METRUM
Jelajah Komunitas

Wayang Lemah, Kuatnya Unsur Seni Dalam Upacara

PERTUNJUKAN wayang merupakan salah satu seni budaya nasional Indonesia yang dikenal sebagai seni tradisional adiluhung multi medium. Tak hanya itu, seni pewayangan di Jawa dan Bali juga erat kaitannya dengan kehidupan adat dan keagamaan.

Seperti kesenian wayang lemah, yang merupakan salah satu wayang sakral dari Bali. Kata lemah dalam penamaan seni wayang ini bukanlah seperti arti dalam bahasa Indonesia, tapi dalam bahasa Bali, ‘lemah’ artinya adalah siang hari. Pasalnya wayang lemah ini lebih sering dipentaskan siang atau sore hari pada saat upacara keagamaan, Upacara Panca Yadnya.

Meskipun bentuknya sangat sederhana, wayang lemah diposisikan sangat penting sehingga sering disebut Wayang Wali yaitu kesenian sakral yang menyertai upacara keagamaan. Wayang lemah adalah salah satu dari tiga macam wayang yang disakralkan di Bali. Tiga wayang sakral tersebut adalah Wayang Sapu Leger, Wayang Suddhamala dan Wayang Lemah. 

Dalam pertunjukannya wayang lemah, tidak menggunakan panggung khusus. Cukup beralaskan tikar, menggunakan satu gedebog (batang pohon pisang) yang masing-masing ujungnya ditancapkan batang kayu dadap. Kedua kayu tersebut dihubungkan dengan benang putih yang disebut benang tukelan atau di beberapa tempat disebut benang pipis. Tidak perlu memasang kelir (layar) karena benang tukelan itu digunakan untuk menyandarkan wayang, pengganti kelir.

Pada masing-masing ujung benang, digantunglah pis bolong satakan (uang kepeng berjumlah 200 keping) atau ada pula yang menggunakan 11 kepeng. Oleh karena pertunjukannya berlangsung di siang hari dan tanpa kelir, maka tidak diperlukan lampu blencong atau alat penerangan lainnya. 

Namun di daerah Buleleng, Bali, ada dalang memakai lampu blencong dalam pertunjukan wayang lemah. Sementara di Tabanan, selain ada yang memakai lampu blencong, ada juga dalang memakai lampu sentir atau pelita. Namun lampu itu dibuat dari kulit telur sebagai tempat bahan bakar minyak kelapa, serta sumbunya dibuat dari sigi kompor minyak tanah atau benang tukelan.

Pertunjukan wayang lemah, dipentaskan dengan jumlah anggota sekaa (grup) yang minim, paling sedikit 3 sampai 5 orang, yang terdiri dari seorang dalang, dan satu atau dua pasang penabuh gender wayang. Namun ada juga dalang yang menggunakan dua pasang gender wayang dan dua katengkong sehingga jumlah personil yang diperlukan termasuk dalang adalah tujuh orang.

Dalam tradisi berkesenian di Bali, sebelum pertunjukan seni maupun wayang akan selalu dimulai oleh pelaku seni dengan mengucapkan doa-doa agar pementasannya lancar dan sukses. Doa tersebut sudah tentu disertai sesajen atau banten persembahan. Bentuk sesajen tersebut tentu saja berbeda-beda untuk setiap dalang.

Cerita atau lakon yang digunakan dalang biasanya diambil dari Itihasa (cerita Ramayana dan Mahabharata) dan disesuaikan dengan jenis upacara. Jika pertunjukan itu dilakukan pada upacara Dewa Yadnya, maka lakon cerita diambil dari kisah yang menceritakan upacara, misalnya Kunti Yadnya. Tapi bila pertunjukan dilangsungkan pada upacara Bhuta Yadnya, maka lakon ceritanya adalah Bima Dadi Caru, yaitu cerita ketika Bhima mengorbankan dirinya sebagai caru kepada Raksasa Baka.

Sedangkan jika pertunjukan berlangsung pada upacara Pitra Yadnya, maka lakon yang disajikan adalah Bima Swarga atau cerita lain yang mengisahkan perjalanan roh ke surga. Jika pertunjukan itu diadakan untuk Upacara Manusa Yadnya, maka lakon yang digunakan dalang adalah cerita yang mengisahkan perkawinan, misalnya perkawinan Arjuna-Subadra, atau perkawinan Abimanyu-Uttari.

Lakon-lakon pementasan wayang lemah tersebut dikemas sedemikian rupa, dan disesuaikan dengan durasi upacara. Biasanya, pertunjukan wayang Lemah dimulai bersamaan dengan diawali pemujaan oleh Pandita (pemimpin upacara agama Hindu). Demikian pula akhir pertunjukan akan ditutup jika pandita sudah mengakhiri pemujaan.

Maka, jika pemujaan Pandita berlangsung lama, pertunjukan wayang lemah juga akan berlangsung lama atau sekitar dua jam. Demikian pula sebaliknya, pertunjukan wayang bisa pendek sekitar 30 menit saja jika durasi pemujaan pandita berlangsung pendek. (Vey si Sendal Jepit)***  

komentar

Komen yang ditutup, tetapi jejak balik dan ping balik terbuka.

%d blogger menyukai ini: