Musim Hujan Datang, Derita Warga Dimulai
Laporan Khusus Banjir di Kota Bandung
BANJIR bandang pada 21 April 2018 menjadi pengalaman paling buruk sepanjang tahun ini bagi warga Kelurahan Pagarsih, Kecamatan Astanaanyar, Kota Bandung. Seperti pengulangan peristiwa setiap musim hujan, Pagarsih tak lepas dari ancaman banjir.
Tokoh warga Pagarsih, Bahtiar Rachmat Effendi (78), menuturkan bahwa yang dikhawatirkan sejak awal adalah kondisi sungai dangkal dan lebar sungai menyempit di hilir, sehingga ketinggian muka air banjir semakin menenggelamkan permukiman mereka.
Mulai meninggali kawasan Pagarsih sejak 1950, Bahtiar masih ingat jika banjir mulai terjadi awal 1983. Sejak lama, solusi pengendalian banjir tak kunjung tiba. Pembangunan besar baru terjadi dengan proyek basement Pagarsih. Proyek itu pun dianggap belum bisa menuntaskan ancaman banjir yang terus menghantui warga setiap musim hujan tiba.
Kecamatan Astanaanyar menjadi wilayah terdampak banjir paling buruk saat hujan deras mengguyur Kota Bandung. Sekurangnya 200 keluarga menderita karena ratusan rumah yang mereka huni diterjang derasnya banjir.
Wilayah RT 2, RW 7, Kelurahan Cibadak, Kecamatan Astanaanyar, menjadi zona langganan banjir sejak dahulu. Permukiman mereka berada di sekitar Sungai Citepus. Permukiman mereka berada di dataran paling rendah di kawasan seputaran Pagarsih, dengan radius 200 meter dari Sungai Citepus.
Sungai itu mengepung mereka di bagian utara dan timur permukiman. Pemandangan yang biasa terlihat di kawasan itu, di mulut gang serta pintu masuk mereka telah disiapkan panel besi sebagai media penangkal banjir.
Apa kabar Bandung Timur?
Di timur Bandung, warga yang bersiap menghadapi banjir adalah penghuni perumahan Adipura, Gedebage. Di mulut kompleks perumahan, sudah bersiap mesin pompa air serta perahu. Dari lima perumahan yang ada di Adipura, tiga cluster terdekat dengan Sungai Cinambo merupakan lokasi yang paling terdampak banjir.
Ketua RW 8 Kelurahan Rancabolang, Kecamatan Gedebage, Oping Arifin (56) menuturkan, dalam menghadapi banjir warga sudah terbiasa menyiapkan karung, perahu, serta tenaga untuk gotong royong. Cluster Pinus yang ia huni selama 11 tahun menjadi lokasi paling rendah di antara cluster lainnya.
Ada 400 rumah di cluster itu. Jika musim hujan tiba, air mulai masuk dari saluran air di belakang tembok perumahan. Diduga air yang seharusnya tersalur ke Sungai Cinambo, sekitar 700 meter dari lokasi hunian itu, tertahan akibat derasnya arus air di Sungai Cinambo.
”Dari 400 rumah, sekitar 70% yang terkena dampak banjir. Kami juga menduga lingkungan sekitar perumahan yang dulu menjadi daerah resapan air, sekarang sudah menjadi bangunan-bangunan dan jalan,” ujarnya.
Pengalaman terburuk dialami pada 2015. Banjir yang menjebol hingga ke dalam rumah bertahan hingga 20 jam sebelum akhirnya surut. Kondisi diperparah dengan jebolnya tanggul di tembok batas perumahan mereka dengan saluran air, tahun kemarin. Dengan cepat air masuk ke rumah-rumah.
Saat ini, tanggul tersebut telah diperbaiki. Baik pengembang maupun Dinas Pekerjaan Umum Kota Bandung telah meninggikan masing-masing tanggul setinggi satu meter, dengan lebar tiga meter. Oping mengatakan, karena pengerjaan belum lama selesai, warga belum terjamin aman dari banjir.
”Pekerjaan yang telah dilakukan lumayan bagus, ada pengaruh. Jika ada, banjir tidak terlalu besar. Tetapi kami masih siaga hadapi banjir,” ujarnya.
Warga setempat masih bersiap melalui grup aplikasi percakapan. Setiap warga melaporkan kondisi cuaca di sekitar perumahan, atau berbagi informasi jika di daerah lain mulai hujan deras.
”Warga selalu menyiapkan karung sampai lilin untuk menyumbat celah rumah jika banjir sewaktu-waktu datang. Perahu punya Dinas Kesehatan juga disiapkan. Alhamdulillah setiap menghubungi tim cepat tanggap Pemkot Bandung langsung sigap,” tutur Oping.
Musim hujan yang seharusnya menjadi berkah, telah berubah menjadi teror. Jika tak diantisipasi dengan sigap, mereka akan menerobos masuk tanpa permisi dan merusak semua yang ada di dalam rumah. Bukan hanya barang, tetapi juga tatanan kehidupannya.
