METRUM
Jelajah Komunitas

Melihat Bandung dari Cermin Berjuluk SimCity

HAMPIR delapan bulan saya menggandrungi permainan SimCity. Produk besutan Maxis ini merupakan permainan membangun kota yang tersedia di komputer bersistem operasi MacOS dan Windows. Dari deretan seri SimCity yang ada, saya kebetulan cocok dengan SimCity 2013. SimCity juga meluncurkan seri mobile, tetapi saya tidak terlalu cocok dengan seri ini. “Kurang nendang,” kalau menurut saya.

Yudha P. Sunandar

SimCity pertama kali muncul ke publik pada tahun 1989 untuk komputer Amiga dan Macintosh, kemudian disusul untuk komputer IBM dan Commodore 64. Aplikasi ini buah karya Will Wright, seorang game desainer asal Amerika. Inspirasinya sepele, gegara dia kecanduan membuat peta ketika memainkan Raid on Bungeling Bay, sebuah permainan perang sederhana yang mengendalikan helikopter untuk menghancurkan musuh. Berangkat dari kesenangan inilah, kemudian pendiri Maxis Software ini memutuskan untuk membangun sebuah aplikasi yang mengajak pemainnya untuk membangun sebuah wilayah.

Dengan segera, SimCity mencuri perhatian masyarakat Amerika kala itu. Pada tahun yang sama dengan peluncurannya, aplikasi permainan ini langsung menyabet beberapa penghargaan. Beberapa di antaranya: Best Entertainment Program, Best Educational Program, Best Simulation Program, Best PC Game, dan Most Innovative Publisher.

Permainan SimCity juga terbilang sukses secara finansial. Tiga tahun setelah peluncurannya, aplikasi ini berhasil menjual satu juta permainan. Pada rentang tahun 1993 hingga 1999, permainan ini berada di posisi 9 untuk permainan komputer paling laris di Amerika dengan 830 ribu unit yang terjual pada rentang waktu enam tahun tersebut.

Kesuksesan ini membuat Maxis meluncurkan SimCity seri lanjutan berupa SimCity 2000 pada tahun 1993, disusul oleh SimCity 3000 pada tahun 1999, serta SimCity 64 setahun kemudian. Selepas Millenium ketiga, SimCity 4 dan SimCity 4: Rush Hour meluncur ke publik pada tahun 2003, kemudian SimCity DS dan SimCity Societies pada 2007, serta SimCity DS2 dan SimCity Creator menyusul setahun setelahnya.

Pada dasawarsa kedua abad 21, SimCity meluncurkan SimCity Social pada tahun 2012. Setahun kemudian, seri berjuluk SimCity kembali meluncur dan publik menamainya sebagai SimCity 2013. Lalu pada tahun 2014, SimCity hadir di platform tablet dan ponsel cerdas dengan julukan SimCity: BuildIt. Berbeda dari seri sebelumnya yang mengharuskan publik membeli produk ini, seri SimCity: BuildIt ini hadir dengan skema freemium.

Saya sendiri baru bersentuhan dengan aplikasi ini pada pertengahan 2018 lalu. Sejak saat itu, saya mulai gandrung dan terbilang kecanduan untuk memainkannya. Menariknya, rasa kecanduan ini muncul ketika saya mulai melihat buanyak kemacetan di Kota Bandung serta kesemrawutan di dalamnya.

Dalam SimCity 2013, sebuah kota harus memiliki infrastruktur dasar serta layanan publik. Infrastruktur dasar sendiri seperti: listrik, air bersih, pengolahan limbah rumah tangga serta jalan dan jembatan. Adapun layanan publik mencakup pemerintahan, keamanan, kesehatan, juga pendidikan.

Keberhasilan dalam membangun kota di SimCity ditentukan seberapa mampu kita mengelola infrastruktur dasar serta layanan publik di dalamnya. Tantangan semakin tinggi tatkala kita harus berhadapan dengan biaya dan kas pemerintahan kota juga bencana. Bagaimana pun, infrastruktur dasar dan layanan publik memerlukan biaya yang sangat besar. Tidak hanya untuk biaya membangun, tetapi juga biaya perawatan.

Meskipun hanya berbentuk simulasi, tetapi SimCity banyak menggelitik saya soal keberlanjutan kota-kota yang ada di Indonesia, khususnya Bandung. Bercermin dari SimCity, Kota Kembang ini begitu rapuh untuk menunjang penduduknya dan menjaga kewarasan pembangunannya, baik di masa sekarang maupun masa yang akan datang.

