Berhenti Basa-Basi Sambil Body Shaming
Oleh Ana Siti Ghania*
KESAN pertama tak bisa lepas dari perhatian seseorang ketika bertemu sosok yang baru dikenal atau lama tidak dijumpainya. Tubuh merupakan aset dan citra utama yang ditampilkan dalam menilai seseorang.
“Eh nambah gedean aja badan teh”
Begitulah kalimat template yang pakem, wajib, harus saya terima di beberapa kesempatan di mana sanak saudara sedang berkumpul atau sekedar berkunjung ke rumah. Tangan saya bahkan belum melandai untuk bersalaman, tapi malah didahului oleh ocehan mereka mengomentari tubuh saya. Mungkin niatnya sebagai bahan basa-basi, namun berujung mempermalukan diri saya. Entahlah apa maksud dan tujuan sebenarnya.
Menurut saya itu ramah-tamah yang toxic. Dewasa ini, rasanya kurang etis jika menilai seseorang hanya dari bentuk fisiknya saja. Saya mungkin tidak terlahir dengan proposisi fisik yang ideal, yang mana cenderung berisi.
Awalnya, saya merasa malu dan sempat berada di fase benci pada tubuh diri sendiri akibat perkataan saudara hingga teman. Seakan-akan wujud saya sangat memakan ruang di dunia ini. Berbagai hal agar saya cicipi agar menjadi kurus, salah satunya diet. Alhasil, hanya membuat saya jatuh sakit.
Kasus seperti ini tidak hanya menimpa saya, pasti banyak orang di luar sana mengalami perilaku serupa, bagaimanapun ukuran dan apapun gendernya. Lalu saya semakin sadar, bahwa fenomena tersebut dikenal dengan body shaming.
Body shaming yakni perilaku menjelek-jelekkan dan mengomentari penampilan fisik orang lain. Tak jarang alasan orang melakukan body shaming itu ingin mencairkan suasana, sebagai dalih candaan, hingga memang ada maksud terselubung untuk menghina. Mereka tidak sadar kalau perilaku tersebut mengarah pada perundungan (bullying).
Sayangnya, masyarakat masih melanggengkan standar kecantikan tradisional. Tindakan ini menimbulkan dampak negatif bagi kesehatan mental korbannya. Mulai dari gangguan anoreksia, gangguan perilaku makan (Binge Eating Disorder), sampai depresi. Serta berpotensi melakukan self-objectification, seperti munculnya rasa malu dan cemas dengan ukuran atau bentuk tubuh diri sendiri.
Dilansir melalui Detik, menurut data Kepolisian tahun 2018, sebanyak 966 kasus penghinaan fisik yang ditangani oleh polisi di seluruh Indonesia. Body shaming di Indonesia dapat diancam dengan dua tindak pidana. Jika mentransmisikan narasi berupa hinaan fisik lewat media sosial akan diatur dalam UU ITE Pasal 45 ayat 1 dan Pasal 27 ayat 3, maka hukuman pidana selama 6 tahun. Sedangkan tindakan body shaming secara verbal dan langsung ditujukan kepada seseorang, dikenai Pasal 310 KUHP dengan ancaman hukuman 9 bulan.
Ramai celetukan body shaming secara terang-terangan dilayangkan kepada atlet angkat besi Nurul Akmal saat momen penyambutan para atlet Indonesia setibanya di bandara dari Tokyo, Jepang selepas Olimpiade Tokyo 2020 (5/8/2021). Jujur, saya tidak suka melihat cuplikan yang beredar di media sosial mengenai aksi bullying itu. Meski demikian, ia menanggapinya dengan santai dan memilh fokus pada kegiatannya ke depan.
Dari Nurul Akmal, kita belajar bahwa penting mencintai diri sendiri. Setiap orang terlahir dengan bentuk yang beragam. Secara kesehatan, metabolisme tiap individu berbeda cara kerjanya.
Sejumlah cara agar dapat mengatasi body shaming, yaitu mencintai diri sendiri (self-love), berpikir positif, kerjakan sesuatu yang bermanfaat, jangan terpatok oleh standar kecantikan yang menuntut kita untuk selalu sempurna. Wajar jika kita memiliki kekurangan dan ubah perspektif mengenai kecantikkan itu sendiri. Tubuhmu, urusanmu.***
*Penulis, Mahasiswi Universitas Informatika dan Bisnis Indonesia (UNIBI)