PUSAD Paramadina dan PGI Gelar Fellowship Pelatihan Mediasi se-Jawa Barat
PUSAD Paramadina dan PGI (Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia) menyelenggarakan kegiatan Fellowship Pelatihan Mediasi pada Senin-Jumat, 16 – 20 Oktober 2023 di Hotel Santika, Kota Bandung, Jawa Barat.
Saya (Rhaka Katresna) menghadiri kegiatan mewakili Balad Kawit Seja (BaKaJa). Peserta terpilih diumumkan dalam postingan kolaborasi PUSAD Paramadina dan PGI. Peserta terpilih telah melewati seleksi administrasi dan wawancara.
Saat wawancara, peserta ditanya mengenai motivasi dan kesediaan mengikuti pelatihan. Saya menjawab keterampilan mediasi diperlukan untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi BaKaJa, khususnya isu kebebasan beragama dan berkeyakinan yang dialami masyarakat AKUR Sunda Wiwitan.

Pada hari pertama (Senin, 16 Oktober 2023), Pendeta Jimmy Marcos Immanuel Sormin memberikan sambutan. Prioritas Pelatihan Fellowship Mediasi Jawa Barat dilaksanakan untuk merespons isu sosial masyarakat, khususnya kebebasan beragama dan berkeyakinan. Umat Kristen di Indonesia mengalami persoalan di Pulau Jawa dan pulau lainnya.
Untuk meningkatkan kapasitas tokoh dan aktor yang dapat berkontribusi membawa perdamaian dan keadilan pada masyarakat. Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) bekerjasama dengan Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) Paramadina mengimplementasikan program peningkatan kapasitas fasilitator Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di beberapa kota termasuk Mataram, Medan, Poso, dan Bandung. Ini merupakan “konsolidasi baik dari yang usianya pemuda dan generasi old”.
Keterampilan mediasi yang diberikan bisa diterapkan dalam isu keluarga, agama, kepemudaan, dan lainnya di satu komunitas. Pdt. Jimmy Sormin menekankan bahwa “poin bagi kita untuk memahami KBB dan bagaimana diimplementasikan setiap harinya, bersentuhan langsung maupun tidak. Bagaimana skill ini bermanfaat untuk kemaslahatan.”
Kebebasan Beragama/Berkeyakinan, Mediasi, dan Mediator
Ceng Husni Mubarak, selaku pelatih mediasi dari PUSAD Paramadina memperkenalkan bahwa kebebasan beragama dan berkeyakinan adalah hak setiap warga negara. Oleh karena itu negara memiliki kewajiban untk melindungi, menghormati dan memenuhi tersebut. Namun faktanya terjadi diskriminasi, persekusi dan gabungan dari keduanya. Terjadi konflik dan sengketa yang menunjukkan ketidakselarasan tujuan antara pihak yang terlibat. Pihak yang bersengketa bisa melakukan negosiasi.
Jika buntu, maka memerlukan bantuan pihak ketiga seperti hakim, arbitrator atau mediator. Proses mediasi, negosiasi dengan bantuan pihak ketiga bisa terjadi melalui tahapan pra mediasi, mediasi dan diakhiri kesepakatan bersama.
Lebih lanjut mengenai pengelolaan sengketa, orang umumnya berpikir bahwa dalam sengketa ada pihak yang benar dan ada pihak yang salah. Ternyata, ada tiga pendekatan dalam pengelolaan sengketa yaitu berdasarkan kekuatan, hak dan kepentingan. Jika berdasarkan kekuatan, ada memaksakan kehendak dan adu kekuatan sehingga ada situasi menang – kalah dan kalah – kalah.
Jika berdasarkan hak, merujuk pada norma, aturan dan rekam jejak sehingga dihasilkan keputusan benar dan salah. Dan jika berdasarkan kepentingan, kedua pihak memutuskan bersama berdasarkan kepentingan dan kebutuhan masing-masing pihak sehingga menghasilkan situasi menang – menang. Dalam “mediasi, kita bekerja di kepentingan. Kita gak di posisi siapa yang benar dan salah, itu ranahnya pengadilan,” jelas Ceng Husni Mubarak.
Ada beberapa permasalahan yang bisa diselesaikan melalui mediasi seperti sengketa pembangunan rumah ibadah, konflik komunal dan sebagainya. Ini disertai pertimbangan bahwa permasalahan bisa dibicarakan bersama, dicari dan dipenuhi kebutuhannya.
Pendekatan kepentingan melalui mediasi punya kelebihan seperti rendah mudaratnya, hasil kesepakatan langgeng dan hubungan terjaga. Meskipun punya kekurangan seperti perlu waktu lama, kebutuhan kadang sulit digali dan seringkali dipraktikkan dengan salah kaprah.
“Saatnya mengutamakan pendekatan kepentingan yang sedikit mudaratnya,” tambah Ceng Husni.
Dalam kerjanya, mediator terikat kode etik termasuk ketidakberpihakan, tidak ada benturan kepentingan, kerahasiaan, independen, dan kesetaraan. Sebelum melaksanakan mediasi, dilakukan pertemuan pra mediasi dengan masing-masing pihak.
Proses mediasi dibagi ke dalam dua bagian yang disebut segitiga bawah dan segitiga atas. Diawali dari sambutan, cerita para pihak, menemukan yang sama (kesepahaman awal), mengenali masalah (definisi masalah), mencari kesepakatan (negosiasi), melakukan pertemuan kaukus atau terpisah (jika kesepakatan buntu), menyusun naskah kesepakatan, penandatanganan, dan diakhiri penutup.
Selama lima hari, 30 peserta dari berbagai latar belakang dan identitas agama/keyakinan mempelajari teori dan praktik mediasi. Pelatihan berbobot 30% teori dan 70% praktik. Simulasi dilakukan setiap hari bersama pelatih. Ini merupakan pengalaman yang baru dan menarik bagi saya. Keterampilan utama dalam mediasi termasuk Dengar – Ulang – Tanya diberikan dan dipraktikkan bersama-sama.
Di akhir pelatihan, kami diberikan kesempatan untuk berbagi refleksi dan merencanakan rencana tindak lanjut. Setiap peserta diberikan kesempatan melaksanakan kegiatan yang membagikan edukasi mengenai pentingnya mediasi dalam isu kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Pelatihan ini bersertifikat profesi sehingga ke depannya para aktor lintas agama di Jawa Barat bisa melakukan pelayanan mediasi komunitas. Ujian pelatihan ini akan dilaksanakan sepekan setelah pelatihan. (Rhaka Katresna/Balad Kawit Seja)***
Komen yang ditutup, tetapi jejak balik dan ping balik terbuka.