Misalnya saja, dari hal sederhana berupa zonasi. Dalam SimCity, terdapat tiga jenis zonasi, yaitu: pemukiman (resident), bisnis (commercial), dan juga industri (industry). Ketiga zona ini saling mendukung satu sama lainnya. Pemukiman membutuhkan area bisnis untuk memenuhi kebutuhannya dan tempat para penduduk bekerja. Pemukiman juga membutuhkan area industri sebagai tempat para penduduknya bekerja.

Sedangkan area bisnis membutuhkan industri untuk memproduksi kebutuhan penduduk. Area bisnis juga membutuhkan pemukiman sebagai suplai tenaga kerjanya. Adapun industri membutuhkan area bisnis untuk menyalurkan barang-barangnya. Industri juga membutuhkan pemukiman untuk mensuplai tenaga kerjanya.

Posisi ketiga zona tersebut harus ideal. Bila terlalu jauh, maka perpindahan penduduk dari satu area ke area lainnya akan sulit dan mengakibatkan turunnya minat penduduk untuk tinggal. Bila terlalu dekat, khususnya antara industri dan pemukiman, maka penduduk akan terserang banyak penyakit akibat polusi dari aktivitas industri. Dampak lainnya, nilai lahan area pemukiman dan bisnis akan menurun bila terlalu dekat dengan area industri dan infrastruktur dasar.

Mari kita bandingkan zonasi tersebut dengan Bandung. Di Kota Kembang ini, pabrik bisa berdiri hanya beberapa meter dari pemukiman penduduk. Akibatnya, penduduk bisa dengan mudah “menikmati” aroma limbah cair dan asap yang mengepul dari cerobong pabrik. Area bisnis juga seringkali terlalu jauh dari zona pemukiman. Dampaknya, kita bisa melihat kemacetan mengular antara area bisnis dan pemukiman di pinggiran kota setiap hari kerja.

Soal lainnya yang sempat menggelitik pikiran saya terkait pendidikan masyarakat. Dalam SimCity, pendidikan masyarakat bisa menekan angka kemacetan, kriminal, resiko kebakaran, penggunaan listrik dan air, sampah, serta keluhan kesehatan. Mereka yang bersekolah di GradeSchool di SimCity memiliki kesadaran untuk membangun hidup yang lebih sehat dan baik.

Namun, hal ini justru berbanding terbalik dengan Kota Bandung. Di kota ini, menurut BPS Kota Bandung, angka penduduknya nyaris mencapai 2,5 juta jiwa pada 2016. Pada saat yang sama, pemilik ijazah akademi dan perguruan tinggi berusia lebih dari 15 tahun mencapai 4,17 persen. Hanya terpaut 0,7 persen dari mereka yang tidak memiliki ijazah sama sekali, yaitu sebesar 4,24 persen. Termasuk kategori pemilik ijazah akademi dan perguruan tinggi, yaitu: lulusan diploma III, diploma IV, sarjana, magister, dan doktor. Sedangkan pemilik ijazah SD mencapai 25,12 persen, SMP sebesar 14,51 persen, SMA sebesar 32,09 persen, serta diploma I dan II sebesar 7,97 persen.

Presentase tersebut mencerminkan bahwa hampir semua penduduk di Kota Bandung bersekolah dan memiliki ijazah, meskipun hanya ijazah SD. Hanya saja, kemacetan di kota ini justru semakin meningkat dari hari ke hari. Sumbangsih sampah penduduk juga semakin menggunung dari tahun ke tahun. Pertanyaannya, mereka sekolah untuk apa? Lalu, di mana kesadaran yang seharusnya tumbuh seiring semakin tingginya tingkat pendidikan masyarakat kota?

Ini baru dari sisi zonasi dan pendidikan. Belum masalah transportasi publik, layanan dasar, juga pemerintahan. Barangkali, bila saya menuliskan soal SimCity dan Kota Bandung, bisa jadi satu buku tersendiri. Memang, membangun kota membutuhkan waktu lama dan jauh lebih kompleks dari SimCity. Meskipun demikian, SimCity banyak mengajari saya bahwa membangun kota itu tidak hanya butuh keseriusan, ketekunan, dan ketabahan, melainkan juga membutuhkan pengetahuan soal kota dan masyarakat.(Yudha P. Sunandar)***

komentar

Komen yang ditutup, tetapi jejak balik dan ping balik terbuka.