METRUM
Jelajah Komunitas

Wayang Wahyu, Kisah Al-Kitab Dalam Pertunjukan Wayang

PERTUNJUKKAN wayang merupakan kesenian khas nusantara yang seringnya kita dijumpai di Jawa atau Bali. Selain jadi sarana hiburan, dalam perkembangannya, wayang juga dimanfaatkan sebagai sarana media informasi untuk menyebarkan ajaran agama, salah satunya adalah Wayang Wahyu yang digunakan untuk penyebaran agama Katolik.

Meski tak sepopuler pertunjukan wayang kulit yang berisi penyebaran ajaran Hindu maupun Islam, kemunculan wayang wahyu menjadi bagian penting yang membingkai semangat inkulturasi budaya.

Wayang Wahyu “Ngajab Rahayu” ini diciptakan oleh seorang biarawan Katolik, yaitu Timotheus L. Wignyosoebroto FIC, di Surakarta, pada tahun 1960.

Ide awal terciptanya wayang wahyu dimulai ketika Bruder Timotheus menyaksikan pentas wayang kulit dalang MM Atmowijoyo, tahun 1957, di gedung Himpunan Budaya Surakarta. Waktu itu lakon yang dipentaskan bukanlah lakon Mahabharata atau Ramayana, tapi lakon Dawud Nampa Wahyu Keraton yang diambil dari Al-Kitab (Injil) Perjanjian Lama.

Saat itu, wayang yang digunakan adalah tokoh-tokoh wayang kulit biasa, karena belum mempunyai wayang khusus untuk penyebaran agama Katolik. Bruder Timotheus lalu mengusulkan dibuat wayang khusus yang berbeda dari wayang kulit yang lazim di masyarakat. Maka diciptakanlah wayang yang menyerupai tokoh-tokoh seperti dalam Al-Kitab.

Wayang wahyu makin dikenal masyarakat khususnya umat Katolik di Indonesia setelah mengikuti pentas pada Pekan Wayang Indonesia I (1969) dan Pekan Wayang Indonesia II (1974). Wayang wahyu dipentaskan tidak hanya di lingkungan Gereja Katolik, tetapi juga di luar lingkungan gereja seperti saat perayaan Hari Raya Paskah dan Hari Raya Natal yang selalu disiarkan RRI Surakarta.

Pagelaran wayang ini diiringi dengan gamelan jawa dengan nyanyian atau gending lagu-lagu Gerejani. Namun dalam suluknya (semacam kidung yang dilantunkan oleh dalang dalam pertunjukan wayang), masih tetap menampilkan gaya dan irama tradisional namun dengan kreasi lirik yang baru. (Suluk berasal dari kata dalam bahasa Arab, Sulukun, yang artinya, (petuah/nasihat) menempuh jalan kebenaran)

Wayang wahyu, saat ditampilkan, memiliki jam tayang yang lebih pendek. Hanya dua hingga empat jam, berbeda dengan pertunjukan wayang purwa yang mencapai tujuh sampai sembilan jam. (Vey si Sendal Jepit)***  

komentar

Komen yang ditutup, tetapi jejak balik dan ping balik terbuka.