METRUM
Jelajah Komunitas

Mudiko Ergo Sum: Aku Mudik, Maka Aku Ada

Oleh: Hendra Purnama

MUDIK, bersumber dari bahasa Jawa Ngoko, kependekan dari mulih ndilik, pulang sebentar ke rumah untuk melakukan sesuatu sebelum kembali ke tempat dia beraktivitas. Kegiatan ini adalah bagian dari tradisi para petani Jawa sejak jaman kerajaan Majapahit. Dahulu kala, mereka pulang ke tanah kelahirannya untuk membersihkan makam leluhur sekaligus meminta berkah.

Bahkan sependek pengetahuan saya, di zaman nabi-nabi juga sudah ada peristiwa mudik. Salah satunya ketika masih SD, saya pernah membaca kisah Maria dan Yosef di Alkitab Perjanjian Baru. Saat itu menjelang kelahiran Yesus, Kaisar Agustus menyuruh semua orang untuk mendaftarkan diri (sensus) di kotanya masing-masing. Maka Yosef berangkat dari Nazareth ke kota Daud yang bernama Bethlehem untuk melakukan pendaftaran diri. Bersama dengannya dia ajak pula istrinya, Maria yang sedang mengandung bayi Yesus. Nah, bukankah ini sebenarnya adalah praktik mudik juga? Mudik sekeluarga.

Mulih ndilik yang sudah menjadi bagian dari kehidupan manusia itu lambat laun berubah menjadi mulih udik, atau pulang kampung. Istilah ini mulai populer di medio 1970-an: ketika Jakarta tumbuh berkembang dengan pesat, dan menarik banyak penduduk desa berbondong-bondong mengadu nasib di sana. Orang-orang yang rela pergi dari kampung halamannya perlu waktu beberapa kali dalam setahun untuk balik pulang, entah ada urusan keluarga, urusan jual beli, dan lain-lain. Sebab sering sekali mereka yang pergi merantau tidak pernah benar-benar melepaskan diri dari segala urusan di tanah kelahirannya. Selalu saja ada urusan yang ditinggal, selalu saja ada kerabat yang perlu ditengok dalam jangka waktu tertentu.

Niels Mulder, pengajar di Northern Illinois University sekaligus penulis Mysticism and Everyday Life in Contemporary Java memberi makna mudik sebagai simbol aktivitas migrasi. Sebuah kegiatan migrasi bukan sederhana berpindah tempat dari satu titik ke titik lain. Keputusan bermigrasi biasanya diikuti kesiapan perubahan psikologis dan kemampuan adaptasi budaya antara dua tempat yang berbeda—dalam sebagian kasus adalah budaya desa dan kota—apalagi faktanya, selama di perantauan, para pemudik ini “dipaksa” menerima dan menjalankan tatanan sosial yang sebenarnya bertentangan dengan kodratnya. Satu sisi saja, hubungan sosial di kota bisa jadi berbanding terbalik dengan hubungan sosial di desa.

BACA JUGA:  Siasat Kebudayaan Amerika di Film Oppenheimer

Maka tidak berlebihan rasanya jika kita menilai bahwa peritiwa mudik erat kaitannya dengan konsep politik identitas. Menurut Sri Astuti Buchari (2014:20), politik identitas merupakan suatu alat perjuangan politik suatu etnis untuk mencapai tujuan tertentu.

Memang di sini kita tidak bicara politik—bukankah kita semua sudah terlalu lelah dengan politik? Namun kita bicara tentang etnis. Menurut KBBI, etnis adalah kelompok sosial dalam sistem sosial atau kebudayaan yang mempunyai arti atau kedudukan tertentu karena keturunan, adat, agama, bahasa, dan sebagainya.

Jelas, para pemudik, adalah bagian dari etnis tertentu yang disatukan oleh beberapa sisi. Bukan melulu sisi ekonomi —karena jelas mudik bukan dikotomi kalangan menengah ke bawah saja. Mudik dilakukan semua orang dari berbagai tingkat ekonomi, dari mulai tukang sapu jalanan sampai menteri. Mudik juga bukan hak orang Jawa saja, karena toh Kalimantan, Sulawesi, Sumatera, Bali, dan berbagai pulau lain juga terkena arus mudik. Mudik juga bukan jatah dari agama tertentu saja, karena saya punya teman orang Katolik yang melakukan mudik Lebaran

Dengan demikian, etnis yang mengikat para pemudik ini adalah sebuah etnis yang didasari oleh kerinduan soal identitas. Mudik, adalah perjuangan seorang individu untuk menemukan kembali identitasnya, atau bahkan justru usaha memperkenalkan identitas baru yang didapatnya di perantauan, dan berusaha menyuntikkannya di “tempat asal”.

