“EMPIRE Ballroom”, ”Mekarsari Amazing Tourism Park”, ”Amnesia”, ”Fame Station”, ”Black”, ”Balcony”, ”Ciputra Waterpark”, ”Fren”, ”Flexi”, ”Apple”, ”Blackberry”, ”Macbook”, ”Seaworld Think Fish”, “www.pikiran-rakyat.com”, ”Taman Safari Wild Conservation”.
Salah satu teks tersebut mungkin pernah Anda lihat di belakang mobil-mobil, terutama mobil-mobil pribadi yang melintas di jalan raya. Bisa jadi penempelan stiker-stiker tersebut hanya keisengan dari para pemilik mobil.
Akan tetapi, jika ditilik dengan cermat, bisa jadi penggunaan stiker kota di mobil-mobil yang melintas di jalan raya itu sangat ideologis.
Sebagai salah satu bentuk kebahasaan, stiker kota bisa dilihat sebagai praktik sosial. Ia tidak hanya berperan sebagai medium praktik sosial yang terjadi di dalam masyarakat.
Akan tetapi, sudah menjadi praktik sosial itu sendiri. Aspek kebahasaan ditambah aspek-aspek lainnya (seperti desain) menjadi praktik sosial yang mengimplikasikan hal-hal yang jauh melampaui fungsi awalnya.
Stiker kota sebagai salah satu medium praktik kebahasaan telah menjadi sarana efektif dalam penyebarluasan pesan.
Hal itu sejalan dengan pandangan Antonio Gramsci, misalnya, yang mengatakan bahwa bahasa adalah ruang tempat simbol-simbol diproduksi dan disebarluaskan.
Hal itu mengimplikasikan bahwa penggunaan bahasa dalam situasi tertentu, dalam ragam tertentu, bermuatan hal yang lebih besar dari sekadar konstruksi kebahasaan.
Masyarakat kelompok pengguna stiker kota menjadikan stiker kota ini menjadi media untuk menunjukkan identitas kelas. Dengan menempelkan stiker di mobil, penggunanya menunjukkan bahwa ia berasal dari kelas sosial tertentu.
Lihat saja ”The Jungle”, ”Fenyen”, ”Younx Variasi”, ”Bt9 Project”, ”Xl”, ”Ciwalk”, ”Bober”, ”Oz FM”, ”Ardan”, ”99ers”, ”Salman Alfarisi Full Day School”, ”ITB”, ”Kedokteran Unpad”, ”Kedokteran Usakti”, ”Oakley”, ”Aloysius”, ”Starbucks”, ”McDonalds”, ”Pizza Hut”, ”Proxy”, ”Oh La La”, ”Bikers Brotherhood”, ”TBI”, ”EF”, ”Acer”, ”Electronic Solution”, ”Electronic City”, ”Carrefour”, ”BIP”, ”SBM ITB”, ”Evil”, ”Ouval Research”, ”EAT”, ”Surfergirl” ditempelkan di mobil demi menunjukkan identitas kelas.
Penggunaan stiker kota itu menjadi bagian tak terpisahkan dari pola hidup yang dijalankan penggunanya. ”Aku ada karena aku gaya”.
Thompson (2007: 45) mengatakan bahwa tidak ada masyarakat yang dapat eksis tanpa mengorganisasi barang-barang yang diikuti berkembangnya para anggotanya.
Seluruh tindakan manusia terjadi dalam ranah sosial. Individu, institusi, dan agen lainnya mencoba membedakan dirinya dari yang lain dan mendapatkan modal yang berguna atau berharga di arena tersebut (Harker, et. al., 2005:xi).
Identitas merupakan sesuatu yang penting dalam kehidupan sosial. Masyarakat urban sebagai pengguna stiker kota telah melakukan praktik sosial melalui penggunaan stiker di mobil yang mereka kendarai.
Pierre Bourdieu berpendapat, selera, sebuah perolehan ”kompetensi kultural” digunakan untuk melegitimasi perbedaan-perbedaan sosial. Habitus dari kelas dominan dapat dilihat dalam gagasan bahwa ”selera” merupakan anugerah dari alam (Harker, et. al., 2005: xi).
Hal itu tidak dilakukan secara teknis atau dilakukan berdasarkan aturan hukum tertentu. Semuanya berjalan seakan-akan ”alami” walaupun sebenarnya dikonstruksi imajinasi sosial tertentu.
Dalam wacana, ideologi mencapai materialitas nyata dalam ”tanda linguistik” (Demirovric dalam Titscher, 2009: 237).
Stiker kota menjadi semacam ideologi itu sendiri. Ia tidak hanya menyampaikan ideologi melalui tanda-tanda linguistik yang ada, melainkan mewujud sedemikian rupa sebagai visualilsasi ideologi.
Penggunaan stiker kota ini telah menjadi semacam konkretisasi modal ekonomi dan budaya seseorang. Si pengguna stiker ingin menyampaikan bahwa ia memiliki modal ekonomi dan modal budaya yang mumpuni, dan menyampaikannya secara simbolik dalam tanda linguistik. Tanda linguistik ini menjadi identitas yang melampaui aspek material lainnya.
Hal ini selanjutnya tidak berhenti sampai di sana. Masyarakat pengguna stiker –dengan menggunakan stiker kota– sesungguhny tengah memaksakan seleranya kepada masyarakat lainnya.
Di sinilah kekerasan simbolik secara nyata hadir. Masyarakat pengguna stiker kota menyuguhkan pemandangan gengsi sebuah kelas sosial ke masyarakat dari kelas lainnya.
Dengan menyuguhkan semacam ”gengsi” atas sebuah selera kelas, sesungguhnya pengguna stiker kota ini tengah menularkan pandangan itu kepada masyarakat lainnya.
Selera yang tadinya hanya dimiliki orang-orang tertentu, selanjutnya menyebar ke masyarakat lain. Masyarakat lain selanjutnya berusaha untuk menjadi ”konsumen” berikutnya; pemilik selera tersebut.
Masyarakat akhirnya menjadi konsumtif karena berusaha mengejar gaya hidup yang dipancarkan melalui tanda-tanda linguistik dalam stiker kota.
Ketika selera ini menjadi selera masyarakat umum, hal ini selanjutnya menjadi sesuatu yang seakan-akan ”alami”.
Stiker kota, melalui tanda-tanda linguistiknya, pada akhirnya menjadi puncak materialitas nyata ideologi. (Jejen Jaelani, Ketua Forum Studi Kebudayaan ITB/Sumber: Pikiran Rakyat)***