METRUM
Jelajah Komunitas

MH Romli, Tokoh Penerus Perintis Pers Jawa Barat

Oleh Nada Ahmad

SUATU hari, Saya bertemu dengan Pak Haji Didin D. Basoeni (Almarhum, kartunis Mang Ohle, yang meninggal, Sabtu 17 Desember 2016, pukul 22.45 wib, pada usia 73 tahun). Sebagai senior jurnalis di koran tempat saya bekerja (almarhum merupakan karyawan purnabakti/pensiunan “PR”), Pak Didin sering mengajak ngobrol apa saja menyangkut seluk-beluk dunia jurnalistik. Sebagai anak muda yang menyukai cerita dan pengalaman wartawan zaman baheula, Saya adalah orang yang relatif sering diajak bicara pada hari-hari kedatangannya ke Kantor Redaksi “PR”.

Dalam obrolan santai itu, beliau sering menyebut nama bapak saya (Mochammad Romli atau Moh. Romli, sering ditulis MH Romli di koran) sebagai salah seorang tokoh pers Jawa Barat yang membumi, idealis dan memiliki jiwa nasionalisme yang tinggi. Bahkan untuk urusan politik, menurutnya, MH Romli adalah guru, baginya dan beberapa wartawan lainnya. Kata Pak Didin, membumi dalam arti bapak saya adalah orang yang sangat faham dan perhatian dengan “orang-orang kecil”.

Tidak sedikit orang yang merasakan bantuan bapak saya ini. “Bapa mah berehan, tara itungan, bageur, malah mah bageur pisan,” ujar Pak Didin kepada saya. Rumah bapak di Jalan Muararajeun, daerah Supratman dulu seringkali menjadi rumah singgah bagi saudara, teman, bahkan rekan yang belum lama bapak kenal. Mulai dari anak sekolahan, kuliahan, yang baru lulus kuliah hingga yang mencari kerja sering bapak tampung di rumah. Bapak tidak pernah “Itungan”. Dan, hampir tiap waktu ada saja orang yang berkunjung. Sekadar brainstorming, keluh-kesah, curhat, hingga minta bantuan.

MH Romli saat siaran di RRI Bandung awal tahun 1950an (Foto: Dok. Penulis).*

Tapi, karena punya sifat seperti itu, beliau sering kali “dimanfaatkan” orang. Paling parah ketika mendanai –sebagai pemborong– pembangunan perumahan wartawan di daerah Cijagra, Bandung. Saking percayanya kepada seseorang, ditipu dan diakali habis-habisan oleh pelaksana lapangan sehingga menimbulkan kerugian materi yang cukup besar pada saat itu. Bapak saya sampai harus “habis-habisan” menjual harta benda yang dimilikinya. Mulai dari rumah, tanah, hingga kendaraan. Ini menjadi pelajaran dan hikmah yang berharga bagi kami sekeluarga.

Menurut ibu saya, bapak adalah sobat dari Mang Dudi (H. Dudi Suganda Nandang, alm.) pemilik rumah makan sunda “PONYO” yang cukup legendaris. Persahabatan terjalin, karena bapak sempat memberi bantuan permodalan kepada Mang Dudi saat RM PONYO masih perintisan.

Beberapa sobat bapak pada masa itu adalah Ramadhan KH (bapaknya Gilang Ramadhan), Utuy Tatang Sontani, Dajat Hardjakusumah (bapaknya Bimbo –ketika Pak Dajat jadi ketua PWI Jabar, bapak wakilnya–), Onong Uchyana Effendi (Guru Besar Fikom Unpad), Sanaya (wartawan/penulis), Remy Silado (seniman/sastrawan), Krisna Harahap, Didin D. Basoeni (kartunis mang ohle), Rukmana HS, S. Sukandar, dan Mang Parmin (juragan koran/kertas bekas di bandung).

Sobat lainnya adalah Sakti Alamsyah, Oot Hidayat Natasujana dan Oom Idrus (mereka sama-sama jebolan Departemen Penerangan). Bahkan Sakti Alamsyah, Oot dan Romli sama-sama meninggalkan dunia penyiaran radio dan kemudian aktif di media cetak/koran. Sakti Alamsyah bersama beberapa rekannya, sukses membangun Harian Umum Pikiran Rakyat tempat saya bekerja sekarang ini. Dunia memang sempit!

Krisna Harahap dan MH Romli saat syukuran ulang tahun pertama Koran Mandala (Dok. Pribadi).*

Pada perayaan Hari Pers Nasional Tahun 1997 (1417 H) Tingkat Jabar, PWI Cabang Jawa Barat (Ketua PWI saat itu H.A.M Ruslan) menyerahkan piagam/penghargaan dan katineung kepada para “Perintis Pers Jabar” yaitu Atje Bastaman (85 thn), M.O. Koeman (80 thn), dan R. Rohdi Partaatmadja (80 thn). Sedangkan Moh. Romli (70 thn), memperoleh penghargaan sebagai “Perintis Penerus Pers Jawa Barat”.

