Siapkah Bandung Menyambut Hujan?
Laporan Khusus Banjir di Kota Bandung
MUSIM hujan sudah di depan mata. Selain berkah, hujan juga membawa dampak lain bagi warga di Bandung yang secara geografis berbentuk cekungan. Warga harus sudah siap dengan risiko dikepung banjir.
Hingga kini, Bandung belum mampu melepaskan diri dari permasalahan banjir sejak dulu. Siapkah Bandung menghadapi musim hujan tahun ini?
Nadiman (60) mendongak. Ia melihat gumpalan awan yang menggelayut di atas rumahnya di kawasan Pagarsih, Kota Bandung, Jumat 23 Februari 2018. Meski daerahnya kerap dilanda banjir, ia mengaku tak mengkhawatirkan hujan deras di daerahnya.
Nadiman hanya khawatir jika hujan besar melanda wilayah utara Bandung. Kejadian terakhir enam bulan lalu. Dinding rumahnya jebol oleh air bah di Sungai Citepus. Televisi, pemutar VCD, meja, pakaian, dan beberapa barang lainnya hanyut.
Matahari terik tidak menjamin kawasan langganan banjir itu aman. Warga Pagarsih dan Cibadak sudah terbiasa menerka hujan dari utara Bandung. Jika di wilayah utara hujan, warga bersiap menyambut kiriman air melalui Sungai Citepus yang berada di wilayah itu.
Air kiriman dari utara Bandung mampu menenggelamkan rumah warga sekitar Pagarsih. Itu sebabnya, hampir semua rumah di gang sempit di RT 2 RW 7 Kelurahan Cibadak, Kecamatan Astanaanyar, Kota Bandung memiliki dua lantai. Pada musim banjir, sebanyak 200 keluarga di wilayah itu biasanya rutin mengangkut barang-barang di lantai satu dan mulai mendiami lantai atas hingga banjir surut.
Kekhawatiran serupa dirasakan warga Bandung timur. Kawasan Gedebage menjadi langganan limpasan air dari Sungai Cinambo. Air tak hanya menggenangi perumahan warga, tetapi juga memutus arus lalu lintas hingga terjadi kemacetan luar biasa. Sistem tol air yang dibangun di sana tak berfungsi optimal.
Derita yang sama terjadi di wilayah Kecamatan Mandalajati dan Arcamanik. Jalanan Cicaheum yang padat pun menjadi lautan lumpur tebal dan melumpuhkan jalur transportasi. Peristiwa yang dikenal sebagai ”Banjir Cicaheum” itu adalah titik bencana baru dengan skala yang besar.
Darurat sampah
Setiap kali musim hujan tiba, warga Kota Bandung harus sudah siap dengan risiko dikepung banjir setidaknya di 17 titik. Sampah yang menumpuk di sungai dan gorong-gorong menjadi salah satu penyebab yang hingga kini belum terpecahkan. Belum lagi tingginya tingkat sedimentasi yang dibawa air sungai dari hulu.
Petugas dari Dinas Pekerjaan Umum (DPU) Kota Bandung melakukan pengerukan setiap hari untuk mengambil sedimen dan sampah. Di sungai-sungai dan gorong-gorong, Tim Unit Reaksi Cepat DPU Kota Bandung membersihkan saluran yang biasa tergenang.
”Sehari bisa mengangkut material berisi batu dan sampah sampai tiga truk. Kami harus lakukan setiap hari. Kalau tidak setiap hari, tidak terbayang sumbatannya di saluran, tumpukan sampah akan makin banyak,” kata Kepala Dinas Pekerjaan Umum Kota Bandung Arief Prasetya melalui telefon, Rabu 24 Oktober 2018.

Di Bandung terdapat 46 sungai dan anak sungai. Berdasarkan pengalaman Tim Unit Reaksi Cepat DPU Kota Bandung, sedimen hasil pengerukan yang mereka lakukan tergolong tinggi. Saban hari, tak kurang dari 306 anggota Tim URC DPU diterjunkan ke lapangan.
Sampah yang memadati aliran sungai berasal dari buangan rumah tangga yang tak bertanggung jawab. Sementara, sedimentasi terjadi karena air hujan yang tak tertahan vegetasi dan meresap di wilayah hulu, tetapi malah menggerusnya hingga dibawa ke hilir.
Wali Kota Bandung Oded M Danial mengaku bahwa sampah menjadi fokus utama pekerjaan pada awal pemerintahannya. Urusan sampah, bagi Oded, adalah masalah serius.
”Kita, warga Bandung, sudah banyak diperingatkan melalui lautan sampah, beberapa tahun lalu. Sekarang, ada banjir akibat sampah, sampai penurunan kualitas sungai dan lingkungan. Ini memerlukan gerakan besar bersama warga,” ujar Oded.
KBU tak terkendali
Topografi khas cekungan membuat penanganan isu lingkungan di Kota Bandung sangat bergantung pada daerah-daerah di sekitarnya. Banjir yang terjadi di Kota Bandung adalah salah satu dampaknya. Kawasan Bandung utara (KBU) sebagai tangkapan air selalu mendapat sorotan.
Koordinasi yang lebih kuat, di bawah komando Pemerintah Provinsi Jawa Barat, mutlak dilakukan untuk menghindarkan kota berpenduduk 2,5 juta ini dari bencana ekologis.
Peran penting KBU tampak dari berbagai bencana, terutama banjir, yang setiap tahun menerjang Bandung.

Banjir bandang Cicaheum tahun ini, yang merusak ratusan rumah warga, mempertegas besarnya potensi merusak aliran sungai yang meluncur dari ketinggian di utara menuju titik terendahnya di Citarum. Bandung, sebagai wilayah yang dilintasi, menjadi yang paling rentan.
Pegiat lingkungan di Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) Taufan Suranto menyebut, laju alih fungsi lahan di KBU makin tidak terkendali.
Perkebunan sayur dan perumahan komersial mendominasi. Luasan daerah tangkapan air terus menyusut membuat potensi banjir bandang terus membesar.
Banjir Cicaheum memberikan sedikit gambaran tentang ancaman bencana seperti ini. Daerah tangkapan air DAS Cipamokolan yang berada di Cimenyan sudah menyusut menjadi sekitar 700 hektare saja. Mereka terus terdesak oleh pembangunan kompleks perumahan dan pengembangan kebun sayur.
Taufan mengusulkan pembentukan lembaga-lembaga konservasi hingga tingkat sub-DAS, bahkan tingkat mikro-DAS. Artinya, lembaga ini bakal aktif bergerak di level kecamatan, desa, kelurahan, dan bahkan RW. Semua pemangku kepentingan dilibatkan di sana, termasuk warga dan komunitas.
Sementara, Ketua Forum Komunikasi Kader Konservasi Indonesia (FK3I) Jawa Barat Dedi Kurniawan juga menekankan pentingnya penguatan koordinasi antardaerah di bawah komando Pemprov Jabar dalam upaya antisipasi bencana di cekungan Bandung. Menurut Dedi, tidak boleh lagi penanganan isu lingkungan dibatasi dengan ego sektoral.
”Masalah lingkungan tidak mengenal batas wilayah. Penanganannya pun harus demikian. Penguatan koordinasi antarpemerintah daerah penting. Namun, jangan lupakan juga kontribusi warga dan komunitas,” ucapnya.(Sumber: Pikiran Rakyat, 30/10/2018)***