Istilah “asal” ini mengingatkan saya pada dikotomi denotasi-konotasi dalam teori Roland Barthes, bahwa denotasi adalah artian yang sebenarnya, sementara konotasi adalah pemberian makna. Dalam peristiwa mudik, kita melihat itu semua.

Bahwa mempunyai identitas asal merupakan ideologi yang tidak bisa ditawar, yang secara kongkrit terwujud dalam arus desak-desakan berebutan tempat duduk. Namun, identitas asal bukanlah konsep yang berdiri sendiri. Identitas asal menurut Seno Gumira Ajidarma berkonsekuensi memberikan identitas terkehendaki dalam konstruksi oposisional yang menunjukkan terdapatnya kepentingan

BACA JUGA:  Kerusuhan Kanjuruhan: Kapolri Copot Kapolres Malang dan Sejumlah Perwira Polda Jatim 

Secara denotatif, mudik adalah usaha kita mendekatkan diri pada akar kita, pada tanah tempat kita lahir—meski identitas kependudukan di KTP kita bahkan sudah berganti—tanah tempat kita mengenyam kasih sayang yang tak terhingga dari orang tua dan juga saudara-saudara. Tanah tempat terjadinya masa-masa indah ketika bermain di sawah dengan kawan-kawan.

Namun, secara konotatif, tidak jarang para pemudik ini justru menunjukkan identitas baru—kebanyakan beraroma kesuksesan meski di kota di-tidak sukses-sukses banget—ke lingkungan pergaulannya di desa. Diawali dengan jenis handphone terbaru, merk mobil terbaru, ketidakpercayaan pada kebersihan air sumur timba di belakang rumah, sampai gaya hidup seperti mencuci tangan dengan cairan pembersih. Hal-hal yang mencengangkan orang desa yang belum tersentuh kebiasaan seperti itu. Terkadang, hal ini bukan hanya membawa pesan tentang identitas modern, tapi mengandung subliminal message tentang betapa “modernnya hidup kami dan betapa tertinggalnya hidup kalian.”

Hal ini yang disebut oleh Anthony Giddens sebagai unconcious motives yang menyangkut keinginan atau kebutuhan yang berpotensi mengarahkan tindakan, tapi bukan tindakan itu sendiri.

Kita sebagai pemudik tidak bisa lari dari hal-hal seperti ini, jika pun kita tidak melakukannya maka orang-orang di sekitar kita akan melakukannya. Saya masih ingat berapa bencinya saya berhadapan dengan seorang ipar dari paman karena setiap kumpul Lebaran dia selalu mendominasi pembicaraan tentang proyek sekian puluh juta yang tengah digarapnya, sambil sibuk mengunyah nastar. Namun, mungkin itulah identitas yang sedang dia ingin bangun di tengah kami semua, saya tidak menyalahkannya. Sementara di depannya ada saya yang mudik “hanya” dengan tujuan agar tidak lupa bahwa di sebuah pelosok selatan kabupaten Bandung, ada bibi saya yang sudah tua dan menjanda. Itu juga identitas yang sedang saya perjuangkan, tidak ada yang salah dengan itu.

BACA JUGA:  Membangun Publik Intelek a la Intelektual Publik “Zaman Now”

Kita semua berjuang untuk menemukan posisi kita dalam kehidupan, menentukan keberadaan kita di mata seseorang, dan mudik adalah salah satu sarana untuk melakukannya.

Maka, siapakah kita di kota? penjual bakso di sekitar Monas, yang mudik ke kampung halaman di kaki gunung dengan tas pinggang penuh uang, siap dibagi-bagikan pada sanak famili sampai habis tak bersisa tapi rasa bangga membuncah di dada? Atau kita adalah scriptwriter sebuah variety-show-tayang-seminggu-sekali-dengan-rating-dan-share-lumayan, yang pulang ke dusun gersang kering kerontang, membagi-bagikan kartu nama lengkap-dengan-profesi-nomor HP-dan-alamat-email ke para tetangga yang tidak pernah menonton sinetron karena bahkan antena paling tinggi pun tetap gagal menangkap siaran televisi swasta? Atau kita adalah mantan kembang desa yang mengadu nasib di belantara ibukota bermodal kepolosan dan ijazah SMEA, yang mudik ke desa tertinggal dengan lipstick tebal, kuku kaki di-kutex, dan rambut model mutakhir warna pirang? Atau kita adalah aktivis mahasiswa, rajin turun ke jalan dan lantang meneriakkan anti kemapanan, yang pulang bersimpuh ke kaki ibunda yang makin renta, yang tak suka anaknya berambut gondrong dan tak kunjung diwisuda?

Siapapun kita, mudiklah untuk mencari tahu siapa kita yang sebenarnya.***

komentar

Komen yang ditutup, tetapi jejak balik dan ping balik terbuka.