Bapak saya yang mendapatkan undangan pemberitahuan saat itu sempat terheran-heran. Kok lama dilupakan, tiba-tiba ada yang mengingat perannya dalam perjuangan pers Jawa Barat. Meski sempat tak mau hadir, atas desakan beberapa orang, akhirnya bapak mau datang juga.

**

Mohammad Romli (27 Juli 1927 – 6 April 2000) –terakhir menjabat sebagai staf ahli, sesepuh merangkap redaktur politik di koran berbahasa Sunda “Giwangkara”– pada Jumat, 6 April 2000, saat umat Islam masih dalam suasana memperingati Tahun Baru Hijriyah 1 Muharram 1421, meninggal dalam usia 73 tahun. Beliau dikuburkan di Pemakaman Muslimin Cikutra, Bandung, tidak jauh dari makam ulama terkemuka Dr. KHEZ Muttaqien.

Romli merupakan anak pertama dari ajengan KH Soebandi yang cukup dikenal di Majalaya. Karena, selain ulama, KH Soebandi meski berasal dari Tasikmalaya, setelah pindah ke Majalaya ikut mengembangkan geliat bisnis di daerah itu.

Di Jawa Barat, wartawan senior yang telah berumur menyebutnya Kang Romli. Wartawan yang “agak muda-an” memanggilnya Pak Romli. Ciri panggilan “kang”, menandakan “mikokolot” dalam perkara jurnalistik.

Koran “Harian Banteng” Edisi Jumat, 12 Nopember 1963 koleksi Kin Sanubary (kiri), kolektor media lawas asal Subang (Foto: Dok. Pribadi).*

Saat itu, sudah tidak ada lagi teman seangkatannya yang masih aktif sebagai wartawan. “Meh saumur Akang jeung Oot ti Ciamis!” ujar bapak saya kepada Rukmana HS teman sekantornya. Pak Oot Hidayat Natasujana adalah salah seorang sobat bapak sejak masih bersama-sama aktif menjadi PNS di Departemen Penerangan Tahun 50-an.

MH Romli mulai aktif di dunia kewartawanan sejak tahun 1947. Pada tahun itu, Romli menjadi bewarawan warta berita Basa Sunda dan jadi “Translator Berita Basa Sunda” (Redaktur Pembantu) RRI Bandung dan redakturnya pada saat itu adalah Utuy Tatang Sontani yang kemudian menjadi sastrawan ternama. Ketika itu, RRI Cabang Bandung mengungsi ke Tasikmalaya.

Di Tasikmalaya, RRI Cabang Bandung menyiarkan propaganda, yaitu siaran-siaran yang sarat perjuangan, hasutan-hasutan untuk terus berjuang mengembalikan Kota Bandung ke tangan Pemerintah RI, menyiarkan warta berita untuk membewarakan situasi yang terjadi di tanah air. Selain itu, juga melakukan siaran hiburan dengan menyiarkan nyanyian-nyanyian serta drama yang sarat dengan semangat perjuangan.

Romli juga seangkatan dengan Sambas Mangundikarta, seorang penyiar yang memiliki suara khas dan pencipta lagu Sunda fenomenal seperti Manuk Dadali, Sapunyere Pegat Simpay, Peuyeum Bandung, dan lain-lain. Usianya hanya beda setahun, Romli lebih tua.

Mereka berdua sama-sama memulai kariernya sebagai penyiar dan jurnalis di RRI Cabang Bandung sekira awal tahun 1950an. Bahkan jauh sebelum itu, pada tahun 1947-1949 sudah bertugas pada “Radio Perjuangan Jawa Barat”, RRI Cabang Bandung yang mengungsi ke Tasikmalaya dan Jogyakarta. Di dekade 50an tersebut Romli dan Sambas juga kerap tandem menyiarkan secara langsung pertandingan-pertandingan olahraga melalui RRI Bandung.

MH Romli (kedua dari kanan) bersama rekan-rekan penyiar RRI Bandung dekade tahun 1950an (Foto: Dok. Penulis).*

Di RRI, Romli sempat menjadi redaktur (di antaranya adalah redaktur bidang seni & budaya). Ketika menjadi redaktur di RRI, Romli juga merangkap jadi wartawan di Kantor Berita PIA pimpinan Adinegoro. Saat itu, pimpinan PIA cabang Bandung, Ali Syahbana.

