METRUM
Jelajah Komunitas

Kita Tunggu, Kinerja Kabinet ‘Beli Satu Dapat Dua’

PENGAMAT politik dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Tunjung Sulaksono berharap momen reshuffle kabinet, Rabu (22/12/2020) lalu, diterima sebagai realitas politik. Masuknya Sandiaga Uno ke kabinet, melengkapi langkah Prabowo Subianto setahun sebelumnya. Padahal keduanya disokong penuh pendukung mereka untuk melawan Joko Widodo – Ma’ruf Amin pada Pilpres 2019, dengan banyak pengorbanan.

“Ya begitulah. Perbedaan politik itu boleh-boleh saja, tetapi enggak usah sampai baper (terbawa perasaan-red). Karena nyatanya, yang diperjuangan mati-matian, berdarah-darah, sampai harus bermusuhan di medsos, ya seperti ini hasilnya,” ujar Tunjung, seperti dilansir dari VOA.

Sandiaga Uno yang dilantik menjadi Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, di Istana Negara, Rabu, 23 Desember 2020. (Foto: Biro Pers Sekretariat Presiden)
Sandiaga Uno yang dilantik menjadi Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, di Istana Negara, Rabu, 23 Desember 2020 (Foto: Biro Pers Sekretariat Presiden).*

Sejumlah meme terus beredar di media sosial terkait masuknya Sandiaga Uno ke dalam kabinet, yang mempertemukan kembali empat orang itu. Di antara kalimat yang paling populer adalah ‘Beli Satu Dapat Dua’, dan ‘Besok Tak Perlu Pemilu, Cukup Hompimpa.’

Jokowi, Ma’ruf Amin, Prabowo dan Sandiaga Uno, lebih setahun yang lalu berada di panggung yang sama untuk berdebat tentang berbagai isu. Mulai pekan ini, keempatnya akan bersatu di ruang rapat untuk membahas langkah bersama dalam melaksanakan program-program pemerintah.

Tunjung mengingatkan, sejak awal Jokowi memperlihatkan bagaimana cara dia memilih seseorang untuk menjadi menteri. Masuknya Prabowo dan Sandi, ke dalam kabinet, adalah wujud pengaruh partai sekaligus perwujudan hak prerogatif yang dimiliki Jokowi.

“Sejak awal memerintah pada 2014, Jokowi sudah menunjukkan bahwa ini “hakku”, sehingga mau membuat sesuatu hal yang diluar kelaziman, ya itu urusan dia. Jokowi ingin menunjukkan kekuasaan dan hak prerogatifnya,” papar Tunjung.

Namun, Tunjung mengingatkan, di balik rasa kecewa, pemilih juga penting memberi waktu kepada menteri baru. Lepas dari soal latar belakang mereka yang menjadi perdebatan, kinerja seseorang hanya bisa dilihat setelah dia diberi kesempatan.

Di sisi lain, ada harapan agar politik di Indonesia tidak menuju ke sistem kartel, seperti yang ada di sejumlah negara Amerika Selatan. Model politik ini, lanjutnya, mengakibatkan tidak ada suara kritis dan memunculkan kenduri terhadap anggaran negara, karena tidak ada mekanisme pengawasan.

“Istilah kartel itu kesannya lebih negatif, sebenarnya itu sebuah upaya untuk memperluas koalisi. Di sana, semua partai dipanggil ke Istana oleh presiden, kemudian sebagai wujud loyalitas kepada pemerintah, semua partai dikasih kursi di kementerian,” ujar Tunjung.

Putus Koneksi Pemilih-Politisi

Wawan Sobari, pengamat politik dari Universitas Brawijaya, Malang, juga mengatakan bisa memahami kritik satir dari masyarakat di media sosial, pasca masuknya Sandiaga ke kabinet. Seolah, perselisihan besar di kalangan pemilih yang membuat mereka terbelah selama Pilpres 2019, menjadi tidak berarti lagi. Tidak hanya di kalangan menengah, Wawan mengaku bisa mendengar keluhan serupa dari masyarakat bawah.

Akhirnya, kata Wawan, tidak ada pihak yang diharapkan bisa melakukan tugas pengawasan dan perimbangan kekuatan.

Pengamat politik Universitas Brawijaya, Malang, Wawan Sobari.(Foto: Dok Pribadi)
Pengamat politik Universitas Brawijaya, Malang, Wawan Sobari (Foto: Dok Pribadi).*

“Pemilu itu tidak hanya sebagai rekrutmen elit, tetapi harusnya menjadi pintu bagi koneksi, kontrol, antara konstituen dengan partai, termasuk dalam membentuk pemerintahan. Sehingga apa yang mereka janjikan dalam pemilu, itu betul-betul mereka lakukan di masa pemerintahan. Kalau seperti ini, seolah-olah ingin total govern ability, pokoknya dikuasai seluruh parlemen,” ujar Wawan.

Wawan membahas sebuah artikel yang ditulis agamawan Romo Frans Magnis Suseno menjelang Pemilu 2019. Romo Magnis mendorong masyarakat untuk memilih, agar mencegah yang terburuk berkuasa, ketika itu. Pesan itu, menjadi buyar karena pihak yang disebut sebagai terburuk itu, akhirnya juga masuk ke pemerintahan.

“Ini memang agak keluar dari situasi. Bisa jadi ini keunikan dalam sistem presidensial di Indonesia. Unik itu, juga artinya bisa aneh,” tambah Wawan.

Apakah kemudian ini bentuk dari Demokrasi Pancasila? Menurut Wawan, perlu penegasan terlebih dahulu apa yang mencerminkan Demokrasi Pancasila itu. Apakah Demokrasi Pancasila dimaknai sebagai bersaing terlebih dahulu, kemudian musyawarah kemudian.

“Karena seolah-olah menjadi begitu. Musyawarah untuk power sharing,” lanjutnya.

Wawan mengingatkan, kondisi saat ini sebenarnya dalam konteks demokrasi, menjadi tidak begitu sehat. Seharusnya, kesehatan demokrasi ditentukan oleh akuntabilitas. Ada 44,5 persen suara pemilih yang dititipkan kepada Prabowo-Sandi. Tentu saja, ketika memberikan pilihan, mereka meminta kalaupun kalah dalam pemilu, yang didukung harus menjadi penyeimbang. Harapan itu, kata Wawan, tidak terjadi.

Apa yang terjadi juga menjadi bukti bahwa elit politik di Indonesia, terputus dari konstituen mereka. Apapun pilihan masyarakat dalam Pemilu, tidak memberikan dampak bagi elit politik. Pemilu yang sebenarnya menjadi ajang bertarung gagasan yang disajikan kepada publik, berubah menjadi ajang meraih suara saja.

“Menjadi kesulitan, bagaimana kita mau mengukur akuntabilitas dari pemenang pemilu, kalau yang kalah menjadi bagian dari pemenang itu,” pungkas Wawan. (M1-VOA/ns/ab)***

komentar

Komen yang ditutup, tetapi jejak balik dan ping balik terbuka.