harus nulis tentang itu (kajian di bidangnya) lagi. Capek, dong,” sebagian mengaku demikian.
Bagi sebagian akademisi tanah air, menulis blog bukan pilihan utama. Bahkan, bila pun mereka harus menulis, aktivitas ngeblog jauh dari benak mereka. Salah satu alasannya, menulis blog tidak berkontribusi kepada peningkatan capaian akademis mereka. Berbeda dengan menulis jurnal ilmiah yang turut mempercepat karir di lingkungan perguruan tinggi di Indonesia.
Menulis blog sendiri merupakan bagian dari menulis populer. Kang Budhiana Kartawijaya, dalam blognya, bercerita bahwa tradisi menulis populer sendiri baru berkembang di Amerika dalam 60 tahun terakhir ini. Awalnya, para intelektual kampus Paman Sam ini enggan berbagi wawasannya dengan publik, bahkan di media massa sekali pun.
“Mereka menganggap tugas suci mereka (para akademisi) adalah menyingkap rahasia-rahasia alam, bukan berurusan dengan publik yang tingkat intelektualitasnya (dipandang) lebih rendah,” tulis tokoh pers Jawa Barat ini.
Namun, menjelang 1960-an, beberapa ilmuwan mulai menulis buku-buku ilmiah populer. Salah satunya Steven Weinberg dengan buku The First Three Minutes yang menceritakan tiga menit setelah terjadinya big bang. Ada juga James D Watson dengan The Double helix yang mengisahkan DNA manusia. Richard Feynman dengan buku The Character of Physical Law tentang fisika modern juga meramaikan tradisi ini.
Meskipun berjuluk ilmuwan, tetapi buku dan tulisan mereka jauh dari kesan akademis. “Weinberg, Feynman, Watson maupun Carson bercerita secara ringan,” papar kang Budhiana. “(Mereka) tidak banyak mengemukakan notasi-notasi matematika atau notasi reaksi kimia,” lanjutnya.
Sejak saat itu, publik Amerika segera mendapatkan horison baru tentang berbagai keilmuan yang tengah berkembang di dunia. Tradisi menara gading perguruan tinggi juga mulai runtuh seiring semakin banyaknya para ilmuwan yang menulis populer.
Ditambah lagi, publik Amerika menyindir para akademisi ini menjadi besar karena pajak publik. Oleh karena itu, sudah seharusnya mereka turut membangun kecerdasan publik dengan kepakarannya masing-masing melalui saluran publik.
Menjadi intelektual publik, menurut kang Budhiana, memerlukan empat syarat, yaitu: pengetahuan, otoritas, isu aktual, dan bahasa populer. Pengetahuan merujuk kepada kedalaman ilmu seseorang dalam suatu bidang. Adapun otoritas terkait dengan latar belakang pendidikan dan profesinya. Sedangkan isu aktual mensyaratkan seorang intelektual publik untuk merespon peristiwa aktual dari kacamata bidangnya. Lalu, bahasa populer mengharuskan para intelektual berbicara dengan bahasa publik pada umumnya.
Kekosongan intelektual publik akan melahirkan intelektual selebritis. Intelektual jenis ini kerap muncul pada isu-isu besar dan mampu meraih perhatian publik karena cara komunikasinya yang populer. Padahal, mereka dangkal secara pengetahuan dan minim otoritas sama sekali dalam bidang tersebut. Dampaknya, publik akan terperangkap dalam pengetahuan semu.
Dalam kacamata kang Budhiana, para intelektual akademis perlu merintis karirnya sebagai intelektual publik dengan menulis populer, salah satunya di surat kabar. Hanya saja, bagi saya, cara ini semakin sulit dari hari ke hari. Pertama, ruang surat kabar untuk publik menulis semakin lama semakin sempit. Mereka mengalami kendala pendanaan yang berdampak kepada semakin tipisnya halaman surat kabar dari hari ke hari.
Tantangan kedua, para penulis di surat kabar harus menunggu beberapa waktu untuk menulis di surat kabar secara berulang-ulang. Setahu saya, mereka harus menunggu giliran sekitar dua bulan setelah tulisan terakhirnya terbit di media massa cetak yang sama. Di bawah waktu tersebut, biasanya surat kabar akan menolak tulisan sang intelektual.
Ketiga, semakin hari ada banyak orang yang ingin menulis di surat kabar. Mereka bukan hanya datang dari kalangan akademisi semata, tetapi juga politikus, pejabat, dan tokoh publik. Meminjam istilah W. Chan Kim and Renée Mauborgne, surat kabar sudah menjadi “lautan merah” bagi para intelektual. Akibatnya, redaksi perlu lebih keras lagi untuk memilah dan memilih tulisan-tulisan yang layak terbit di medianya. Dampaknya, peluang para akademisi untuk tampil di media massa cetak akan semakin tipis.
Dengan kondisi ini, blog bisa menjadi sarana alternatif untuk mendorong para intelektual akademis untuk menjadi intelektual publik. Rovicky Dwi Putrohari dengan Dongeng Geologinya dan Mbak Dina Sulaeman melalui blog Kajian Timur Tengahnya berhasil membuktikan hal ini. Mereka berhasil membawa pengetahuan eksklusif perguruan tinggi menjadi “hidangan intelektual” yang menyehatkan bagi publik. Saya menyebut mereka sebagai Blogger Pakar, yaitu para intelektual yang membangun karirnya di publik melalui blog.
Tentunya, membangun kepakaran melalui blog bukan pekerjaan yang mudah dan semalam jadi. Rovicky dan mba Dina harus konsisten bercerita dalam bahasa publik secara berkala selama beberapa tahun. Tidak jarang, mereka juga harus mendapatkan tuduhan yang menyayat hati dari netizen yang terjerat pengetahuan semu. Bila berhasil melewati ini, mereka akan menjadi referensi publik dalam bidangnya masing-masing.
Blog sendiri memiliki banyak keunggulan dibandingkan ruang di surat kabar. Pertama, para intelektual bisa bebas menulis sebanyak-banyaknya, tanpa terkendala ruang dan antrian terbit. Kedua, mereka bisa menulis dengan bahasa yang populer, gaya yang santai, dan topik yang beragam. Ketiga, mereka bisa berinteraksi dan berdiskusi dengan publik tentang isu-isu aktual secara intens. Bagaimana pun, diskusi yang sehat membantu para intelektual untuk merumuskan asupan pengetahuan yang tepat bagi publik.
Keengganan para intelektual untuk bercerita di blog akan memperbesar peluang hadirnya para intelektual selebritis. Bagaimana pun, jagad blog bisa mengangkat siapa pun ke permukaan, termasuk para intelektual selebritis dan produsen hoax. Ketika mereka merajai narasi-narasi pengetahuan di jagad maya, akibatnya akan sangat buruk bagi intelektualitas publik, bahkan lebih jauh lagi: demokrasi.
“Mendidik adalah tanggung jawab setiap orang terdidik,” demikian pepatah populer Anies Baswedan kala menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Hal yang sama juga berlaku bagi para intelektual yang memiliki tanggung jawab untuk mengangkat intelektualitas masyarakat. Bila sadar dengan tanggung jawab ini, tidak ada alasan lagi untuk menunda ngeblog dan mulai membangun publik intelek. (Yudha P. Sunandar)***
Komen yang ditutup, tetapi jejak balik dan ping balik terbuka.