Tarik ulur badan otoritas cekungan Bandung
Pertengahan September 2018 lalu, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil kembali memunculkan gagasan pembentukan pemerintah regional baru atau badan otoritas di kawasan cekungan Bandung. Upaya itu dilakukan guna membangun koordinasi yang lebih efektif di lima daerah di cekungan Bandung yaitu Kota dan Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kota Cimahi, dan Kabupaten Sumedang.
Menurut Ridwan, rencana pembentukan pemerintah tersebut seiring dengan telah terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 45 Tahun 2018 tentang Tata Ruang Kawasan Perkotaan Cekungan Bandung, Juli 2018. Perpres itu mengatur pengendalian ruang termasuk solusi kemacetan hingga banjir. Selain itu, proyek strategis nasional pun diatur di dalamnya.
Hingga saat ini, gagasan itu masih berupa tataran pembahasan belum sampai ke eksekusi yang terperinci terkait tugas dan fungsinya nanti. Pemerintah masih berkonsultasi dengan pemerintah pusat. Wajar saja karena dalam pelaksanaannya nanti sebuah badan otoritas akan memiliki tantangan berat, tak semudah pembentukannya.
Kepala Biro Pemerintahan dan Kerja Sama Sekretariat Daerah Pemerintah Provinsi Jawa Barat, Dani Ramdan, mengemukakan pendapatnya. Ia mengatakan, sepanjang kajian yang mereka lakukan terhadap Perpres No 45/2018 dan UU No. 23/2014 tentang Pemerintah Daerah bahwa kelembagaan yang dimungkinkan dibentuk untuk pengelolaan kawasan yang berada di lintas kabupaten/kota adalah ”Forum Kerja Sama Daerah”.
Akan tetapi, dalam kedua payung hukum tersebut tidak dijelaskan mengenai struktur kelembagaan dan kewenangan dari forum tersebut.
”Namun, dari kelaziman yang kita ketahui selama ini, kelembagaan forum biasanya hanya menjadi wadah komunikasi dan koordinasi, tidak memiliki otoritas yang kuat dalam melakukan pengaturan. Sementara itu, dalam gagasan kami bersama Pak Gubernur, untuk pengelolaan kawasan cekungan Bandung itu diperlukan badan otoritas yang memiliki kewenangan mulai dari penyusunan perencanaan, penganggaran, pelaksanaan pembangunan, hingga pengendaliannya,” katanya di Gedung Sate, Kota Bandung, Jumat 26 Oktober 2018.
Menurut Dani, tantangan yang akan dihdapi nanti adalah adanya perbenturan dengan kewenangan pemerintah kota dan kabupaten di kawasan tersebut. Sebuah titik temu harus dicari agar terjadi kompromi dan kesepakatan di antara para kepala daerah.
Sebelumnya, Dani menuturkan, gubernur telah meminta mereka untuk mengkaji pembentukan pemerintahan regional tersebut. Salah satu referensi yang menjadi landasan bagi gubernur, kata dia, adalah kawasan Oregon di Amerika Serikat.
”Di sana kawasan khusus dikelola badan khusus. Itu yang akan kita jajaki, sifatnya lintas kota kabupaten sehingga harus terintegrasi mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga pengendalian pembangunan di cekungan Bandung,” kata Dani.
Jika badan pengelola tidak mungkin dibentuk di cekungan Bandung, kata Dani, Kesekretariatan Cekungan Bandung menjadi opsi yang bisa dilakukan karena sudah ada payung hukumnya. ”Semua opsi itu akan segera dikonsultasikan pada pemerintah pusat.”
Investasi atau konservasi?
Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Wahi) Jawa Barat Dadan Ramdan Hardja mengaku pesimistis dengan efektivitas kinerja badan otoritas di cekungan Bandung dalam mengatasi beragam permasalahan lingkungan, termasuk ancaman banjir. Badan ini, menurut Dadan, bakal lebih kental aroma investasi dibandingkan dengan konservasinya.
”Kalau semangat pembentukan ini adalah mempermudah investasi, mempercepat perizinan, ya selesai. Tidak akan perbaikan untuk konservasi. Justru sebaliknya, alih fungsi rentan menjadi jauh lebih cepat,” katanya.
Alih fungsi yang tidak terkontrol inilah, menurut Dadan, yang menjadi salah satu penyebab utama banjir rutin di Bandung. Banyak tangkapan air di subdaerah aliran sungai (sub-DAS) di utara Kota Bandung berubah dari hutan kayu ke hutan beton atau ladang sayur. Akibatnya, sungai-sungai yang melintasi Bandung menuju Citarum tidak lagi mampu menampung air.
Dadan menjelaskan, penataan sub-DAS dan sungai selalu menjadi masalah pelik di negeri ini. Kewenangannya tumpang tindih. Jika tidak saling rebut klaim kewenangan, instansi-instansi terkait akan saling lempar tanggung jawab. Akibatnya, program-program konservasi sulit menjadi efektif.
Alih fungsi juga menjadi masalah serius di dalam Kota Bandung sendiri. Pembangunan yang masif, ditandai terus bertambahnya jumlah gedung tinggi dan perumahan padat, membuat luas tangkapan air terus merosot. Sawah dan bahkan situ (danau) yang dulu berfungsi sebagai parkir air alami lenyap tanpa ada pengganti.(Sumber: Pikiran Rakyat, 30/10/2018)***