Olimpiade Tokyo: Gebrakan Atlet Perempuan Memutus Ketimpangan Gender
PERHELATAN olahraga elit empat tahun sekali ini mengukir sejarah baru. Olimpiade Tokyo membuka kesetaraan bagi atlet perempuan khususnya atlet yang juga seorang ibu.
Olimpiade Tokyo 2020 sempat tertunda lantaran gelombang pandemi COVID-19. Belum mulai, heboh mencuatnya perdebatan isu gender oleh Presiden Komite Penyelenggara Olimpiade Tokyo Yoshiro Mori yang buntutnya terpaksa mundur pada 12 Februari (12/02/2021) lalu. Pernyataan mantan PM Jepang membuat geram publik dengan menyudutkan bahwa perempuan “terlalu banyak bicara”.
Menyoroti masalah pria berusia 83 tahun itu, Jepang sebagai tuan rumah penyelenggara pesta olahraga terbesar ini dinilai tertinggal soal kesetaraan gender. Berdasarkan peringkat kesetaraan gender World Economic Forum, Jepang duduk di peringkat 121 dari 153 negara.
Representasi atlet perempuan di ajang olimpiade
Representasi perempuan pada ajang bidang olahraga masih kalah dari laki-laki. Menjadi tantangan bagi perempuan agar mengimbangi laki-laki, yang mana perannya sebagai atlet maupun pelatih.
Kabar baik ketika total hampir 11.000 atlet yang dikirim mewakili berbagai negara, sekitar 49% adalah perempuan di Olimpiade Tokyo tersebut. Hingga digadang menjadi olimpiade yang mencapai kesetaraan gender, jauh dari olimpiade tahun-tahun sebelumnya.
Dilema para atlet yang menyusui
Pertama kali perempuan berpartisipasi di Olimpiade Paris 1900 yaitu atlet golf Margaret Ives ABBOTT. Namun, di Olimpiade Tokyo menonjolkan hambatan yang dihadapi para sosok ibu ketika harus memperjuangkan diri bersaing meraih tempat yang mereka dambakan selama ini sebagai seorang atlet. Pandangan komite berubah saat melihat banyak permintaan atlet perempuan untuk membawa anak yang masih membutuhkan ASI.
Dilema menimpa para ibu menyusui, akibat Komite melarang membawa anak karena pembatasan penyebaran COVID-19. Seperti pemain basket asal Kanada, Kim Boucher membuat permohonan melalui media sosial agar diizinkan membawa anaknya yang berusia 3 bulan ikut bersamanya. Panitia penyelenggaran melontarkan penolakan permintaan Boucher. Tekanan media internasional begitu kuat dan besar, Komite Olimpiade Internasional (IOC) akhirnya luluh dan mempersilakan para atlet membawa anak dalam masa menyusui ke Tokyo.
Meskipun akomodasi membawa anak diluar tanggung jawab Komite. Para atlet menyusui tidak bisa tinggal di Perkampungan Atlet demi kenyamanan atlet lainnya.
Berbeda dengan atlet renang Ona Carbonell yang kecewa tidak bisa membawa serta bayi mungilnya ke Tokyo meski telah melayangkan petisi. Ona sendiri cukup lantang akan pentingnya ASI bagi anak.
Impian berlaga di tokyo 2020
Begitu pula petinju asal Kanada Mandy Bujold yang tak rela jika langkah impiannya harus terhenti. IOC memutuskan memperhitungkan kriteria peringkat berdasarkan di tiga kompetisi pada tahun 2018-2019. Lantas Bujold tak ikut berpartisipasi lantaran kehamilannya. Ia pun mengajukan gugatan ke Pengadilan Arbitrase Olahraga (CAS) dan menang atas gugatannya membuat Bujold mampu mewujudkan mimpinya tampil di Olimpiade Tokyo.
Gebrakan para ibu
Spinter Amerika Serikat Allyson Felix kembali ke Olimpiade pertamanya pasca kehamilan di tahun 2019. Dilansir The Conversation, setelah putus dengan sponsor lama Nike, advokasi vokal Felix telah memaksa perusahaan besar untuk mempertimbangkan kembali bagaimana mereka mendukung atlet perempuan sebelum dan sesudah kehamilan.
Nike menanggapi aksi Felix, lalu mengumumkan kebijakan bersalin baru untuk atlet yang disponsori pada Agustus 2019. Kebijakan tersebut memperpanjang jumlah waktu gaji dan bonus atlet hamil tidak dapat dipotong, dari 12 menjadi 18 bulan.
Seraya dengan atlet dayung Helen Glover, yang merupakan ibu pertama yang dimasukkan ke dalam tim dayung Olimpiade Inggris. Juga butuh waktu lama untuk tim nasional paling produktif dan cabang olahraga yang mendapat dana terbesar mencapai tonggak sejarah ini.
Riset keamanan atlet selama dan pasca kehamilan
Biasanya partisipasi atlet perempuan menurun ketika mereka hamil. Mereka membuat perlawanan terhadap stigma masyarakat mengenai narasi “santai” selama dan setelah kehamilan. Mereka mematahkan stereotip dan buktikan dengan maju terus bersaing.
Terdapat penelitian dari National Library of Medicine tentang dampak partisipasi olahraga elit selama dan setelah kehamilan pada hasil kesehatan dan kembali ke olahraga melalui The Conversation.
Hasil penelitian menunjukkan bukti tentang keamanan partisipasi olahraga elit pada atlet papan atas selama kehamilan, seperti proses menjalani kehamilan, persalinan, dan kelahiran memiliki kebugaran serupa dengan atlet papan menengah dan olahragawan. Ditemukan beberapa bukti pengurangan penyakit kehamilan umum, seperti nyeri punggung karena olahraga.
Tidak ditemukan indikasi pertambahan berat badan kehamilan dan depresi atau kecemasan pada ibu. Tida ada perbedaan antara para atlet elit dan kontrol terhadap hasil lainnya.
Kehamilan tidak merengut kiprah perempuan sebagai atlet, bukan semata-mata kembali ke olahraga saja, mereka terus mencetak rekornya dan memasuki dunia baru sebagai ibu. Kini tak perlu membuat posisi perempuan dalam kekhawatiran dan bingung untuk memilih berjuang sebagai atlet atau mengurus anak. Mereka bisa menjalani keduanya secara berdampingan. Pada dasarnya olahraga itu penting guna mendukung kesehatan para atlet. (Ana Siti Ghania/JT)***
Sumber:
- Purnama, Basuki Eka. 2021. Menang di CAS, Petinju Kanada Bisa Berlaga di Olimpiade Tokyo. Media Indonesia.
- Thornton, Jane. Margie Davenport. 2021. Olimpiade Tokyo Menjadi Olimpiade Bersejarah Bagi Para Ibu. The Conversation.
- Wowdzia, Jenna B. Tara-Leigh McHugh, Jane Thornton, Allison Sivak , Michelle F Mottola, Margie H Davenport. 2021. Elite Athletes and Pregnancy Outcomes: A Systematic Review and Meta-analysis. National Library of Medicine.
Komen yang ditutup, tetapi jejak balik dan ping balik terbuka.