Setelah hijrah ke media cetak (awal 60-an), Romli banyak menukangi kelahiran media pada saat itu. Beberapa di antaranya Harian Karya, Harian Banteng, Mandala, Harian Berdikari/Bandung Pos, dan Giwangkara. Tahun 1959/1960 bersama AK Jacoby (mantan wartawan Pikiran Rakyat) menerbitkan surat kabar sore “Harian Karya”.

Kemudian Romli menerbitkan Harian Banteng (Tahun 1963). Pada masa jayanya, Harian Banteng cukup fenomenal, menjadi koran terbesar di Jawa Barat. Para pengelola koran ini selain MH Romli (Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi) di antaranya adalah Surja Susila dan Adjum Djunaedi (Wakil Pemimpin Redaksi). Di jajaran wartawan ada Krisna Harahap, Priatna Afiatin, Onong Uchyana Effendy (Guru Besar Fikom Unpad), Jusda, J.S. Somawinta, Susila Hidajat, M Padmy, Eddy Suchjar, Euis Rochmanah, Sardju S, Sardjono A, Edi Muljono, BM Muchtar, Richard Kosasih (wartawan foto), R.A. Affandie (editor olahraga), dan Didin D. Basoeni.

Alamat Direksi, Redaksi/Tata Usaha “Harian Banteng” di Jalan Braga No.3 Kota Bandung (sekarang Hotel Kimaya Braga Bandung/Hotel Harris).

Pada saat itu, pemerintah membuat aturan koran-koran harus berafiliasi ke parpol atau ke Muspida daerahnya masing-masing, Harian Banteng berafiliasi dengan Partai Nasional Indonesia (PNI). Pada masa itu pula, bersama beberapa wartawan lainnya dari Indonesia, Romli sempat melanglangbuana ke Eropa.

MH Romli saat tugas kewartawanan di Jerman awal tahun 1960-an (Dok. Pribadi).*

Setelah Harian Banteng berhenti di tahun 1967, Romli ditunjuk menjadi pemimpin perusahaan “Harian Berdikari” yang didirikan oleh tokoh-tokoh Pemda Jabar. Ketika itu, ketua DPRD Jabar adalah Kolonel Rachmat Sulaeman. Kemudian Harian Berdikari berganti nama menjadi Bandung Pos. Ketika masih dipimpin Rachmat Sulaeman, Romli sempat menjadi direksi Bandung Pos.

Pada 7 Desember 1969, Romli bersama 3 orang rekannya mendirikan Koran “Mandala” (Mandala didirikan empat orang yaitu H. Krisna Harahap, S.H., Surya Susila, B.A., Rustandi Kartakusumah, dan Moch. Romli). Kemudian pada tahun 1979, bersama sekitar 7 rekannya, Romli mendirikan koran berbahasa sunda Giwangkara. Sampai akhir hayatnya, Romli mengabdi di Giwangkara.

Dalam bidang organisasi pers, MH Romli sempat menjadi Wakil Ketua PWI Jawa Barat, ketika masih bernama PWI Cabang Bandung pada Periode Dajat Hardjakusumah (1961-1965) dan Ketua SPS (Serikat Penerbit Surat Kabar) Jawa Barat.

**

Menurut Pak Rukmana HS –salah seorang sobat bapak–, “Tulisan Kang Romli liuh linduk mun dibaca, tapi karasa seukeutna upami dilenyepan”. Tulisan bapak saya menurutnya, disebut sosial kontrol ala Sunda. Pak Rukmana HS mangaku, bahwa dirinya adalah murid bapak saya dalam menulis artikel dan cerpen. “Sing bener Yi, digawe teh. Tengetan tulisan Akang, dina perkara ganti alternatip, dina judul, dina rarangken. Ayi mah mindeng nulis kalimah dikantetkeun! Kudu ngarti, aya kecap pagawean jeung aya kecap barang!” kata-kata bapak yang selalu diingat Rukmana HS yang saat itu sering menulis artikel di salah satu koran di Bandung. Setelah Rukmana HS dan bapak bareng bekerja di Koran Giwangkara, bapak sudah tidak pernah gurah geureuh lagi.

MH Romli seorang avonturir, sekolahnya dari HIS, lalu ke MULO, sempat pula di Fakultas Publisistik Unpad angkatan-angkatan awal/perintisan meski tidak tamat. Zaman revolusi fisik Tahun 1945, sabilulungan berjuang di medan perang di satu kesatuan, dengan pangkat Kapten.

Tahun 1950-an, saat jadi karyawan RRI Bandung, bapak pernah terkena penyakit liver cukup parah. “Harita mindeng ngadenge sora jurig heheotan di RRI teh, Yi. Mun aya nu kitu, geuring akang sok ripuh,” tutur Romli kepada Rukmana HS.***

komentar

Komen yang ditutup, tetapi jejak balik dan ping balik terbuka.

%d blogger menyukai ini: