Pemilih Muda Bersuara: Dari “Jangan Sampai Ada Otoritarianisme Baru” Hingga Anti-gimik
Anak muda, yang menjadi mayoritas pemilih dalam pemilu kali ini, memiliki pandangan beragam mengenai strategi maupun gagasan tim sukses ketiga pasangan capres-cawapres. VOA berbincang dengan sejumlah diaspora muda dari berbagai wilayah di tanah air untuk menanyakan pendapat mereka.
DALAM wawancara khusus VOA dengan perwakilan tim sukses ketiga pasangan calon presiden dan calon wakil presiden Republik Indonesia di Washington, DC – dan melalui pesan video – Januari lalu, ketiganya menyampaikan jawaban serupa ketika ditanya tentang isu yang mereka anggap paling penting bagi generasi muda Indonesia saat ini.
Thomas Lembong, co-captain Tim Nasional Pemenangan (TNP) Anies-Muhaimin, mengatakan, “Saya kira isu utama bagi pemilih muda saat ini adalah lapangan kerja. Sulitnya cari pekerjaan. Bukan sekadar pekerjaan, tapi pekerjaan yang membanggakan, dengan penghasilan yang stabil, dengan jadwal kerja yang juga stabil,” ungkap Tom kepada VOA di Washington (11/1).
Pada kesempatan terpisah, juru bicara Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran, Rahayu Saraswati, menuturkan, “Jadi betul-betul keberpihakan Prabowo-Gibran (yaitu) untuk meningkatkan entrepreneurship, startup, kewirausahaan, penciptaan lapangan kerja, karena itu selalu yang digaungkan oleh anak-anak muda,” ungkap Rahayu melalui pesan video kepada VOA.
Setali tiga uang, wakil ketua Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar-Mahfud, Jenderal TNI (Purn.) Andika Perkasa, juga menggarisbawahi isu penciptaan lapangan kerja sebagai isu paling penting bagi generasi muda saat ini.
“Apakah ada pekerjaan buat mereka? Itu adalah agenda yang menurut saya terpenting buat anak-anak muda dan justru itulah Mas Ganjar berusaha memastikan bahwa pertumbuhan ini harus tujuh persen,” imbuhnya saat berada di ibu kota AS kepada VOA (9/1).
Dalam jajak pendapat yang dilakukan Center for Strategic and International Studies (CSIS) pada Agustus 2022 terhadap 1.200 responden berusia 17-39 tahun di 34 provinsi, isu lapangan kerja menempati posisi kedua (21,3%) setelah kesejahteraan masyarakat (44,4%) sebagai isu strategis yang menarik minat pemilih muda dalam Pemilu 2024. Isu pemberantasan korupsi (15.9%), demokrasi dan kebebasan sipil (8,8%), kesehatan (6,2%) dan lingkungan hidup (2,3%) menyusul setelahnya.
Sementara dalam survei online yang dilakukan Populix pada Agustus-September 2023 terhadap 1.000 responden berusia 17-39 tahun serta 16 focus group discussion online kecil yang melibatkan responden muda dari berbagai latar belakang, isu lapangan kerja berada di peringkat ketiga (68%) di belakang korupsi (76%) dan kemiskinan (73%) sebagai isu sosial-ekonomi yang harus ditangani presiden terpilih.
Isu Penting di Mata Pemilih Muda
Menanggapi jawaban ketiga timses, Shulhan Rumaru, 34 tahun, alumnus sekolah pascasarjana George Washington University jurusan manajemen komunikasi yang berasal dari Ambon, Maluku, menilai persoalan sesungguhnya dari isu ketenagakerjaan bukanlah jumlah lapangan kerja yang tersedia, melainkan distribusi pekerjaan itu sendiri.
“Ketika lapangan kerja itu berpusat di ibu kota atau berpusat di Jawa, misalkan, itu kan tidak merata, karena teman-teman di luar pulau Jawa juga akan mengalami kesulitan untuk mendapat pekerjaan,” ujarnya saat berbincang dengan VOA melalui Zoom (31/1).
Saat ditanya apakah ia memiliki keprihatinan tersendiri yang diharapkan bisa menjadi fokus presiden baru nanti, ia menjawab, “konsolidasi demokrasi.”
Shulhan, yang menjadi peneliti muda di The Political Literacy Institute di Jakarta, menyoroti karut marut proses pencapresan yang dinilai “mengobok-obok” Mahkamah Konstitusi, serta berbagai isu tidak substantif yang membanjiri perdebatan publik.
“Jangan sampai nanti ke depan ada penggembosan demokrasi lagi, sehingga ada pelanggaran-pelanggaran yang mungkin tidak hanya etik, tapi lebih dari itu, menggembosi demokrasi itu sendiri,” kata Shulhan. “Jangan sampai ada ruang yang dibuka untuk terjadinya otoritarianisme baru.”
Sementara itu, bagi Ambika Putri, 29 tahun, mahasiswi S2 jurusan rancangan dan teknologi pembelajaran di Universitas Georgetown yang asli Sidoarjo, Jawa Timur, penegakan hukum merupakan isu paling penting yang harus diperhatikan presiden berikutnya.
“Kalau kita punya fondasi hukum yang jelas, tidak akan ada yang namanya persepsi, asumsi, karena selama ini (orang) selalu memandang kayak ‘oh ini udah biasa sih,’ akhirnya korupsi dan lain-lain itu kayak ‘ya udah sih, memang (akan) dihukum kayak apa,’” ungkap Ambika kepada VOA (31/1). “Tidak ada rasa takut, tidak ada rasa untuk menghormati apa yang mereka lakukan, karena mereka merasa kalau ‘toh (hukum) ini sudah tidak berfungsi.”
Sedangkan bagi Pinandito Wisambudi, 28 tahun, mahasiswa S2 jurusan kebijakan energi dan iklim di Universitas Johns Hopkins yang berasal dari Depok, Jawa Barat, transisi energi adalah isu prioritas. Pada kesempatan yang sama, ia mengaku kecewa pada para cawapres yang dianggapnya gagal menyampaikan pesan penting isu tersebut dalam debat cawapres kedua 21 Januari lalu.
“Saya agak menyayangkan, karena pesan yang tersampaikan itu lebih ke gimik-gimiknya para cawapres dibanding pesan transisi energinya, atau bagaimana mereka akan mencapai transisi energi nanti untuk Indonesia,” urai Tossy, sapaan akrab Pinandito, yang kini menjabat presiden Persatuan Mahasiswa Indonesia Seluruh AS (Permias) DC. “Ini masalahnya nanti untuk keberlangsungan Indonesia sebagai sebuah negara, karena kita salah satu negara yang terdampak perubahan iklim yang cukup besar.”
Lain lagi dengan Nila Febrianti, 24 tahun, mahasiswi S2 Manajemen Komunikasi di George Washington University asli Baubau, Sulawesi Tenggara. Nila menggarisbawahi masalah ketimpangan akses pendidikan dan informasi – isu yang sangat dekat dengannya.
“Kualitas dari segi pendidikan, kemudian kebijakan publik yang ada di sana, itu masih belum terlaksana dengan baik. Implementasinya tidak seperti di daerah Pulau Jawa, karena aku ‘kan kuliah S1 di Jawa, tapi asal aku dari Kota Baubau. Aku mengalami ketimpangan itu yang sangat nyata, apalagi dibandingkan dengan di sini setelah aku pindah ke DC.”
Ia hanya berharap program kerja presiden terpilih nantinya bisa diterapkan merata sampai ke daerah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar).
Ampuhkah Strategi Paslon Menggaet Suara Muda?
Meski sama-sama menekankan isu lapangan kerja, masing-masing timses memiliki strategi khusus untuk menggaet pemilih muda, yang mencakup generasi milenial dan generasi Z, yang pada pemilu kali ini berjumlah 107 juta pemilih, alias 52% dari total pemilih.
Menurut Tom Lembong, paslon nomor urut 01 menitikberatkan strateginya pada kampanye yang berorientasi pada gagasan dan imajinasi.
Sementara itu, paslon 02 mengusung citra ‘gemoy’ sambil mengampanyekan “politik yang damai, politik yang santun,” kata Rahayu Saraswati. Lain lagi dengan paslon 03 yang mengedepankan autentisitas diri, karena menganggap pemilih muda paling menghargai nilai kejujuran.
Lantas, apa kata para pemilih muda?
Shulhan Rumaru (34 tahun) lebih menghargai kandidat yang mengedepankan pemaparan gagasan.
“Menurut saya yang paling esensial juga ini bukan persoalan kampanye dengan gimik ataupun tidak, tapi bagi saya yang esensial adalah memperkaya perspektif publik dengan menyodorkan gagasan-gagasannya secara konkret, baik itu misalkan lewat media sosial atau tidak,” ungkapnya.
Sementara Nila Febrianti mementingkan pola pikir para kandidat.
“Sebagai Gen Z, aku bisa memahami nggak pola pikirnya? Bisa nggak program-program kerja yang dibuat itu menyesuaikan dengan kebutuhan kita?” jelasnya. “Apalagi nanti di 2045 kita akan mengalami bonus demografi, which is di sana generasi kita ini akan menjadi sumber daya manusia yang akan produktif.”
Pola pikir juga menjadi kualitas penting yang dicari Pinandito Wisambudi kali ini.
“Pola pikir gimana nanti mengambil sebuah kebijakan. Jadi, di balik pola pikir itu kan mereka punya ide-ide dan juga program-program yang mereka tawarkan untuk menjawab suatu permasalahan,” ujarnya.
Berbeda dengan Ambika, pemahaman isu dalam dan luar negeri menjadi kualitas unggulan yang ia harapkan.
“Seringkali ketika kita di dalam (negeri), kita tidak paham… Banyak sekali kadang isu-isu yang dipertontonkan kepada kita itu sebenarnya kurang sebegitu urgent, harusnya kita misalkan ngomongin masalah ‘oh, sekarang udah krisis,’ ‘oh, sekarang di luar sana pendidikan udah sedemikian rupa,’” kata Ambika.
Di antara keempat diaspora muda yang diwawancarai VOA, hanya Ambika yang sudah menentukan pilihan – itu pun dengan catatan bahwa “semuanya bisa berubah sampai detik-detik terakhir.”
Lembaga penelitian Populix mengamati hal tersebut. Mereka mengatakan, pemilih muda cenderung lebih rasional dibandingkan pemilih dari demografi yang lebih tua. Hal itu membuat mereka lebih kritis dalam membuat keputusan.
“Walaupun waktu pemilihan sudah semakin dekat, sebenarnya kemungkinan untuk pindah-pindah (pilihan) di generasi muda cenderung lebih tinggi, karena tadi kita lihat bahwa mereka lebih banyak membanding-bandingkan, mungkin lebih rasional, dan juga akses informasi yang lebih banyak itu membuat mereka mempunyai lebih banyak pilihan,” urai Nazmi Tamara, peneliti Populix, menjawab pertanyaan VOA dalam konferensi pers laporan survei pemilih muda dalam pemilu 2024 yang mereka lakukan Januari lalu.
Menurut survei CSIS, partisipasi politik pemilih muda mengalami kenaikan pada pemilu 2019 dibanding pemilu 2014, di mana 91,3% responden menyatakan menggunakan hak suara mereka pada tahun 2019, sementara hanya 85,9% yang mencoblos pada 2014.
Jumlah pemilih secara keseluruhan juga mengalami kenaikan pada pemilu serentak 2019, yaitu 81%, sedangkan pada 2014 sebesar 75,1% pada pemilihan legislatif dan 69,58% pada pemilihan presiden. (M1-VOA/rd/em)***
Komen yang ditutup, tetapi jejak balik dan ping balik terbuka.