Musim Hujan, Tantangan 100 Hari Oded-Yana
Laporan Khusus Banjir di Kota Bandung
SEJAK terpilih sebagai Wali Kota Bandung, Oded M Danial berkali-kali mengulang tema 100 hari kerja unggulannya, Bandung Beresih. Dia mengakui betul, tema ini dipandang remeh; bukan proyek fantastis pemuas kebutuhan warga Kota Bandung.
”Tetapi, coba lihat, setiap banjir cileuncang para petugas PU mengeruk banyak sampah di gorong-gorong, sungai, atau saluran air, baru banjirnya surut. Ini tentu menjadi cerminan jika budaya bersih ini tidak populer, tetapi nyatanya sangat berdampak langsung pada masyarakat,” tutur Oded M Danial saat ditemui di Pendopo Kota Bandung, Kamis 25 Oktober 2018.
Ia menyiapkan gerakan Kang PisMan, yaitu Kurangi, Pisahkan dan Manfaatkan Sampah di dalam seratus hari kerja ini. Kurangi sampah berarti kesadaran untuk menggunakan kembali barang yang masih bisa kita gunakan, kertas bekas, botol bekas, plastik, styrofoam, dan bahan yang sulit terurai oleh alam.
Sampah-sampah tersebut selama ini sering ditemui di sungai dan gorong-gorong penyumbat aliran air di saat hujan.
”Maka, sampah yang akan diangkut oleh Pemerintah Kota Bandung melalui PD Kebersihan menuju TPA semakin berkurang. Pemerintah kota akan mengundang seluruh elemen publik untuk bergabung menjadi Balad Kang Pisman,” ujar Oded M Danial.
Pemkot Bandung bakal meningkatkan perhatian untuk penanganan sampah. Percepatan penanganan sampah mulai di tingkat rumah tangga menjadi target Pemkot Bandung untuk menjadi aksi besar hasil gerakan bersama warga. Oded mengatakan, aksi Pemkot Bandung ini sejalan dengan pemerintah pusat yang juga tengah memperhatikan isu sampah sebagai isu nasional.
Sumur resapan
Menghadapi musim hujan, warga juga disarankan memanfaatkan lahan yang tersedia di rumahnya masing-masing untuk membuat sumur resapan. Menurut Oded M Danial, cara tersebut efektif untuk menyimpan cadangan air di dalam tanah.
”Masyarakat yang punya tanah yang agak luas atau sempit juga tidak apa-apa, gunakanlah untuk resapan air,” tuturnya.
Oded M Danial telah mempraktikkannya di rumah pribadinya dengan sumur resapan sedalam 4 meter dan lebar 1,5 meter. Sumur resapan dianggap sebagai cara mudah merekayasa lahan agar lebih mudah menyerap air.
Sumur resapan berfungsi sebagai wadah penampung air hujan agar dapat meresap ke dalam tanah. Bukan hanya itu, sumur resapan juga bermanfaat untuk mencegah erosi dan banjir. Konstruksinya dirancang agar dapat menahan air agar tidak mengalir percuma.
Sumur resapan juga perlu diberi saluran. Saluran pertama adalah untuk jalan air masuk ke sumur melalui talang-talang air. Saluran kedua adalah saluran keluar dari sumur resapan menuju parit untuk membuang limpahan air sumur.
”Sumur itu insyaallah bermanfaat untuk menyimpan air. Dengan demikian, saat musim kemarau, air tetap ada,” ujar Oded M Danial.
Upaya pengendalian
Dalam upaya menghadapi musim hujan, Dinas Pekerjaan Umum (DPU) Kota Bandung mengerahkan tiga unit pengeruk jenis spider yang bisa lincah memasuki jalan kecil. Untuk menghadapi musim hujan, mereka juga menyiagakan 3 mobil pompa, 6 pompa portabel, dan 5 truk. Jika dirasa kurang, DPU Kota Bandung akan berkoordinasi dengan PD Kebersihan menambah armada truk pengangkut sampah.
Ada beberapa sungai yang menjadi perhatian karena menjadi langganan banjir di Kota Bandung seperti Sungai Citepus, Cipamokolan, Cikiley, Cinambo, Cingised, dan Cicadas.
”Yang paling berpotensi banjir adalah Citepus karena alirannya dari hulu cukup deras,” kata Kepala Dinas Pekerjaan Umum Kota Bandung Arief Prasetya, Rabu 24 Oktober 2018.
Di sejumlah titik potensi banjir juga dibangun rumah pompa untuk mengendalikan debit air tinggi. Dengan kendali operator, air diatur buka-tutup untuk mengurangi dampak dari derasnya air kiriman.
”Kalau dari hulu deras, kita tutup dulu, nanti diatur melihat debit air. Bisa juga ditutup agar menahan laju air ketika kita akan mengangkut sampah dan sedimen.
Ada 11 rumah pompa, di antaranya 2 di Rancabolang yang rawan banjir, Cikapayang di Taman Lansia, dan Rancasawo. Masing-masing memiliki satu operator,” katanya.
