Belajar Bersabar dan Bertahan dari Maurizio Sarri
Oleh: Hendra Purnama
SEBELUM memulai tulisan ini, saya akan menerangkan sedikit skema liga sepakbola Italia, siapa tahu ada pembaca yang belum paham.
Jadi jika di Indonesia hanya ada tiga level liga (divisi 1, divisi 2, divisi 3), maka Italia memiliki sembilan level liga. Posisi tertinggi disebut Serie A, di bawahnya ada Serie B, lalu di bawahnya ada lagi Serie C (terbagi tiga regional: C1, C2, C3). Sampai batas Serie C ini masuk kategori liga professional.
Di bawah Serie C, mulailah masuk kategori liga non-profesional. Di sana ada Serie D (sembilan regional, dari mulai Girone A – Gireone I), di bawahnya lagi ada divisi Eccellenza (28 regional), lalu turun lagi ke divisi Promozione (53 regional), lalu ada level Prima Categoria (105 regional), lalu Seconda Categoria (185 regional), dan level terbawah dari sepakbola Italia adalah Terza Categoria yang terbagi ke dalam 232 provincial divisions.
Masing-masing regional non pro biasanya diisi maksimal 18 klub, hanya liga pro yang diisi 20 klub. Jadi misalnya di level Serie D saja yang terbagi sembilan regional, berarti ada 162 klub bertarung setiap minggunya. Apalagi di level bawahnya. Misalnya Promozione, ada 53 regional, berarti ada sekitar 954 klub yang bertarung di level itu. Untuk level lain silahkan dihitung sendiri. Setiap akhir musim, klub di posisi atas mendapat jatah promosi ke liga di atasnya, dan harus mau degradasi ke level di bawahnya jika menempati posisi bontot klasemen. Begitu terus sistemnya dari tahun ke tahun.
Dengan pembagian serapih itu, bisa dibayangkan berapa klub yang sebenarnya ada di Italia? Bila setiap klub anggap saja punya 25 orang pemain, maka berapa pemain yang beredar di persepakbolaan Italia? Sungguh sangat banyak, dan sampai tahun 2018 salah satu orang yang ikut “bermain-main” di riuhnya sepakbola Italia adalah Maurizio Sarri
Sarri adalah pelatih kelahiran Naples, 10 Januari 1959, belum pernah jadi pesepakbola profesional. Satu-satunya klub amatir yang pernah disinggahinya adalah Figline (div.Eccellenza), tapi tidak pernah masuk ke level pro.
Pekerjaan sehari-hari Sarri adalah bankir. Sepulang kerja ia meluangkan waktunya melatih sepakbola di klub amatir dari sore sampai malam. Tim-tim yang dilatihnya juga sama sekali tidak terkenal, seperti: Stia, Faellese, Cavriglia, Antella, Valdema, atau Tegleto.
Namun, sejak dulu dia memang sudah menunjukkan diri sebagai pelatih hebat. Misalnya, dengan sumber daya amatir yang sangat terbatas ia bisa membawa Faellese (1991-1993) dari level Prima Categoria naik ke tingkat Promozione. Lalu pada tahun 2000, klub Sansovino dari level Eccellenza dibawanya promosi ke Serie D. Lepas dari Sansovino, ia melatih Sangiovannese (2003-2005) yang malah berhasil dibawanya naik promosi ke Serie C1.
Keluar dari Sangiovannese, ia melatih beberapa tim lain, tetapi salah satu prestasi cemerlangnya adalah berhasil mengantar klub Empoli (2012-2015) dari Serie B promosi ke Serie A pada tahun 2014.
Bulan Juni 2015, Sarri meninggalkan Empoli dan melatih di klub kota kelahirannya, Napoli. Meski pada musim pertamanya Napoli harus puas di peringkat tiga, tapi Sarri tercatat bisa mengantarkan Napoli menjadi juara paruh musim (Campioni d’Inverno) untuk pertama kalinya dalam 26 tahun terakhir sejarah klub itu. Prestasi itu diulanginya pada musim 2016/2017. Menjadi Campioni d’Inverno tapi harus puas menjadi runner-up hanya selisih empat poin di belakang Juventus.
Setelah keluar dari Napoli, tahun 2018 untuk pertama kalinya Sarri melatih di luar negeri. Adalah Chelsea yang meminangnya. Pada Februari 2019, Dia berhasil mengantar Chelsea masuk final EFL Cup, tapi sayangnya kalah adu penalti dari Manchester City
Kekalahan itu cukup membuatnya frustrasi. Dalam karir melatihnya yang sudah dia pupuk sejak 1990, agak jarang Sarri berhasil membawa timnya masuk final, bahkan bisa dibilang EFL Cup ini adalah final pertama yang dirasakannya. Namun, Sarri tetap bertahan di Chelsea sampai akhirnya tadi malam setelah melewati hadangan klub-klub mapan semacam Olympiacos (Yunani), Slavia Praha (Ceko), dan Eintracht Frankfurt (Jerman), Sarri berhasil mengantarkan Chelsea juara Liga Eropa setelah mengalahkan sesama tim Inggris, Arsenal dengan skor telak 4-1.
Saya sendiri menonton pertandingan final itu. Saya tidak mempunyai perasaan apa-apa, saya bukan pendukung Chelsea atau Arsenal. Namun, setelah melihat Sarri mengangkat piala, saya baru sadar bahwa pak tua ini sudah 29 tahun melatih dan belum pernah mendapatkan gelar apapun. Tadi malam, di usianya yang ke-60, ia akhirnya bisa merasakan rasanya mengangkat piala juara.
Saya berandai-andai jika Maurizio Sarri menyerah pada tahun ke-28, mungkin dia tidak akan pernah mendapatkan piala apapun. Tadi malam, Sarri mengajarkan saya bahwa ketekunan dan fokus saja tidak cukup. Mesti ada satu faktor lain: yaitu kemampuan untuk sabar dan bertahan di tengah badai kegagalan. Setiap orang mungkin punya batas kesabaran masing-masing, tapi para juara biasanya punya kemampuan untuk menahan batas itu lebih jauh dari orang lain.
Selamat, Pak Sarri!***
Komen yang ditutup, tetapi jejak balik dan ping balik terbuka.