Awal Mula Tradisi Membangunkan Sahur
SAAT bulan Ramadan ada berbagai tradisi yang turut memeriahkan saat berbuka maupun sahur, mulai dari makanan, tradisi buka bersama maupun tradisi cara membangunkan sahur. Tradisi dan budaya yang berangkat dari kearifan lokal ini tumbuh di tiap tiap daerah maupun negara.
Tiap daerah memiliki tradisi yang unik sekaligus mengundang ketertarikan antar generasi, karena tradisi memang ada karena diturunkan dari generasi ke generasi. Semua ini merupakan kegiatan sederhana masyarakat lokal untuk memberi arti dari keistimewaan bulan suci yang penuh berkah ini.
Seperti juga salah satu tradisi klasik di Timur Tengah adalah membangunkan warga untuk segera melaksanakan sahur. Sejak kapan tradisi membangunkan orang sahur dikenal dalam sejarah Islam? Berikut penjelasannya:
1. Awal tradisi membangunkan sahur
Prof Hindun Badari dalam makalahnya yang berjudul “Al-Mushirati min Duqqat At-Thabul ila Al-Insyad wa Al-Aghani,” mengemukakan tentang seluk-beluk dan asal mula tradisi membangunkan sahur di wilayah Timur Tengah. Aktivitas yang pada mulanya dilakukan secara sukarela tersebut dikenal dengan berbagai sebutan.
Di Arab Saudi, pelakunya dijuluki az-zam zami, di Kuwait disebut Abu Thubailah, dan di Mesir akrab dikenal dengan sebutan Al-muskhirati. Tradisi ini dipraktikkan di beberapa negara Muslim seperti Mesir, Suriah, Sudan, Arab Saudi, Kuwait, Yordania, Lebanon dan Palestina.
Mereka juga memiliki gaya, media, dan yel-yel yang berbeda-beda sesuai dengan karakter lokal di tiap-tiap negara. Nyanyian yang dilantunkan berisikan syair tentang ajakan dan seruan untuk segera bangun sahur.
Menurut Prof. Hindun, sebenarnya cikal bakal aktivitas membangunkan sahur itu sudah ada sejak zaman Rasulullah SAW. Ketika itu, adzan yang dikumandangkan oleh Bilal bin Rabah menjadi penanda waktu berbuka. Sedangkan waktu sahur, patokannya ialah adzan yang dikumandangkan oleh Abdullah bin Ummi Maktum.
2. Orang pertama yang membangunkan sahur
Sementara itu, Gubernur Mesir, Atabah bin Ishaq yang berkuasa di Mesir pada era pemerintahan Khalifah Dinasti Abbasiyah, Al-Munthashir Billah (861-862 M), disebut-sebut sebagai al-muskhirati pertama.
Saat itu, tepatnya pada 238 H, ia merasa terpanggil untuk berkeliling di Kota Kairo (Fustat lama) untuk membangunkan penduduk agar tidak terlambat untuk melaksanakan sahur.
Dengan berjalan kaki dimulai dari di Kota Militer, dan berakhir di Masjid Amar bin Ash yang berlokasi di Kairo Lama, Fustat. Ia meneriakkan ungkapan, “Wahai hamba Allah, sahurlah. Karena sesungguhnya dalam sahur terdapat berkah.”
Sejak itulah, profesi Al-Mushirati, sangat dihormati. Hal ini dikarenakan seorang gubernur langsung yang mengawali untuk turun tangan membangunkan warganya untuk sahur.
3. Yel-yel makin beragam
Yel-yel yang diteriakkan pun kian bervariatif. Apalagi, di masa Abbasiyah yang terkenal dengan kemajuan di bidang syair. Sebagian liriknya telah menggunakan tata bahasa dan bernilai sastra tinggi.
Misalnya, kalimat: “Ya niyyaman quman,quman lis sahuri quman (wahai orang yang lelap tidur bangunlah untuk sahur). Tokoh Al-Mushirati yang paling terkenal dengan penggunaan kalimat itu ialah Ibnu Nuqthah di Baghdad.
4. Perempuan pertama yang membangunkan sahur
Profesi membangunkan sahur tak hanya dilakukan kaum pria, tapi juga digeluti oleh kaum perempuan. Ketika Dinasti Thulun menguasai Mesir (254 H-292 H /868 M-967 M), pemerintah membuka kesempatan bagi para perempuan untuk terlibat juga dalam profesi ini.
Di abad ke-19, nama Alis Ihsan didaulat sebagai perempuan pertama yang menjalankan profesi sebagai Al-Mushirati. Hanya saja ruang geraknya terbatas, kaum perempuan membangunkan warga untuk sahur hanya boleh dilakukan lewat jendela rumah.
Selain itu, ada syarat yang harus mereka penuhi untuk menggeluti profesi membangunkan sahur ini yaitu harus memiliki suara yang merdu dan figur yang sudah dikenal di kampung.
5. Mulai jarang dilakukan
Tradisi membangunkan sahur di Timur Tengah kini kian redup di sebagian wilayah. Profesi membangunkan sahur tak lagi menarik dilakoni anak muda zaman now.
Pasalnya, tradisi ini mulai tergeser oleh kemajuan teknologi yang memberikan alternatif lebih efektif dan efisien untuk membangunkan sahur seperti bunyi alarm atau pekikan keras dari pengeras suara di masjid.
Begitu juga dengan di Indonesia, meskipun memiliki tradisi yang unik untuk membangunkan sahur, sayangnya aktivitas ini menuai pro dan kontra dari masyarakat karena sebagian menganggapnya mengganggu ketertiban umum.
Hal ini terkait dengan larangan membuat kegaduhan di malam hari yang diatur dalam Pasal 503 angka 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan diancam dengan kurungan paling lama tiga hari atau denda hingga Rp 225 ribu.(Vey si Sendal Jepit)***
Komen yang ditutup, tetapi jejak balik dan ping balik terbuka.