Anggaran yang dimiliki DPU Kota Bandung pada 2018 sekitar Rp 500 miliar, turun dari 2017 yang mencapai sekitar Rp 700 miliar. Adapun alokasi anggaran terkait penanganan banjir seputar Rp 150 miliar.
Anggaran yang ada dibagi untuk pembangunan dan pemeliharaan jalan, pembangunan dan pemeliharaan drainase dan sumber daya air, pembangunan dan pemeliharaan PJU dan trotoar, serta pemeliharaan daerah aliran sungai.
Kegiatan fisik terkait pencegahan banjir yang dilakukan DPU Kota Bandung meliputi pembangunan kolam retensi, normalisasi sungai, pembuatan tembok penahan tanah (TPT), dan memperbaiki TPT yang rusak.
Menahan banjir dengan kolam retensi
Kepala Bidang Pemeliharaan Dinas Pekerjaan Umum Kota Bandung Tedi Setiadi menuturkan, selama ini mereka telah membangun basement air di Pagarsih dan Gedebage. Pembangunan ini dinilai cukup efektif mengurangi dampak banjir. DPU Kota Bandung akan mencari lahan untuk basement air di Gedebage serta wilayah lainnya.
”Ini cukup efektif, hanya ketika di jalan tidak banjir, ke hilir ada kendala karena ada penyempitan sungai. Seperti di Citepus, lebar sungai dari atas 6 meter menjadi 4 meter di bagian hilir. Malah awalnya Citepus punya lebar 10 meter. Otomatis air semakin deras, semakin menyempit semakin deras, di hilir makin deras, sedangkan di tengah air makin meninggi karena tertahan,” ujarnya.
Penanganan banjir Citepus, kata Tedi, tidak bisa selesai hanya di cross drain Pasteur dan basement air. Selain kolam retensi Sirnaraga yang November 2018 ini akan selesai, masih diperlukan kolam retensi lain di antara aliran Sungai Citepus. Selain itu, perlu ada pelebaran sungai di sejumlah titik.
”Normalisasi air juga terkendala rumah warga yang menempel di bibir sungai, bahkan di atas tembok TPT. Banyak. Itu membahayakan. Mudah-mudahan masyarakat sadar akan bahayanya,” katanya.
Sejauh ini, Kota Bandung baru memiliki kolam retensi di Taman Lansia, Sirnaraga, dan tiga kolam di Sarimas, Arcamanik. Biaya pembangunan kolam retensi cukup besar. Kolam retensi Sirnaraga dengan luas lahan 6.491 meter persegi membutuhkan Rp 5,45 miliar. Lahan yang dibutuhkan untuk satu kolam retensi idealnya lebih dari 1.000 meter persegi.
Solusi lain
Dalam waktu dekat, DPU Kota Bandung akan menggandeng Kementerian PU, Pusjatan, serta perguruan tinggi, untuk mengkaji sejumlah solusi baru. Saat ini DPU Kota Bandung menguji sumur resapan di tepi jalan.
Sumur resapan tepi jalan ini akan ditanam di bawah saluran masuk air. Fungsinya menampung aliran air dari badan jalan menuju tali-tali air. Air akan tertampung di sebuah ruang berdiameter satu meter, dengan kedalaman sesuai syarat.
”Kalau hanya mengandalkan kolam retensi, memerlukan idealnya 1.000 meter. Sumur resapan ini fungsinya mengalirkan air ke gorong-gorong dan tali-tali air, juga meresapkan air ke permukaan tanah di bawah sumur. Jadi, tidak hanya untuk perumahan. Kita akan coba ini dengan perguruan tinggi teknik sipil,” katanya.
Selain di jalanan kota, sumur resapan ini juga untuk menyiasati kebutuhan lahan di dataran tinggi. Tedi mengatakan, untuk menahan laju air dari wilayah utara idealnya ada tampungan seperti kolam retensi atau sumur resapan di jalur air menuju hilir. Titik-titik penampung air itu dibutuhkan sepanjang timur ke barat.
”Ada juga saluran air di bawah tali-tali air yang fungsinya menjadi jalur khusus air, mendampingi gorong-gorong di sampingnya,” ujar Tedi.
Akar persoalan belum teratasi
Pakar hidrologi (ilmu tentang air) Universitas Padjadjaran Chay Asdak menilai, persoalan banjir di Kota Bandung relatif sama saja. Lantaran belum ada upaya penyelesaian yang menyeluruh. Penanggulangan banjir cenderung seperti mengobati di titik-titik banjir saja. Padahal, menurut Chay, akar persoalan harus diselesaikan.
Salah satu akar persoalan banjir di Kota Bandung ialah belum adanya penyelesaian di kawasan Bandung utara (KBU). Wilayah tersebut berada pada dataran tinggi yang membentuk cekungan Bandung.
Chay mengatakan, KBU mempunyai kerawanan secara hidrologis. Perjalanan air melewati daerah-daerah itu (run-off) waktunya sangat pendek. Konsentrasi air hujan dari titik jatuh sampai ke Kota Bandung, sebagai daerah yang paling rendah, sangat cepat. Padahal, air perlu waktu yang lambat agar terjadi infiltrasi (perembesan).
Kesempatan infiltrasi itu kian berkurang dengan perubahan alih fungsi lahan. Vegetasi berubah menjadi bangunan. ”Ini kenapa di Kota Bandung sering terjadi banjir,” katanya.
Persoalan itu diperparah dengan drainase jalan di Kota Bandung yang jauh lebih sedikit dibandingkan dengan panjang jalan yang dimiliki. Data Pemkot Bandung tahun 2014 menunjukkan bahwa panjang jalan mencapai 1.179 kilometer, sedangkan drainasenya hanya 293,1 kilometer, atau tak lebih dari seperempatnya saja.
”Sementara air yang lewat volumenya banyak dan cepat, sedangkan jalan keluar airnya sangat terbatas,” tuturnya.
Chay mengatakan, kemiringan permukaan tanah merupakan faktor alamiah, demikian pula dengan curah hujan. Tapi, perubahan fungsi lahan dan ketersediaan drainase merupakan faktor yang harus bisa dikendalikan.
Sawah yang hilang
Sawah-sawah di kawasan Bandung timur bagian selatan seperti Gedebage dan sekitarnya kini telah berubah menjadi permukiman. Padahal, kata Chay, sawah-sawah itu berfungsi pula sebagai kolam retensi. Air-air yang mengalir dari kawasan dataran tinggi akan berhenti di area tersebut.
Chay mencermati, banjir besar yang terjadi di Cicaheum terlihat air bertekanan kuat keluar dari gang-gang di area tersebut.
”Lumpur itu menunjukkan longsoran atau erupsi yang besar. Drainase sudah tak mampu lagi menampung. Drainase tidak berfungsi,” tuturnya.
Pemerintah perlu membuat solusi yang terkoneksi antara Bandung di utara sampai selatan. Di selatan, pengembang sudah menjanjikan membuat danau retensi yang besar.
”Biasanya kalau pengembang membangun itu untuk kepentingannya sendiri. Lalu bagaimana warga yang di luar itu? Jangan sampai di kawasan itu tidak banjir, tapi di luar justru menimbulkan banjir di kawasan lain. Itu tidak adil. Maka, peran pemerintah harus hadir di sana,” tuturnya.
Chay mengingatkan, satu kolam retensi saja tak cukup menjadi solusi banjir Kota Bandung. Kolam retensi harus dibangun di walayah-wilayah lain, termasuk di dataran tinggi.
”Prinsipnya bagaimana menahan air sebanyak mungkin dan selama mungkin,” ujarnya.
Kolam-kolam retensi perlu dibangun pula di kawasan lain yang ada di sekitar Kota Bandung. Tak hanya kolam retensi, sumur resapan juga perlu diperbanyak.
Pemerintah perlu mendorong pembuatan kolam retensi dan sumur resapan dengan memasukkannya dalam instrumen perizinan. Dengan begitu, akan ada paksaan kepada pemohon izin untuk ikut serta membuat infrastruktur penanggulangan banjir.
Upaya ini yang selama ini, menurut Chay, belum terlihat. Sejauh ini baru kewajiban ruang terbuka hijau (RTH) saja yang sudah masuk perizinan.
Badan otoritas tak efektif?
Menurut Chay, dorongan semacam itu bisa dilakukan. Apalagi sektor swasta relatif mempunyai kemampuan finansial untuk membuat kolam retensi ataupun sumur resapan.
Meskipun demikian, pada skala rumah tangga pun perlu didorong. ”Nanti bentuknya bisa berupa insentif. Mereka yang sudah membuat sumur resapan bisa mendapatkan insentif tertentu yang ditentukan oleh pemerintah,” tuturnya.
Chay menekankan, Kota Bandung tak bisa mengatasi banjir sendirian. Upaya penanggulangan juga harus dilakukan bersama-sama dengan kabupaten dan kota yang ada di sekitarnya. Oleh karena itu, menurut Chay, bentuk pengelolaan bersama yang tepat ialah kerja sama. Misalnya dengan melahirkan perda bersama untuk mengelola cekungan Bandung atau perda bersama tentang penataan tata ruang dan wilayah Cekungan Bandung.
Chay justru pesimistis jika bentuk Badan Otorita Cekungan Bandung mampu melakukan kerja-kerjanya secara optimal. ”Badan otorita itu sifatnya mengambil kewenangan pemerintah. Ini bisa menimbulkan konflik tersendiri,” katanya.
Apalagi, Indonesia punya pengalaman dengan badan otorita semacam ini. Badan otorita yang mengelola Batam sempat berjaya pada era Orde Baru tetapi kemudian dibubarkan. ”Badan otorita itu kuat kalau pemerintah pusatnya kuat,” kata Chay.
Ia berpendapat, kolaborasi atau kerja sama lebih cocok untuk mengelola cekungan Bandung.(Sumber: Pikiran Rakyat, 30/10/2018)***